Memilih Ittiba’ atau Taklid?

Syariat Islam yang telah diturunkan Allah SWT melalui nabinya sudah sempurna seutuhnya. Umat Islam tidak diperkenankan lagi membuat-buat syariat baru (bid’ah). Membuat bid’ah sama artinya meragukan kesempurnaan Islam dari Allah sehingga butuh penambahan atau penyempurnaan dari manusia.

Umat Islam hanya diperbolehkan mengikut aturan-aturan syariat yang telah ada. Syariat Islam yang sudah sempurna tersebut sudah cukup sebagai sumber hukum dan aturan bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Namun, dalam mengikuti syariat tersebut juga dipahami dengan cerdas.

Dalam mengikuti syariat, ada dua kelompok yang dikenal, yaitu taklid dan ittiba’. Secara bahasa, taklid diambil dari kata-kata qiladah (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain.

Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaklid dengan taklidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Demikian seperti diterangkan Syekh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya,  Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Turath wa al-Tamazhub wa al-Ikhtilaf.

Jadi, taklid artinya mengikut tanpa alasan atau meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memegang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.

Mengenai hukum taklid ini, Khairul Umam dan A Achyar Aminudin dalam buku Ushul Fiqih II membaginya kepada dua macam, yaitu taklid yang diperbolehkan dan taklid yang dilarang atau haram.

Khairul Umam menerangkan, hukum taklid bisa dipandang mubah (boleh) bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Pendapat ini juga diamini oleh Imam Hasan al-Banna yang membolehkan taklid bagi orang awam.

Namun, hukum taklid yang mubah tidak berlaku bagi Muslim yang sampai pada tingkatan an-nazhr atau memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Jadi, hanya diperuntukkan bagi mereka yang awam sekali yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari Alquran dan sunah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.

Taklid buta diharamkan dalam syariat, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran Alquran dan hadis. Terkadang, orang taklid buta tidak memperhatikan lagi apa yang diikutinya walau sudah bertentangan dengan Alquran dan hadis.

Hal ini serupa dengan Firman Allah SWT, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS al-Baqarah [2]: 170).

Para ulama mensyaratkan, orang awam yang ingin bertaklid kepada suatu pendapat harus melihat betul pendapat siapa yang akan ia ikuti. Taklid hanya dibolehkan kepada para mujtahid yang benar-benar mengerti hukum-hukum Islam. Demikian juga perkara yang boleh ditaklidi hanya hal-hal yang berhubungan dengan syara (hukum). Adapun dalam hukum akal tidak boleh bertaklid kepada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

Adapun ittiba‘ pada dasarnya sama dengan taklid karena sama-sama mengikut. Menurut Nazar Bakry dalam bukunya Fiqh dan Ushul Fiqhittiba‘ adalah menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu Alquran maupun hadis yang dapat dijadikan hujah.

Definisi ini sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan, ittiba’ berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.

Di sinilah perbedaan antara taklid dengan ittiba’. Ittiba’ mengikuti dengan ilmu, sedangkan taklid mengikuti tanpa ilmu. Dede Rosyada dalam buku Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis menyimpulkan, dalam taklid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba’ ada unsur kreativitas. Kreativitas yang dimaksudkan adalah studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.

Ittiba‘ didapatkan dengan mengkaji nas-nas kemudian meng-istinbat-kan hukum darinya. seorang tabi’ (orang yang ber-ittiba‘) dapat mengemukakan dalil beserta hujah (alasan) mengapa ia memilih pendapat tersebut. Inilah yang diajarkan dalam Islam agar umatnya mengikuti suatu pendapat dengan mempunyai argumentasi-argumentasi. Islam mencela orang yang sanggup ber-ittiba‘ namun memilih untuk taklid. Orang seperti ini adalah orang pemalas yang tak mau mengkaji agamanya.

Allah SWT berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS an-Nahl[16]: 43). 

REPUBLIKA