Flexing Ala Sultan, Begini Penjelasan Quraish Sihab tentang Tahaddus Bin Ni’mah

Belakangan ini marak suatu istilah populer yang dinamakan flexing. Flexing sendiri berarti pamer kekayaan. Hal yang dipamerkan bisa berupa saldo rekening, kendaraan mewah, tas langka, jam branded, outfit mahal, liburan ke luar negeri, parfum mahal dan lainnya. 

Tren flexing bahkan berubah menjadi semacam tingkah konyol dengan membuang uang, melempar gadget mahal dan menghancurkan barang mewah lainnya. Growth Stefany, seorang psikolog klinis, sebagaimana dilansir dalam kompas.com membagi motif pamer menjadi dua hal. 

Pertama, pamer disebabkan ada hal yang ingin dibanggakan dan mencoba membagikaannya kepada orang lain. Kedua, disebabkan rasa insecurity atau merasa ada yang kurang dalam dirinya. Sehingga dia merasa perlu menyembunyikan insecurity dengan memamerkan pencapaian. 

Fenomena flexing ini tentu saja perlu disoroti lebih lanjut dalam kajian al-Quran.  Al-Quran yang merupakan pedoman setiap muslim dalam menjalani roda kehidupan, tentulah selalu bisa menemukan kontekstualisasinya dalam setiap jaman.  Berkenaan dengan pamer online atau flexing ini, Allah berfirman dalam QS. al-Dzuha [93]:11

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur)”.

Berkaitan ayat ini, Prof. Quraish Shihab menjelaskan pendapat ulama yang menyatakan bahwa, pembicaraan (tahaddus) disini haruslah dapat mencitrakan kesyukuran tentang nikmat tersebut. Sehingga ayat ini dapat ditafsirkan, “Adapun nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau syukuri.” 

Quraish Shihab menambahkan bahwa termasuk bentuk pengejawantahan bersyukur adalah menyebut nikmat Tuhan dengan disertai kepuasan serta menghindari perasaan riya’ dan bangga. 

Al-Qurtubi bahkan, tutur Quraish Shihab, mengutip suatu riwayat yang isinya tidak hanya membatasi bentuk penyampaian anugerah yang bentuknya material, akan tetapi juga dalam hal immaterial seperti kedudukan dan nama baik serta pelaksanaan ibadah. 

Riwayat yang dikemukakan al-Qurthubi berasal dari Sayyidina al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang menyatakan: “Jikalau dirimu mendapatkan kebajikan atau melakukan kebaikan maka kabarkanlah hal tersebut kepada saudara yang engkau percaya”. 

Pembicaraan nikmat dalam konteks ini tentulah diperbolehkan dengan catatan tidak diikuti perasaan ingin disanjung dan merasa bangga. Hal tersebut dapat dibenarkan bahkan dianjurkan karena bisa memicu pendengarnya untuk melaksanakan kebajikan atau ibadah serupa. 

Menceritakan anugerah Allah tidak terbatas hanya dalam bentuk oral semata, namun juga mencakup dalam bentuk sikap praktis. Hadis lain yang menguatkan kesimpulan ini diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i. 

Beliau meriwayatkan bahwa suatu ketika Malik Ibn Nadhrah al-Jusyami bersandingan dengan Nabi. Melihat pakaian Malik yang sangat jelek, Nabi pun bertanya: “Apakah engkau mempunyai harta?” Malik menjawab: “Saya punya berbagai harta”. 

Nabi pun lalu menasehatinya :”Bila Allah menganugerahkanmu harta, maka baiknya terlihat tanda/bekas anugerahnya pada dirimu.” Nabi dalam suatu riwayat bersabda: “Sesungguhnya Allah Mahaindah, menyukai keindahan dan suka bila melihat tanda/bekas nikmat (anugerah-Nya) kepada hamba-Nya.” 

Terdapat juga pakar tafsir yang menafsirkan kata haddits dengan makna “perintah menyampaikan secara lisan.” Hanya Saja, mereka menafsirkan kata ni’mah dalam pengertian yang terbatas kepada ajaran agama atau wahyu Allah.

Penafsiran tersebut didasarkan fakta bawa agama atau petunjuk Allah jika diperbandingkan dengan kelebihan, kesenangan dan kenyamanan apapun yang manusia peroleh tidak mempunyai arti tanpa disertai nikmat agama.  Sebaliknya, seberat apapun beban kehidupan seseorang, jika ia telah mengecap manisnya nikmat agama, semua cobaan akan terasa ringan.

Menyimak penjelasan Prof. Quraish Shihab tersebut, kita bisa simpulkan bahwa pamer terhadap kenikmatan Allah pada dasarnya dianjurkan, dengan catatan mempunyai tendensi untuk memotivasi pendengar.  

Pada akhirnya, Flexing adalah sesuatu yang netral. Positif negatifnya tergantung pada niat masing-masing. Jika niatnya baik, maka menjadi baik. Jika buruk, maka menjadi buruk. Jika ditilik lebih dalam kenetralan Flexing senada dengan konteks menampakkan dan menyembunyikan sedekah, Allah berfirman dalam QS al-Baqarah[2]: 271

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. (Akan tetapi,) jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapus sebagian kesalahanmu. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Kendati flexing bersifat netral, akan tetapi fenomena di media sosial acapkali berkonotasi negatif. Sehingga kita perlu merenungi rentetan ayat yang mengisahkan Qarun, pelaku flexing dengan tujuan menyombongkan diri. Allah berfirman dalam QS. al-Qashash [28]: 76-83, yakni menceritakan nasib Qarun. Yang pada ujungnya mendapatkan adzab. 

BINCANG SYARIAH