Awas! Ini 3 Bentuk Doa yang Termasuk Bidah

KAITANNYA dengan pembahasan tawassul, ada yang mesti dipahami yaitu tentang doa-doa yang dihukumi bidah. Tingkatannya sebagai berikut sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah:

1- Berdoa pada selain Allah, di mana yang ditujukan doa itu mati atau ghaib (tidak hadir), baik yang diminta adalah para Nabi, orang shalih atau selain mereka. Misalnya ada yang berdoa: “Wahai sayyid fulan, selamatkanlah aku” atau “Wahai pak Kyai, aku meminta perlindungan pada-Mu” atau “Wahai orang shalih, aku meminta pertolongan padamu” atau “Wahai fulan, aku beristighotsah denganmu”. Yang lebih dari itu jika ia meminta “Wahai wali, ampunilah aku dan terimalah taubatku”. Seperti ini dilakukan oleh orang-orang musyrik yang tak punya dasar ilmu.

Yang lebih parah dari itu jika sampai sujud pada kubur wali, shalat menghadap kuburnya, bahkan menganggap shalat menghadap kubur tersebut lebih utama daripada shalat menghadap kiblat. Sampai-sampai disebut adanya keyakinnan bahwa shalat menghadap kubur adalah menghadap kiblat yang khusus, sedangkan shalat menghadap Kabah adalah kiblatnya orang-orang awam.

Lebih parah dari itu pula ada yang sampai menganggap bersafar ke kubur wali sejenis haji sampai-sampai disebut bahwa bersafar beberapa kali ke kubur tersebut sudah senilai dengan haji. Bahkan kalangan yang ekstrim (kalangan ghullat) dari mereka menyatakan bahwa berziarah sekali ke kubur wali fulan lebih utama dari beberapa kali berhaji. Semua yang dicontohkan dalam bentuk pertama ini adalah kesyirikan, walau kebanyakan orang melakukan sebagian ritual di atas.

2- Meminta pada para Nabi atau orang shalih yang telah tiada (mayit) atau yang tidak hadir (ghaib) dengan berkata, “Berdoalah pada Allah untukku” atau “Berdoalah pada Rabbmu untuk kami”. Perbuatan ini tidak diragukan oleh orang yang paham bahwa hal itu tidak dibolehkan. Amalan tersebut termasuk bidah yang tak pernah diajarkan oleh generasi terdahulu dari umat ini.

Intinya, tidak boleh meminta pada mayit seperti itu untuk menyampaikan doa kita pada Allah atau mengadu tentang kesusahan dunia dan akhirat pada Allah yang disampaikan lewat mayit, walau ketika ia hidup dibolehkan. Saat orang shalih itu hidup, kita boleh meminta padanya untuk berdoa pada Allah untuk kebaikan kita. Itu saat ia hidup karena seperti itu tidak mengantarkan pada kesyirikan. Namun saat ia telah tiada, berubah sebagai perantara pada kesyirikan. Ketika dulu hidup, orang shalih itu adalah seorang mukallaf (dibebani syariat) dan bisa menjawab permintaan orang yang meminta. Kalau ia berdoa pada Allah untuk kebaikan yang meminta, maka akan berpahala. Sedangkan ketika sudah tiada, maka ia bukan seorang mukallaf seperti tadi.

3- Meminta dengan hak atau kedudukan (jaah) orang shalih, termasuk yang dilarang dan sudah disebutkan pendapat dari Abu Hanifah, Abu Yusuf dan lainnya tentang masalah ini. Perbuatan semacam ini tidaklah masyhur di kalangan para sahabat. Buktinya, para sahabat tidak berdoa dengan kedudukan (jaah) Nabinya yang mulia, namun kala sulit mereka bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muthollib yang masih hidup. (Diringkas dari Qoidah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, hal. 226-231)

Semoga bermanfaat. [Referensi: Qoidah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah/Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Kenapa Mudah Membid’ahkan Orang?

ADA pertanyaan mengapa saat ini kian banyak orang yang gampang membidahkan apa yang dilakukan orang lain? Misalnya, saat orang-orang berjubel di pintu masjid, manakala ada seseorang berkata “shall al an-nabiy bershalawatlah kepada nabi, yang lain berkata,” Diamlah, itu bidah.” Benarkah itu bidah?

