Hukum Menggabungkan Puasa Rajab dengan Qadha Ramadhan

Berpuasa di Rajab merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan sebagaimana bulan-bulan mulia lainnya (Muharram, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah). Sekalipun tidak ada hadis shahih yang secara khusus menjelaskan fadilah puasa Rajab, namun kesunnahan puasa Rajab sudah termasuk dalam dalil anjuran berpuasa secara umum dan anjuran berpuasa di bulan-bulan mulia. Yang menjadi pertanyaan adalah ketika sebagian orang masih memiliki tanggungan hutang puasa Ramadhan, apakah ia boleh menggabungkan niat puasa Rajab dengan puasa qadha ramadhan?

Puasa sunnah Rajab sebagaimana puasa sunnah lainnya sah (boleh) dilakukan dengan niat berpuasa secara mutlak, tidak disyaratkan menentukan jenis puasanya (ta’yin). Contohnya dengan niat “Saya berniat puasa karena Allah”, tidak wajib menambahkan lafadz “Karena melakukan kesunnahan puasa Rajab”. 

Sedangkan puasa qadha Ramadhan tergolong puasa wajib yang harus ditentukan jenis puasanya (ta’yin), contoh dengan niat “Saya niat berpuasa qadha Ramadhan fardu karena Allah”.

Menggabungkan (tasyrik) niat puasa Rajab dengan puasa qadha Ramadhan hukumnya adalah sah dan pahala keduanya bisa didapatkan. Bahkan menurut Syaikh Al-Barizi, meski hanya niat mengqadha puasa Ramadhan, secara otomatis pahala berpuasa Rajab bisa didapatkan.

Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah I’anah At-Thalibin [Juz 2, Hal: 224] karya Syaikh Syata’ Ad-Dimyati, sebagaimana berikut,

 وبالتعيين فيه النفل أيضا فيصح ولو مؤقتا بنية مطلقة كما اعتمده غير واحد  (وقوله ولو مؤقتا) غاية في صحة الصوم في النفل بنية مطلقة أي لا فرق في ذلك بين أن يكون مؤقتا كصوم الاثنين والخميس وعرفة وعاشوراء وأيام البيض أو لا كأن يكون ذا سبب كصوم الاستسقاء بغير أمر الإمام أو نفلا مطلقا   (قوله بنية مطلقة ) متعلق بيصح فيكفي في نية صوم يوم عرفة مثلا أن يقول نويت الصوم  ( قوله كما اعتمده غير واحد) أي اعتمد صحة صوم النفل المؤقت بنية مطلقة  وفي الكردي ما نصه في الأسنى ونحوه الخطيب الشربيني والجمال الرملي الصوم في الأيام المتأكد صومها منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ زاد في الإيعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا نواه معه أو لا  وذكر غيره أن مثل ذلك ما لو اتفق في يوم راتبان كعرفة ويوم الخميس  انتهى 

“Dan dikecualikan dengan pensyaratan ta’yin (menentukan jenis puasa) dalam puasa fardlu, yakni puasa sunnah, maka sah hukumnya berpuasa sunnah dengan niat puasa mutlak, meski puasa sunnah yang memiliki jangka waktu sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama.

“Perkataan Syaikh Zainuddin, meskipun puasa sunnah yang memiliki jangka waktu, ini adalah puncak kebolehan puasa sunnah dengan niat puasa mutlak, maksudnya tidak ada perbedaan dalam ke-sah-an tersebut antara puasa sunnah yang berjangka waktu seperti puasa hari Senin-Kamis, Arafah, Asyura’ dan hari-hari tanggal purnama. Atau selain puasa sunnah yang berjangka waktu, seperti puasa yang memiliki sebab, sebagaimana puasa istisqa’ dengan tanpa perintah imam, atau puasa sunnah mutlak”. 

“Ungkapan Syaikh Zainuddin, dengan niat puasa mutlak, maka cukup dalam niat puasa Arafah dengan niat semisal, saya niat berpuasa.”  

Khatib Al-Syirbini dan Syaikh Jamal Al-Ramli, berpuasa di hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa secara otomatis tertuju pada hari-hari tersebut, bahkan apabila seseorang berniat puasa beserta niat puasa lainnya, maka pahala keduanya berhasil didapatkan. 

Dalam kitab Al-I’ab ditambahkan, dari kesimpulan tersebut, Syaikh Al-Barizi berfatwa bahwa apabila seseorang berpuasa qadha (Ramadhan) atau lainnya di hari-hari yang dianjurkan berpuasa, maka pahala keduanya bisa didapat, baik disertai niat berpuasa sunnah atau tidak. Ulama lain menyebutkan, demikian pula apabila berketepatan bagi seseorang dalam satu hari dua puasa rutin, seperti puasa hari Arafah dan puasa hari Kamis.

Itulah penjelasan perihal hukum menggabungkan niat puasa Rajab dan puasa qadha Ramadhan. Wallahu A’lam.

BINCANG MUSLIMAH