Posting Makanan atau Minuman di Siang Hari Bulan Puasa, Bagaimana Hukumnya?

Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam. Perbuatan menahan diri dari makan, minum dan segala yang membatalkan, sejak terbit fajar sampai matahari terbenam. Dikerjakan oleh muslim yang sudah mencapai batas tertentu: baligh dan berakal.

Banyak dalil tentang kewajiban berpuasa, diantaranya surat Al-Baqarah 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Juga hadis nabi Muhammad tentang kewajiban puasa

قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Artinya:

“Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang atau terjauhkan (dari kebaikan).” (HR. Ahmad)

Dan masih banyak lagi dalil al-Quran dan Hadis mengenai kewajiban puasa. Maka tidak boleh tidak serta menjadi kewajiban bagi muslim yang telah mencapai batas yang ditentukan syari’at untuk melaksanakannya. Apabila meninggalkan puasa sebab tidak ada alasan yang dapat dibenarkan oleh syari’at akan mendapat siksa.

Namun kejadian mutakhir yang sudah merebak di media sosial, postingan makanan atau minuman yang diunggah di siang hari. Utamanya di status-status Whatsapp, yang juga sering dijumpai. Bagaimana hukum postingan semacam tersebut dalam pandangan Islam? Bolehkah atau tidak, sebab sudah menjadi kebiasaan bagi sebgin para pengguna medsos akhir-akhir ini.

Sebelum menjawab kepada inti pertanyaan, perlu diketahui bersama bahwa di sekitar kita bukan hanya terdiri dari kalangan umat Islam. Juga terdapat non muslim yang hidup bersama-sama di tengah kita. Maka kita bisa menjumpai berbagai warung yang buka di siang hari untuk mereka yang non muslim, dan itu tidak menjadi persoalan. Atau bahkan muslim sekalipun juga diperkenankan untuk tidak puasa sebab hal yang diperbolehkan oleh agama seperti sakit, perjalann jauh ataupun perempuan yang sedang haid. Maka tidak menjadi persoalan bila kita mendapatkan kantin rumah sakit buka di siang hari untuk mereka yang sakit, warung makan di terminal ataupun di rest area jalan tol tetap beroperasi.

Kejadian di atas tidak menjadi persoalan tentang keberadaan tempat makan bagi orang-orang yang tidak berpuasa sebab uzur atau tidak memiliki kewajiban. Meski bersifat publik, orang yang berpuasa juga harus memahami terhadap orang selain dirinya yang tidak berkewajiban untuk menunaikannya.

Juga terhadap perusahaan yang bergerak di industri makanan biasanya memajang iklan yang berbentuk poster dengan papan di pinggir jalan atau iklan media cetak atau elektronik, tidak menjadi persoalan. Sebab bila dihentikan, akan merugikan perusahaan yang di dalamnya ada banyak pekerja yang begantung pada usaha tersebut dan bisa menjadi penyebab terputusnya nafkah kepada keluarga apabila dihentikan. Tetapi dengan catatan tidak menyimpang dari syariat, misal makanan halal, prosesnya halal dan seterusnya.

Lain halnya dengan postingan seseorang atau kelompok yang tidak memiliki motif yang berasaskan kebermanfaatan. Mereka biasanya hanya iseng mengunggah orang yang sedang memakan makanan yang lezat , atau meminum minuman segar ditambah es di siang hari, apalagi berbentuk video dengan suara yang makin membuat ngiler penontonnya. Maka ini jelas tidak diperbolehkan bahkan mengharah kepada keharaman. Sebab Allah Swt berfirman dalam surah al-Baqarah 11

وَإِذَا قِیلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُوا۟ فِی ٱلۡأَرۡضِ قَالُوۤا۟ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ

Artinya,

“Dan ketika dikatakan kepada orang-orang munafik: ‘Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi’, mereka justru menjawab: ‘Niscaya kami adalah orang-orang yang membuat kebaikan.”

