Lima Fase Hidup Nabi yang Perlu Kita Teladani [2]

Sambungan artikel PERTAMA

 

Berdagang

Beliau mengikuti perjalanan berdagang ke luar dari Mekkah dua kali, yang pertama bersama dengan pamannya Abu Thalibketika beliau. berumur 12 tahun, perjalanan yang ke dua ketika beliau berumur 25 tahuny untuk melakukan perdagangan dengan harta Khadijah ra. Kedua perjalanan tersebut ke kotaBashrah di syam, dalam kedua perjalanan tersebut beliau mendengarkan percakapan yang dilakukan para pedagang, dan beliau menyaksikan peninggalan-peninggalan negeri yang dilewatinya begitupun adat istiadat (kebiasaan) yang di lakukan oleh para penduduknya.

Apa yang didapat Muhammad dari pekerjaan barunya itu? Selain menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab yang lebih besar, Beliaudituntut membuktikan bahwa kejujurannya tidak lekang oleh panas maupun hujan, juga tidak tergantung pada tempat dan waktu, bersifat universal (menyeluruh). Kegiatan ini juga memberikan penekanan bahwa sebaik-baik harta adalah yang didapat dari usaha sendiri.

Berdagang juga memberikan sebuah pegalaman baru, yaitu tentang dunia perekonomian, di mana perdagangan merupakan proses perputaran kegiatan ekonomi, kegiatan yang penuh tipu daya dan strategi, sehingga Muhammad tertempa menjadi pribadi yang kritis dalam menanggapi perubahan. Memiliki daya saing yang sehat.   Menyentuh wilayah ini sama halnya menyentuh semua bagian kehidupan.   Fase ini mepertajam sifat amanah.

Ber-Khadijah

Pada usia 25 tahun Nabi menikah dengan Siti Khadijah binti Khuwailid. Seorang wanitaQuraisy terhormat, konglomerat dan suci. Dari pernikahan dengan beliau Siti Khadijahmelahirkan dua putra yang kemudian meninggal di masa kanak mereka. Dan melahirkan empat putri : Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah.

Hal yang tidak diperkirakan orang tentang Khadijah adalah pengabdian yang tulus kepada agama. Khadijah juga merupakan pendukung pertama gerakan dakwah, dan tetap setia hingga masa kematiannya. Hartanya yang melimpah, keseluruhannya disumbangkan secara maksimal demi kemajuan Islam. Sosok Khadijah merupakan simbol yang memang sangat dibutuhkan untuk memajukan dakwah sepanjang zaman.

وَوَجَدَكَ عَائِلاً فَأَغْنَى

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”(QS: Adh Dhuha: 8).

Selain itu juga, menjadi suami Khadijah merupakan penempaan bagi Muhammad untuk bisa melayani ummatnya sepenuh hati. Perbedaan usia antara keduanya ini gampang sekali menimbulkan sikap mentang-mentang. Sementara bagi Muhammad sendiri harus bisa menjaga sikap dan perkataannya demi tidak menyinggung perasaan istrinya, sekecil apapun. Lagi-lagi pemuda ini dituntut untuk menjauhkan diri dari sikap sombong. Berkeluarga sebagaimana umumnya merupakan bertujuan untuk melangsungkan hidup dan berketurunan, namun itu bukan tujuan utama. Pada kenyataannya tujuan utama hidup adalah menuju Yang Mahahidup. Fase ini menumbuhkan sikap tabligh dan fathanah, yaitu sifat yang mampu membawa misi hidup dan berfikir strategis.

Ber-gua Hira’

Pada usia 35 tahun, 10 tahun setelah melewati fase berdagang, beberapa tahun sebelum beliau  di utus menjadi seorang rasul Allah menjadikan beliau senang untuk berkhalwat(menyepi untuk beribadah) di Gua Hira (sebuah gunung yang terletak di sebelah barat laut di Makkah). Beliau berkhalwat  untuk memikirkan karunia-karunia  Allah dan mencari solusi tahapan untuk memulai menggulirkan perbaikan, penyelamatan, pengabdian, terhadap bangsanya yang terjangkiti penyakit moral yang sangat akut.

Khalwat/ tahanust adalah kecendrungan diri kepada   Allah Subhanahu Wata’ala dengan mengikuti agama Ibrahim. Dengan berkhalwat itu secara langsung juga menumbuhkan kekuatan jiwa, kebersihan hati, dan menghimpun kekuatan berfikir serta keberanian. Disamping itu bertahanus juga menjadi benteng pertahanan diri guna persiapan menerima wahyu pertama maupun wahyu berikutnya, tanpa merusak fisik dan mengganggu paksa hak-hak orang lain.

Saat menyendiri di Goa Hira itulah ia mendapatkan jawaban jalan keluar dan petunjuk dari Tuhannya.

وَوَجَدَكَ ضَالّاً فَهَدَى

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS. Adh Dhuha: 7)

Kelima tahapan inilah yang mengantarkan Muhammad pada gerbang kenabian. Secara substansial, pada skala yang lebih kecil, tahapan seperti ini juga akan dilalui siapapun yang menginginkan dan memperoleh hidayah (petunjuk)  Allah Subhanahu Wata’ala.

Sifat mandiri dan rendah hati, suka bekerja keras, tidak mendahulukan nafsu badani dan serius mencari kebenaran hakiki dengan segala cara, merupakan prasyarat agar hidayah itu merasuk kedalam sanubari. Sebab, lawan dan sifat-sifat itu semuanya akan cenderung merusak, dan bila demikian maka tidak akan membawa kesejahteraan bagi manusia dan alam semesta.

Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, “Orang yang terkekang adalah yang terhalang dari ma’ rifatullah. Dan orang yang tertawan ialah orang yang ditawan hawa nafsunya.”

Paripurna

Al-Quran hanya bisa tumbuh pada hati yang bersih dan suci. Tidak terkontaminasi pangkal dosa. Yaitu sombong, serakah, dan hasud. Tidak dapat menyentuh Al-Quran kecuali orang-orang yang suci. Steril dari kepentingan syahwat. Karena itu di dalam menerima nilai-nilai wahyu dibutuhkan persiapan-persiapan ruhaniyah.

Rosulullah dapat menerima Al-Quran secara paripurna karena jiwa beliau sudah terhantar sedemikian rupa, sehingga klop dengan nilai Al-Quran. Beliau telah diberi kemampun mengaktualisasikan secara pribadi maupun sosial.

Ada syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat berquran dengan baik, antara lain, menjauhi sifat sombong (thagha’), tidak cinta dunia, menahan hawa nafsu dan takut kepada Tuhan.

فَأَمَّا مَن طَغَى

وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا

فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى

فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Adapun orang yang melampaui batas, Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS  An-Naazi’aat [79]: 37-41).*

 

 

Oleh: Shalih Hasyim

sumber: Hidayatullah