Pulang dari Jihad demi Berbakti pada Orangtua

SEORANG laki-laki bernama Kilab bin Umayyah bin Askar. Dia memiliki ayah dan ibu yang sudah tua. Dia menyiapkan susu untuk keduanya tiap pagi dan petang hari. Kemudian datanglah dua orang menemui Kilab, mereka membujuknya untuk pergi berperang. Ternyata Kilab tertarik dengan ajakan tersebut, lalu dia membeli seorang hamba sahaya untuk menggantikannya mengasuh kedua orang tuanya. Setelah itu Kilab pun pergi berjihad.

Suatu malam, hamba sahaya tersebut datang dan membawa gelas jatah susu petang hari kepada ibu dan bapak Kilab, ketika keduanya sedang tidur. Dia menunggu sesaat dan tidak membangunkannya lalu pergi. Di tengah malam keduanya terbangun dalam keadaan lapar, bapak Kilab berkata,

“Dua orang telah memohon kepada Kilab dengan kitabullah. Keduanya telah bersalah dan merugi. Kamu meninggalkan bapakmu yang kedua tangannya gemetar, dan ibumu tidak bisa minum dengan nikmat. Jika merpati itu bersuara di lembah Waj karena telur-telurnya, kedunya mengingat Kilab. Dia didatangi oleh dua orang yang membujuknya. Wahai hamba-hamba Allah, sungguh keduanya telah durhaka dan merugi. Aku memanggilnya lalu dia berpaling dengan menolak. Maka dia tidak berbuat yang benar. Sesungguhnya ketika kamu mencari pahala selain dari berbakti kepadaku, hal itu seperti pencari air yang memburu fatamorgana. Apakah ada kebaikan setelah menyia-nyiakan kedua orang tua? Demi bapak Kilab, perbuatannya tidak dibenarkan.”

Jika ada orang luar Madinah yang datang ke kota Madinah, Umar bin Khatab radhiallahu anhu selalu menanyakan tentang berita-berita dan keadaan mereka. Umar bertanya kepada salah seorang yang datang, “Dari mana?” Orang itu menjawab, “Dari Thaif.” Umar bertanya, “Ada berita apa?” Orang itu menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki berkata (laki-laki ini menyebut ucapan bapak Kilab di atas).” Umar menangis dan berkata, “Sungguh Kilab mengambil langkah yang keliru.”

Kemudian bapak Kilab, Umaiyah bin Askar dengan penuntunnya menemui Umar yang sedang di masjid. Dia mengatakan, “Aku dicela. Kamu telah mencelaku tiada batas, dan kamu tidak tahu penderitaan yang kurasakan. Jika kamu mencelaku, maka kembalikanlah Kilab manakala dia berangkat ke Irak. Pemuda mulia dalam kesulitan dan kemudahan, kokoh dan tangguh pada hari pertempuran. Tidak, demi bapakmu, cintaku kepadamu tidaklah usang. Begitu pula harapanku dan kerinduanku kepadamu. Seandainya kerinduan yang mendalam membelah hati, niscaya hatiku telah terbelah karena kerinduan kepadanya. Aku akan mengadukan al-Faruq (maksudnya Umar bin Khattab) kepada Tuhannya yang telah menggiring jamaah haji ke tanah berbatu hitam. Aku berdoa kepada Allah dengan berharap pahala dari-Nya di lembah Akhsyabain sampai air hujan mengalirinya. Sesungguhnya al-Faruq tidak memanggil Kilab untuk pulang kepada dua orang tua yang sedang kebingungan.”

Umar menangis, lalu beliau menulis surat kepada Abu Musa al-Asyari agar memulangkan Kilab ke Madinah. Abu Musa berkata kepada Kilab, “Temuilah Amirul Mukminin Umar bin Khattab.” Kilab menjawab, “Aku tidak melakukan kesalahan, tidak pula melindungi orang yang bersalah.” Abu Musa berkata, “Pergilah!” Kilab pulang ke Madinah. Ketika Umar bertemu dengannya, beliau mengatakan, “Sejauh mana kamu berbuat baik kepada orang tuamu?” Kilab menjawab, “Aku mementingkannya dengan mencukupi kebutuhannya. Jika aku hendak memerah susu untuknya, maka aku memilih onta betina yang paling gemuk, paling sehat dan paling banyak susunya. Aku mencuci puting susu onta itu, dan barulah aku memerah susunya lalu menghidangkannya kepada mereka.”