Dari ayat di atas, Jalaluddin as-Suyuti dalam Tafsir Jalalain menjelaskan maksud makna “kerusakan yang dilakukan oleh orang munafik” adalah sebuah kekufuran dan menghalangi orang lain untuk beriman kepada Allah Swt.

Dalam hadis Nabi Saw. juga dijelaskan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا (رواه مسلم)

Artinya:

“Barang siapa mengajak kepada petunjuk (amal baik), maka ia mendapatkan pahala sama seperti pahalanya orang yang mengikutinya. Tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang melakukannya. Barang siapa yang mengajak pada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa setimbang dengan dosa orang yang mengikutinya. Tanpa sedikitpun mengurangi dosa orang yang melakukannya.” (HR Muslim). 

Hadis ini mengajak umat Islam untuk selalu terus menerus untuk mencintai kebaikan. Dengan pahala yang dijanjikan, seyogyanya ini menjadi landasan untuk menjadi pionir untuk kebaikan. Kebaikan tidak hanya berdampak bagi pelaku kebaikan juga berdmpak bagi yang mengajaknya. Begitupun kejelekan tidak hanya kepada para pelakunya, tetapi juga kepada orang yang mengajak terhadap keburukan. Demikian yang dijelaskan oleh Sayyid Muhammad Alawi al Maliki dalam kitab Kasyful Ghummah.

Walhasil, mengajak orang untuk berbuat keburukan tidak diperkenankan alias dilarang dalam agama. Mengajak keburukan di era medsos bukan hanya berbentuk ungkapan-ungkapan melainkan visual yang menampilkan sesuatu yang bisa mendorong orang untuk melakukukannya. Bahkan perbuatan tersebut masuk ke dalam jenis perbuatan dosa. Semoga kita dijauhkan dari perbuatan yang tidak diridai oleh Allah Swt dan nabi-Nya. Amin.

ISLAMKAFFAH

Imam Cepat, Makmum Ingin Lambat, Bagaimana Hukumnya?

Meski diperbolehkan melaksanakan shalat dengan cepat, namun shalat harus tetap dilakukan secara sempurna rukun-rukunnya. Salah satu rukun dalam shalat adalah thuma`ninah

Hidayatullah.com | SEJAK 3 tahun ini saya sangat menikmati ibadah, khususnya  punya kebiasaan shalat fardhu dan Sunnah yg  cukup lama. Namun setelah pindah rumah, satu2nya tempat ibadah paling dekat mushola samping rumah, sayangnya, kebiasaan di situ sholatnya cepat, bacaannya pendek, jadi saya merasa kurang tenang dan tidak tuma’ninah. Saya merasa kurang sreg, terganggu. Akhirnya saya akali, saya sering masbuk, harapanya masih ada sisa yangg saya gunakan untuk rukuk dan sujut dengan lama dan nikmat. Tapi apakah cara ini benar? (Amir |Surabaya)

***

Jawaban: Banyak dari nash-nash Hadits yang mengandung perintah bagi imam untuk meringankan shalat, di antaranya adalah:

عن عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ، قَالَ: ((آخِرُ مَا عَهِدَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَمْتَ قَوْمًا، فَأَخِفَّ بِهِمُ الصَّلَاةَ)) (أخرجه مسلم: 468, 1/342)

عن عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((أُمَّ قَوْمَكَ. فَمَنْ أَمَّ قَوْمًا فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ فِيهِمُ الْكَبِيرَ، وَإِنَّ فِيهِمُ الْمَرِيضَ، وَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ، وَإِنَّ فِيهِمْ ذَا الْحَاجَةِ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ وَحْدَهُ، فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ)) (أخرجه مسلم: 468, 1/(

Dari Utsmin bin Abi `Ash ia berkata, ”Rasulullah ﷺ bersabda, ’Imami kaummu, maka barangsiapa mengimami suatu kaum maka hendaklah ia meringankan, seseungguhnya pada mereka ada lansia, pada mereka ada yang sakit, pada mereka ada yang lemah, dan pada mereka ada yang memiliki hajat, dan jika salah satu dari kalian shalat secara sendiri maka ia bisa melaksanakan shalat sesukanya.’” (Riwayat Muslim: 468, 1/342).

