Kaidah-Kaidah Memahami Hakikat Istiqomah Bag. 3

Kaidah ketiga: Pokok istiqomah adalah istiqomahnya hati
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يستقيم إيمان عبد حتى يستقيم قلبه

Tidak akan istiqomah (tegak) iman seorang hamba hingga hatinya istiqomah.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad No. 13048, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)
Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

فأصل الإستقامة استقامة القلب على التوحيد

Pokok istiqomah adalah istiqomahnya hati di atas tauhid.”
Beliau melanjutkan, “Tatkala hati telah istiqomah dengan mengenal Allah, takut kepada-Nya, memuliakan-Nya, mengagungkan-Nya, mencinta-Nya, menghendaki-Nya, berharap kepada-Nya, berdo’a kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya. Maka anggota badan juga akan istiqomah dalam ketaatan. Karena hati adalah raja bagi tubuh dan anggota badan yang lain adalah tentaranya. Jika sang raja istiqomah (yaitu hati yang lurus) maka seluruh tubuh sebagai tentaranya juga akan istiqomah.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 386)
Pernyataan ini berdasarkan dalil dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,

إن في الجسد مضغة، إذا صلحت، صلح الجسد كله، وإذا فسدت، فسد الجسد كله، ألا وهي القلب

Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh jasad dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Segumpal daging itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)
Istiqomahnya hati dalam ketaatan dan ketundukan kepada Allah menjadi sebab istiqomahnya seorang hamba ketika melakukan amalan yang nampak baik amalan sunnah maupun yang wajib. Tentu karena hati yang bersih akan menghasilkan amalan dzahir yang bersih pula. Namun, tidak berlaku sebaliknya, ketika seorang hamba menampakkan ketaatan, bisa saja hatinya memalingkan ketaatan tersebut kepada selain Allah, karena amalan lahiriahnya bukan atas motivasi ketundukan kepada Allah, melaikan karena riya atau ujub yang ada di dalam hatinya. Wal’iyadzubillaah.
Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Oleh karena itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’a

أللَّهُمَّ إِنِّي أَسأَلُكَ قَلْبًا سَلِيْمًا

Ya Allah! Aku memohon kepadamu hati yang selamat.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’I, dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Dari kaidah ini kita bisa menyimpulkan bahwa diantara sebab istiqomahnya seorang hamba adalah ia senantiasa waspada dengan penyakit hati yang akan mungkin mengotorinya. Ia juga bersemangat untuk memperbaiki amalan hatinya sehingga ia mengapai derajat istiqomah.
Wallaahu a’lam, semoga bermanfaat. Simak terus pembahasan tentang kaidah-kaidah untuk memahami hakikat istiqomah di artikel muslimah.or.id selanjutnya, in syaa Allah.

Penulis : Titi Komalasari
Murojaah : Ustadz Ratno, Lc

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Isiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.
Referensi lain:
Terjemahan Al-Quran Al-Kariim
.
Artikel Muslimah.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11067-kaidah-kaidah-memahami-hakikat-istiqomah-bag-3.html

Kaidah-Kaidah Memahami Hakikat Istiqomah Bag. 2

Istiqomah adalah jalan yang harus selalu diusahakan, karena istiqomah yang berbuah kebaikan di akhirat adalah istiqomah sampai husnul khatimah. Oleh karena itu, nasehat untuk istiqomah hendaknya menjadi santapan harian agar jiwa selalu waspada dan berbenah.
Setelah membahas kaidah pertama tentang istiqomah sebagaimana dijelaskan Syaikh Abdul Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr dalam kitabnya Asyru Qawaid fil Istiqomah, kami mencoba memaparkan kepada pembaca kaidah lain yang tidak kalah pentingnya dengan kaidah pertama
Kaidah kedua: Hakikat istiqomah adalah berada di atas manhaj dan jalan yang lurus
Syaikh hafidzahullaah menjelaskan, bahwa hakikat istiqomah yaitu istiqomah di atas manhaj yang benar dan jalan yang lurus. Generasi terbaik islam dari kalangan sahabat maupun tabi’in telah menjelaskan makna dan hakikat istiqomah ini melalui banyak riwayat.
Allah Ta’ala berfirman

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah)…” (QS. Fusshilat: 30)
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallaahu’anhu mengatakan (ketika menafsirkan ayat di atas),

