Kafir Meninggal Kok Ucapkan “Innalillah”?

Meninggalnya pakar kuliner Indonesia Bondan Winarno menyisakan pertanyaan tentang ucapan istirja.

“Dia kan non-muslim, kok ngucapin ‘innalillahi wa innailahi rajiun’?” begitu kata sebagian warganet di laman BersamaDakwah. Di direct message Instagram pun mengatakan hal yang sama.

Sebelum menjawab boleh atau tidak, pahami terdahulu arti dari istirja’. Innalillahi wa innailahi rajiun, sesungguhnya segala milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Inti dari kalimat istirja’ adalah kita semua milik Allah.

Apakah milik Allah hanya sebatas muslim saja? Lalu siapa yang menciptakan mahluk non-muslim? Muslim adalah manusia. Kafir atau non-muslim juga manusia. Manusia itu ciptaan Allah SWT.

Ungkapan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un bukan doa dan sama sekali tidak bermaksud mendoakan orang yang wafat, melainkan ungkapan zikir biasa yang dikaitkan dalam konteks bila ada yang wafat. Sedangkan yang wafat itu beragama apapun, tidaklah menjadi masalah. Sebab makna lafaz dari hanyalah ungkapa bahwa kita ini semua milik Allah dan kita pasti akan kembali kepadan-Nya. Bahwa seorang mati dalam keadaan beriman atau tidak beriman, itu urusan nafsi nafsi.

Syaikh bin Baz rahimahullah pernah mengatakan

“Jika seorang laki-laki atau wanita kafir meninggal, apakah boleh kita mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” atau tidak boleh? Apakah boleh kita berkata “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan diridhai.”?

Beliau menjawab:

Seorang kafir jika meninggal, tak mengapa kita ucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, alhamdulillah, semisal keluargamu, ini tidak mengapa. Manusia kembali kepada Allah dan semuanya milik Allah, tidak mengapa hal seperti ini.

Namun jangan mendoakan, selama ia kafir maka tidak didoakan tidak juga dikatakan: “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan diridhai”. Pasalnya jiwa orang kafir tidak tenang, jiwa yang fajirah, perkataan ini dikatakan kepada orang mukmin saja.

Jadi? Orang kafir apabila meninggal tak mengapa kita ucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan tak mengapa dikatakan kepadamu: “addzamallahu ajraka fihi”, “Ahsana ‘aza-aka fihi” ,“maa fi ba’sin” (“semoga Allah memberikan pahala yang besar untukmu dengan kematiannya dan memberikan hiburan pelipur lara untukmu sebagai pengganti kematiannya”)

Karena bisa jadi memberikan mashalahat dalam hidupmu, bisa jadi dalam hidupnya ia berbuat baik padamu, memberikan engkau manfaat, akan tetapi tidak didoakan, tidak dimintakan ampun, tidak disedekahkan atas namanya, jika mati dalam keadaan kafir”.

Sekali lagi, batas yang dilarang adalah memohonkan ampunan bagi orang yang kafir dan mati dalam kekafirannya. Meski pun yang kafir itu masih saudara kita sendiri. Dan dalam konteks itulah Allah SWT melarang Nabi Ibrahim as. mendoakan dan memintakan ampunan bagi ayahnya yang kafir.

Berkata Ibrahim, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam:47)

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS. At-Taubah: 113)

Dan permintaan ampun dari Ibrahim untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (QS. At-Taubah: 114)

Mengucapkan istirja’ kepada kafir itu boleh. Selama lafaz itu tidak bermakna doa atau memohonkan ampunan, tentu tak terkena larangan. Wallahua’lam.

 

BERSAMA DAKWAH