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه ((أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مِنْ أَخَفِّ النَّاسِ صَلَاةً فِي تَمَامٍ)) (أخرجه مسلم: 467, 1/342)

Dari Anas Radhiyallahu `anhu ia berkata, ”Sesunggunya Rasulullah ﷺ adalah termasuk orang yang paling ringan dalam shalat secara sempurna.” (Riwayat Muslim: 467, 1/342).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ صَلَّى الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَى أَصْحَابِهِ، فَأُخْبِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذٍ: ” أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ، خَفِّفْ عَلَى النَّاسِ، وَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَلَا تَشُقَّ عَلَى النَّاسِ ” (أخرجه البيهقي في السنن الكبرى: 5272, 3/165).

Dari Jabir bin Abdillah bahwa sesungguhnya Mu`adz bin Jabal melaksakan shalat isya` Bersama kaumnya, lantas ia memanjangkannya. Maka dikabarkanlah hal itu kepada Nabi ﷺ. Lantas Rasulullah ﷺ bersabda kepada Mu`daz,”Apakah engkau menjadi seorang pembuat fitnah wahai Mu`adz? Ringankanlah shalat bersamaa manusia, dan bacalah “wasyamsi wadhuhaha”, dan “sabbihisma rabbikal a`la” dan sejenisnya dan janganlah engkau menyusahkan manusia.” (Riwayat Al Baihaqi dalam As Sunan An Kubra: 5272, 3/165).

Berpedoman kepada hadits-hadits di atas, para ulama dari madzhab empat juga menyatakan sunnahnya meringankan shalat bagi imam. Demikian pendapat mereka:

Madzhab Hanafi

Imam Badr Al Aini berkata, ”Jama’ah merupakan sunnah yang pertama, sedangkan meringkankannya merupakan sunnah yang kedua.” (dalam Minhah As Suluk, hal. 164).

Madzhab Maliki

Az Zurqani berkata, ”Hendaklah bagi imam meringankan mujahadahnya jika ia telah menyempurnakan rukun-rukunnya. Dan jika ia tahu mengenai kuatnya siapa saja yang ada di belakangnya namun ia tidak tahu apa yang terjadi pada siapa yang berada di belakangnya, termasuk adanyakesibukan, buang air kecil, atau hajat. Hal itu berlaku baik bagi imam wajib maupun sunnah, yang mana kesunnahaannya merupakan perkara yang disepakati.” (dalam Syarh Az Zurqani `ala Mukhtashar Khalil, 1/372).

Madzhab Asy Syafi`i

Imam Asy Syafi`i berkata, ”Dan aku menyukai bagi imam untuk meringankan shalatnya dan menyempurnakannya.” (dalam Al Umm, 1/188).

Imam Al Mawardi berkata, ”Perlu bagi imam untuk meringankan shalat bagi makmumnya setelah melaksanakan apa-apa yang diwajibkan dalam shalat, yang disunnahkan dan yang termasuk hai`ah.” (dalam Al Hawi Al Kabir, 2/351).

Madzhab Al Hanbali

Musa bin Ahmad Al Hijawi berkata, ”Dan disunnahkan bagi imam meringankan shalat dengan menyempurnakannya jika para makmum tidak menghendaki lama, namun jika mereka semua menginginkan lama maka disunnahkan memanjangkan.” (dalam Al Iqna` fi Fiqh Al Imam Ahmad bin Hanbal, 1/164)

Apakah Thuma`ninah itu?

Meski diperbolehkan melaksanakan shalat dengan cepat, namun shalat harus tetap dilakukan secara sempurna rukun-rukunnya. Salah satu rukun dalam shalat adalah thuma`ninah.