هم الذين لم يشركوا به شيئا

Mereka (yaitu orang-orang yang disebutkan dalam ayat) adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan apapun.” (Tafsir ath-Thabari, 21/464)
Ibnu ‘Abbas radhiallaahu’anhu menjelaskan makna ayat ini dengan mengatakan,

على شهادة أن لا إله إلا الله

“(Yaitu istiqomah) di atas syahadat laailaaha illallaah.”
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh ahli tafsir lainnya seperti Anas, Mujahid, Aswad bin Hilal, Zaid bin Aslam, As-Suddiy, Ikrimah dan yang lainnya. (Tafsir Ath-Thabari, 21/464-465)
Qatadah juga menafsirkan kalimat ثُمَّ اسْتَقَامُوا ,

استفاموا على طاعة الله

(Yaitu) Istiqomah di atas ketaatan kepada Allah.” (Al-Mushannaf ‘Abdur Razzaq No. 2618)
Ibnu Rajab juga memberikan pernyataan serupa ketika mendefinisikan istiqomah dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam, beliau mengatakan,

والإستقامة: هي سلوك الصراط المستقيم، وهو الدين القيم من غير تعريج عنه يمنة ولا يسرة، ويشمل ذلك فعل الطاعات كلها، الظاهر والباطنة وترك المنهيات كلها كذالك، وصارت هذه الوصية جامعة لخصال الدين كلها

Istiqomah itu dengan menempuh jalan yang lurus, yaitu jalan islam yang mulia tanpa mencong ke kanan atau kekiri. Dan realisasinya mencakup semua jenis ketaatan yang dzohir (nampak) maupun batin (berupa amalan hati), juga meninggalkan larangan-larangan seluruhnya. Maka, istiqomah sejatinya adalah nasehat untuk menjalankan seluruh perintah agama.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 383-384)
Semua penjelasan sahabat maupun para tabi’in di atas saling melengkapi dan memiliki makna yang sama, yaitu hakikat istiqomah adalah istiqomah di atas kebenaran dengan menjalankan perintah agama secara menyeluruh termasuk meninggalkan larangan-larangan di dalamnya.
Demikianlah hakikat istiqomah. Tidak ada keistiqomahan dengan menyimpang dari agama, karena istiqomah yang kita minta kepada Allah adalah istiqomah dalam kebenaran dan ketaatan. Wallaahu a’lam, semoga bermanfaat.
Kaidah penting lainnya untuk memahami hakikat istiqomah akan dibahas di artikel selanjutnya, in syaa Allah.

Penulis: Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Isiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.
Referensi lain:
Terjemahan Al-Quran Al-Kariim

Artikel Muslimah.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11062-kaidah-kaidah-memahami-hakikat-istiqomah-bag-2.html

Kaidah-Kaidah Memahami Hakikat Istiqomah Bag. 1

Berduyun-duyun manusia menuju hijrah mereka di jalan Allah, ada yang hijrah dari kekafiran menuju cahaya islam, adapula yang hijrah dari kefasikan menuju ketaatan di atas jalan al-quran dan sunnah. Siapapun yang jujur dalam hijrahnya, pasti merasakan kebahagiaan, karena demikianlah, kebahagiaan itu hanya bisa diraih di atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya al-Musthafa.

Tugas selanjutnya bagi seorang hamba yang telah hijrah menuju iman kepada Allah adalah istiqomah.

Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah radhiallaahu ‘anhu berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Katakan kepadaku sebuah perkataan tentang Islam yang tidak akan aku tanyakan kepada seorangpun selain engkau.’ Beliau menjawab,

قل آمنت بالله ثم استقم!

Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqomahlah!’ (HR. Muslim).

Namun, kehidupan di dunia tidak pernah lepas dari cobaan, termasuk cobaan dalam keimanan setelah hijrah. Oleh karena itu, hendaknya kita berusaha bertahan dengan istiqomah dalam ketaatan atas dasar al-quran dan sunnah.

Muncul banyak pertanyaan, bagaimana agar kita istiqomah dalam mengaruhi jalan hijrah? Bagaimana agar kita tetap istiqomah dalam ketaatan? Berikut kami sarikan pembahasan tentang pokok-pokok istiqomah dari kitab ‘Asyra Qawaaid Fil Istiqomah. Tulisan ini tidak secara langsung membahas sebab-sebab istiqomah, namun menuntun pembaca untuk memahami kaidah-kaidah penting dalam istiqomah sehingga bisa menempuh sebab-sebabnya, biidznillah.