Ustaz menjawab, ucapan orang itu “shall al an-nabiyyi bershalawatlah kepada nabi- di pintu masjid bukan merupakan bidah. Hal itu karena bidah adalah menyalahi perintah asy-Syri yang dinyatakan tata cara penunaiannya. Bidah secara bahasa seperti dicantumkan di Lisn al-Arab : al-mubtadi alladz yat amran al syubhin lam yakun -orang yang melakukan bidah adalah orang yang mendatangkan perkara pada gambaran yang belum ada wa abdata asy-syaya: ikhtaratahu l al mitslin anda melakukan bidah: Anda melakukan inovasi tidak menurut contoh”.

Bidah itu secara istilah juga demikian. Artinya di situ ada “contoh” yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan seorang muslim melakukan yang menyalahinya. Ini berarti menyalahi tata cara syariy yang telah dijelaskan oleh syara untuk menunaikan perintah syara. Makna ini ditunjukkan oleh hadis:

Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak ada ketentuan kami atasnya maka tertolak (HR al-Bukhari dan Muslim)

Siapa yang sujud tiga kali dalam salatnya dan bukannya dua kali, maka dia telah melakukan bidah. Sebab dia menyalahi perbuatan Rasul saw. Siapa yang melempar jumrah delapan kali lemparan, bukan tujuh lemparan, ke Jamart Mina maka dia telah melakukan bidah. Sebab ia juga menyalahi perbuatan Rasul saw. Siapa yang menambah lafazh adzan atau menguranginya maka ia telah melakukan bidah, sebab ia menyalahi adzan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw

Sedangkan menyalahi perintah syara yang tidak dinyatakan tata caranya, maka itu masuk dalam bab hukum syara. Maka dikatakan itu adalah haram atau makruh jika itu merupakankhithab taklif, atau dikatakan batil atau fasad jika merupakan khithab wadhi. hal itu sesuai qarinah yang menyertai perintah tersebut

Sebagai contoh, imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Aisyah ra., dimana beliau menggambarkan shalat Rasulullah saw, Aisyah berkata: Rasulullah saw

Rasulullah saw jika beliau mengangkat kepada setelah ruku, beliau tidak sujud hingga tegak berdiri, dan jika beliau mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak sujud hingga duduk tegak

Di dalam hadits ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa seorang Muslim setelah bangkit dari ruku, ia tidak sujud hingga ia berdiri tegak, dan jika mengangkat kepala dari sujud, ia tidak sujud lagi hingga ia duduk tegak. Tatacara ini dijelaskan oleh Rasulullah saw. Maka siapa saja yang menyalahinya, ia telah melakukan bidah.

Jadi jika seorang yang sedang shalat bangkit dari ruku kemudian sujud sebelum berdiri tegak, maka ia telah melakukan bidah. Sebab ia menyalahi tata cara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. Bidah ini adalah sesat dan pelakunya berdosa besar.

Akan tetapi contoh lain, imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Ubadah bin ash-Shamit ra., ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

Rasulullah saw melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, shorghum dengan shorghum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali harus sama, berupa bendanya dengan bendanya. Siapa saja yang menambah atau minta tambah, maka sungguh telah berbuat riba

Seandainya seorang Muslim menyalahi hadits ini, lalu ia menjual emas dengan emas tapi berlebih satu dengan lain, dan bukannya sama timbangannya, maka ia tidak dikatakan telah melakukan bidah, melainkan dikatakan telah melakukan keharaman yakni riba.

Ringkasnya: menyalahi tatacara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw adalah bidah. Sementara menyalahi perintah Rasul saw yang bersifat mutlak tanpa ada penjelasan tatacaranya, maka hal itu ada pada bab hukum syara: haram, makruh batil dan fasad hal itu sesuai dalil yang menunjukkannya.

Di dalam pertanyaan Anda, Rasul saw tidak menjelaskan tata cara ucapan yang menyertai ketika keluar dari masjid setelah Shalat Jumuat. Karena itu, ucapan muslim itu sementara ia sedang keluar dari masjid, yaitu “shall al an-nabiy” bershalawatlah kepada Nabi saw- tidak ada dalam bab bidah, akantetapi dikaji dalam koridor hukum-hukum syara. Dan ucapan itu adalah boleh tidak ada masalah apa-apa. Bahkan mendapat pahala sesuai niatnya. []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2318283/kenapa-mudah-membidahkan-orang#sthash.4Vbno1Xh.dpuf