Para ulama menjelaskan bahwa makna dari thuma`ninah adalah diam setelah gerakan, atau diam di antara dua gerakan. (dalam Hasyiyah Qalyubi, 1/175).

Adapun mengenai kadar lamanya, Syeikh Syihab Ar Ramli menyatakan,”Dan minimal waktu thuma`niah dalam shalat sebagaimana pengucapan subhanallah.” (Asna Al Mathalib dengan Hasyiyah Ar Ramli, 1/443).

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, tidak mengapa atau bahkan disunnahkan bagi imam untuk meringankan shalat bagi para makmumnya. Tentu hal itu dilakukan setelah menyempurnakan rukun-rukun shalat.

Dan tidaklah mengapa bermakmum kepada  imam yang shalatnya cepat selama masih terpenuhi rukun-rukunnya. Sedangkan makmum jika ingin melaksanakan shalat lebih lama ia masih bisa melakukannya ketika shalat sunnah yang dilakukan sendirian. Wallahu`alam bish shawab.*/Thoriq, LC, MA

HIDAYATULLAH

Naik Haji Lebih dari Sekali, Bagaimana Hukumnya?

SAHABAT mulia Islampos, ada kalangan muslim yang beruntung menunaikan haji hingga berkali-kali. Namun, bagimana sebenarnya hukum naik haji lebih dari sekali menurut syariat Islam?

Kita mengetahui bahwa ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Hukumnya wajib bagi setiap muslim yang mampu untuk menunaikannya. Itu artinya, tidak semua muslim mampu. Hanya orang-orang tertentu yang mampu naik haji.

Itu dikarenakan haji merupakan rangkaian ibadah yang tidak putus-putus, sehingga memerlukan kondisi fisik yang prima. Selain itu, waktu dan tempat pelaksanaan ibadah haji tidak sembarangan, yakni hanya dilakukan pada bulan haji dan bertempat di tanah suci Mekah, Arab Saudi.

Bagi muslim Indonesia, berangkat ke tanah suci memerlukan dana yang cukup besar, mengingat perjalanan dan akomodasi yang diperlukan. Biaya haji di Indonesia bahkan mencapai puluhan juta.

Kendati demikian, sejumlah muslim nyatanya mampu dan bisa menunaikan haji berkali-kali. Lantas, bagaimana hukumnya?

Rasulullah melakukan ibadah haji hanya satu kali seumur hidupnya. Maka, haji yang kedua, ketiga, dan seterusnya, dihukumi sunah. Kendati demikian, menurut pakar fikih asal Irak, Ibrahim Yazid An-Nakhai, hukum itu bisa berubah manakala ada atau tidak ada illat (alasan) yang mengikutinya. Kaidah usul fikih menyebutkan, hukum itu beredar (berlaku) sesuai dengan ada atau tidaknya illat.

Rasulullah pernah menangguhkan hukum rajam atas diri seorang pezina karena sedang hamil. Khalifah Umar bin Khattab pun pernah tidak menerapkan hukum potong tangan ketika seseorang yang mencuri karena keluarganya dalam keadaan miskin.

Dengan bersandar pada kaidah usul fikih di atas, menurut Ibrahim An-Nakhai, berhaji lebih dari sekali yang hukum asalnya sunah bisa menjadi makruh. Alasannya, apabila ada orang yang belum pergi haji dan ingin berangkat, namun gagal karena terbatasnya kuota, sementara di dalamnya ada orang yang sudah berhaji, maka hukumnya makruh.

Ulama yang juga budayawan, KH A Mustofa Bisri (akrab disapa Gus Mus), dalam bukunya Fiqh Keseharian Gus Mus, menyatakan, Al-Muta’addi Afdhalu min al-Qaashir (yang luas itu lebih baik daripada yang ringkas). Maksudnya, membantu fakir miskin, anak yatim, membangun lembaga pendidikan, dan lain sebagainya yang manfaatnya lebih luas, lebih afdhal (mulia) daripada berhaji untuk kedua kali atau lebih yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri.

