Fenomena Zombie Starup Digital Unicorn-Decacorn

Zombie unicorn merujuk pada julukan perusahaan rintisan atau starup yang memiliki valuasi tinggi tetapi goyah karena belum profit dan kehabisan dana atau modal

Oleh: Agus Maksum

BEBERAPA perusahaan starup digital berkategori Unicorn di Silicon Valley, Amerika Serikat disebut sebagai “Zombie Unicorn” yang berakibat PHK karyawan, penurunan kapitalisasi pasar dan harga saham.

Demikian pula di Indonesia starup digital yang tidak asing kita dengar bahkan kebanggaan para penggerak trend disruption seperti GoTo, Shopee Ruangguru, Grabkitchen. LinkAja,JD.ID,Xendit dan puluhan lagi mengalami hal yang sama yakni fenomena “Zombie starup digital Unicorn”.

Istilah “zombie unicorn” sedang tren di dunia starup digital. Di Silicon Valley yang menjadi pusat start up Amerika Serikat (AS) banyak perusahaan teknologi yang sedang mengalami fase ini, menyusul di Indonesia Lantas, apa itu zombie unicorn?

Seperti dilansir NBC News, zombie unicorn merujuk zombie unicorn merujuk .

  Sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak awal kondisi yang terjadi seperti saat ini. zombie unicorn merujuk pada julukan perusahaan rintisan atau sturtup yang memiliki valuasi tinggi tetapi goyah karena belum profil dan kehabisan dana alias modal.

Ibaratnya itu hanya tinggal menunggu waktu. Tampaknya sekarang sudah sampai waktunya.

Penjelasannya sederhana saja. Unicorn-decacorn dengan model bisnis membakar uang, pada umumnya tidak bisa menjaga komitmen user.

Ini karena para user didapat dengan cara pragmatis dan dimanja,  bukan dipenuhi kebutuhan pokok dan hariannya. Valuasi model bisnis tersebut ditentukan oleh jumlah user.

Sementara itu jika membakar uangnya telah habis, lazimnya akan muncul aplikasi sejenis yang sedang membakar uang. Itu sebabnya akan berpindahlah para user ke aplikasi sebelah, kecuali dia bisa monopoli dan kartel seperti Google, Microsoft, dan lain-lain dengan seluruh kompetitor dimatikan sampai habis dan tidak bernapas.

Bila ada yang muncul sedikit, maka akan langsung dibeli untuk dimatikan.   Fenomena ini adalah peluang bagi platform digital berbasis komunitas.

Melihat hal itu sebenarnya ini peluang kita untuk bisa membuat aplikasi pengganti sang zombie. Yakni  aplikasi  yang komitmen dan engagement usernya didapat bukan dari membakar uang tapi diperoleh dari membangun  komitmen sosial dalam komunitas.

Komunitas perlu memiliki platform aplikasi digital sendiri. Caranya dengan melakukan gerakan sosial serta kesadaran bersama untuk memanfaatkan dan mengkonsolidasi ekonomi komunitas  yang seharusnya memang bisa diberdayakan.

Di dalam komunitas biasanya ada leader. Lalu kita dorong leader tersebut agar bisa menggerakkan anggotanya untuk menjadi user aplikasi komunitas dan menjaga engagement user pada aplikasi milik komunitas dengan ikatan dan komitmen sosial.

Dengan begitu maka inilah yang harus kita lakukan untuk mengambil kesempatan saat start up digital besar yang mulai terkena badai yang diciptakannya sendiri dengan model bisnisnya. Mereka itu telah kehabisan anggaran  untuk membakar uangnya dan exit melalui strategi IPO (initial public offering) belum tercapai.

Saya yakin bila user dari aplikasi milik komunitas dibangun dari komitmen yang berhasil digerakkan melalui dinamika dalam komunitas untuk mandiri secara ekonomi,  maka user akan lebih  langgeng.

Walau hal ini perlu energi sosial untuk menggerakkan dinamika dalam komunitas (dakwah bidang ekonomi). Akan tetapi insya-Allah hasilnya akan lebih langgeng dan kemandirian ekonomi komunitas serta merambah ekonomi nasional akan tercapai melalui kepemilikan Platform digital komunitas.*

Penulis pegiat StartUp digital berbasis Economic Community Platform. Pemegang hak patent platform digital komunitas

HIDAYATULLAH