Kaidah pertama: Istiqomah merupakan karunia dan pemberian Allah

Allah Ta’ala firmankan dalam banyak ayat-Nya maupun risalah Nabi-Nya tentang salah satu kaidah yang penting untuk memahami dan merealisasikan istiqomah, yaitu memahami bahwa istiqomah adalah karunia dan pemberian dari Allah, bukan semata-mata karena usaha. Bahkan kita harus meyakini bahwa seluruh urusan ada di tangan Allah, atas kuasa dan kehendak Allah. Allah akan memberikan petunjuk berupa istiqomah di atas jalan kebenaran kepada siapa yang Allah inginkan dan Allah pulalah yang memalingkan hamba dari jalan kebenaran kepada siapa yang Allah kehendaki. Yang harus kita yakini, kehendak Allah selalu mengandung hikmah kebaikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا

Dan pasti Kami tunjukan kepada mereka jalan yang lurus.” (QS. An-Nisa: 68).

Allah juga berfirman

لَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيم

Sungguh, Kami telah menurunkan ayat-ayat yang memberi penjelasan. Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Ia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. An-Nur: 46).

Ayat yang menjelaskan bahwa istiqomah di atas jalan kebenaran merupakan karunia dan pemberian Allah amatlah banyak dan disebutkan berulang-ulang dalam al-qur’an. Diantara faidahnya, agar kita hanya bergantung dan berharap istiqomah kepada Allah saja.

Dalil lain yang menunjukkan istiqomah merupakan pemberian dari Allah yaitu; Rasulullah senantiasa memperbanyak (dan mengulang-ulang) berdo’a kepada Allah agar Allah tetapkan hati beliau di atas istiqomah. Beliau selalu berdoa,

يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبَيْ عَلَى دِيْنِكَ

Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.”

Tidak kita ragukan lagi bagaimana keimanan Rasulullah dan amal beliau, bahkan beliau sudah Allah jaminkan surga untuk-Nya. Namun, Rasulullah senantiasa memohon istiqomah kepada Allah dalam do’a-do’a beliau. Tentu kita dengan kadar taqwa, ilmu dan amal yang amat jauh dari beliau harusnya lebih banyak meminta kepada Allah. Kita dengan segala kelemahan dalam beragama, lebih rentan terkena syubhat dan syahwat harusnya lebih besar pengharapannya kepada Allah agar Allah jaga kita dari penyimpangan dalam beragama dan istiqomah di atas jalan islam sesuai al-Quran dan sunnah.

Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah! Benarkah hati bisa berbolak-balik?” Rasulullah menjawab,

نعم، ما من خلق الله من بني آدم من بشر إلا أن قلبه بين أصبعين من أصابع الله فإن شاء الله عز وجل أقامه، وإن شاء أزاغه

Ya. Tidak ada satupun cipataan Allah dari kalangan bani Adam melainkan hati mereka ada di antara 2 jari jemari Allah. Jika Allah berkehendak, Allah istiqomahkan ia. Dan jika Allah berkehendak, Allah akan sesatkan ia.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan al-Albani).

Allah Ta’ala berfirman,

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7).

Jika kita menyadari, ternyata kita telah meminta keistiqomahan kepada Allah minimal 17 kali dalam sehari ketika membaca surat al-Fatihah di setiap shalat fardhu. Dengan demikian, kita memahami bahwa memohon istiqomah adalah doa yang harus terus dipanjatkan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah) …” (QS. Fusshilat: 30).

Hasan al-Bashri ketika membaca ayat tersebut, beliau berdo’a

اللّهُمَّ أَنْتَ رَبَّنَا فَارْزُقْنَا الإِسْتِقَامَةَ

Ya Allah! Engkaulah Rabb kami, rezkikanlah istiqomah kepada kami.” (Tafsir Ath-Thabari, 21/465).

Wallaahu a’lam, semoga bermanfaat. In syaa Allah, kaidah lain tentang istiqomah akan dibahas di artikel-artikel muslimah.or.id selanjutnya.

***

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Istiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.

Referensi lain:

  • Terjemahan Al-Quran Al-Kariim
  • Terjemahan Matan Al-Arbain An-Nawawiyyah, Imam An-Nawawi, Pustaka Ibnu Umar

Penulis: Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc
Artikel Muslimah.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11057-kaidah-kaidah-memahami-hakikat-istiqomah-bag-1.html