Tentu saja, memberi sedekah dan membangun lembaga pendidikan akan lebih besar manfaatnya (maslahah). Bahkan, andaikata dari setiap musim haji terdapat 10.000 orang yang sudah pergi haji dan uang BPIH minimal Rp 25 juta itu disumbangkan untuk kepentingan membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim dan lainnya, akan terkumpul dana dari haji setiap tahun sebesar Rp 250 miliar. Sebuah dana yang cukup besar untuk meningkatkan kesejahteraan anak yatim dan memberdayakan fakir miskin.

Pendapat senada juga diungkapkan Imam Malik. Menurut pencetus metode hukum fikih, Maslahah Mursalah ini, tiap maslahah merupakan pengkhususan (takhshih) dari keumuman hukum atau dalil yang qath’i (pasti) dan dzanny (yang meragukan) [Abu Zahrah, Usul Fiqh].

Rasulullah pun sering memerintahkan umatnya untuk membantu fakir miskin dan menyantuni anak yatim.

“Barangsiapa tidak mau memperhatikan urusan orang Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka.”

Lebih tegas lagi, Rasulullah mengatakan, “Tidak termasuk orang yang beriman, orang yang tidur kekenyangan, sementara dirinya (mengetahui) ada tetangganya yang sedang kelaparan dan kekurangan.”

Dengan alasan ini, tentunya mengulang ibadah haji lagi sementara di sekitarnya atau di negeri ini masih banyak yang kekurangan, alangkah bijaknya andaikata bisa menggunakan dana untuk haji yang kedua atau lebih itu untuk kepentingan umat yang membutuhkan.

Demikian penjelasan para ulama terkait naik haji lebih dari sekali. []

SUMBER: IHRAM

Terkena Najis Namun Ragu, Bagaimana Hukumnya?

Abdul Qadir Muhammad Manshur dalam kitab Panduan Shalat An-Nisaa menjelaskan apabila seseorang terkena benda yang lembab pada malam hari tanpa mengetahui hakikatnya, maka dia tidak dibebani untuk mencium atau mengenali benda itu.

Diriwayatkan bahwa Sayyidina Umar bin Khattab melewati sebuah jalan pada suatu hari. Tiba-tiba dia kejatuhan sesuatu dari talang rumah. Ketika itu Sayyidina Umar ditemani oleh seorang rekannya. Rekan Sayyidina Umar itu berkata, “Wahai pemilik talang! Airmu ini suci atau najis?”.

Sayyidina Umar pun berkata, “Wahai pemilik talang, jangan beri tahu kami. Sungguh, kita telah dilarang untuk menyusahkan diri,”. 

Begitu pula apabila seseorang terkena debu jalanan maka dia tetap suci dan tidak perlu menyusahkan dirinya sendiri. Dia telah dimaafkan karena hal ini menimpa semua orang. Kumail bin Ziyad berkata, “Aku melihat Sayyidina Ali berlumuran lumpur hujan, lalu dia masuk ke dalam masjid mengerjakan shalat tanpa mencuci kedua kakinya,”. 

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami dulu mengerjakan shalat bersama Nabi Muhammad SAW dan tidak berwudhu karena kotoran yang kami injak,”. (HR Thabrani). Abu Umamah berkata, “Rasulullah SAW tidak berwudhu karena kotoran yang beliau injak,”. 

Artinya, beliau tidak mengulangi wudhu karena kaki beliau terkena kotoran. Dengan demikian, yang dimaksud di sini adalah wudhu yang dikenal dalam syariat. Tetapi ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah wudhu secara etimologis, sehingga maknanya: beliau tidak membasuk kaki beliau karena terkena debu jalanan dan sebagainya. 

KHAZANAHREPUBLIKA