Umar mengutus orang untuk menjemput bapaknya. Bapak Kilab datang dengan tertatih-tatih dan menunduk. Umar bertanya kepadanya, “Apa kabarmu, wahai Abu Kilab?” Dia menjawab, “Seperti yang Anda lihat wahai Amirul Mukminin.” Umar bertanya, “Apakah kamu ada kepeluan?” Dia menjawab, “Aku ingin melihat Kilab. Aku ingin mencium dan memeluknya sebelum aku mati.” Umar menangis dan berkata, “Keinginanmu akan tercapai insya Allah.”

Kemudian Umar memerintahkan Kilab agar memerah susu onta untuk bapaknya seperti yang biasa dia lakukan. Umar menyodorkan gelas susu itu kepada bapak Kilab sambil berkata, “Minumlah ini, wahai bapak Kilab.” Ketika bapak Kilab mendekatkan gelas ke mulutnya, dia berkata, “Demi Allah, aku mencium bau kedua tangan Kilab.” Umar mengatakan, “Ini Kilab, dia ada di sini. Kami yang menyuruhnya pulang.” Bapak Kilab menangis dan Umar bersama orang-orang yang hadir juga menangis. Mereka berkata, “Wahai Kilab, temani kedua orang tuamu.” Maka Kilab tidak pernah lagi meninggalkan mereka sampai wafat. [Nurfitri Hadi, S.S.,M.A./KisahMuslim]

 

INILAH MOZAIK

Indahnya Malam Jihad di Jalan Allah

TERSEBUTLAH kisah dua orang mujahid di medan perang bernama Hatim Al-A’sham dan Shaqiq. Shaqiq merupakan seorang perawi hadits dari Ubad bin Katsir serta sahabat karib Ibrahim bin Adham. Ia menemui syahidnya dalam Perang Kulan pada tahun 194 H.

Salah satu malam dari banyaknya malam yang ia habiskan di medan perang, dimana sepanjang mata memandang hanyalah pandangan kepala yang tertebas dan pedang saling beradu. Shaqiq bertanya, “Wahai Hatim, kita berada di antara dua baris pejuang. Bagaimana menurutmu hari ini? Apakah seindah malam pertamamu?”

“Tidak, demi Allah,” jawab Hatim.

emudia Shaqiq berkata, “Demi Allah, pada hari ini, saya merasa lebih bahagia daripada apa yang saya rasakan ketika malam pertama.” Lalu, ia berbaring di antara dua baris pejuang yang mati syahid dan menempatkan tameng dari kulit di bawah pipinya sampai tertidur pulas dan dengkurannya terdengar.

Shaqiq juga sempat berkata, “Bertemanlah dengan orang-orang seperti dirimu ingin bermain dengan api, ambil yang bermanfaat dari mereka. Tapi berhati-hatilah jangan sampai terbakar.”

Begitulah indahnya malam Jihad fi Sabilillah bagi para mujahid hingga mereka menemui syahidnya. Bahkan lebih indah dibandingkan malam pertama bagi seorang pengantin.

Dan, sebagaimana pesan beliau, alangkah indahnya bila kita mampu berteman dengan mereka yang baik akhlak dan ibadahya. Karena sungguh, jauhilah teman-teman yang buruk meski mereka dekat, dan dekatilah teman-teman yang baik meski mereka jauh dari hidup kita. Selamat mencari teman hidup ya.

 

INILAH MOZAIK

Memurnikan Makna Jihad di Bulan Suci

Jihad menjadi kata yang sering kali disamakan dengan teror. Media-media barat kerap menyebut teroris sebagai ‘jihadis.’ Fenomena Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang memenggal kepala manusia kian mengukuhkan persepsi itu. Sejak serangan 9/11 hingga konflik Suriah, istilah jihad kian mengalami penyusutan makna.

Hanya, jihad memiliki makna berbeda bagi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) Muhammad Rudi. Dia mengartikan jihad sebagai bahasa membantu sesama. Rudi menjadi satu dari tiga relawan BSMI yang berangkat ke Suriah untuk mengirimkan bantuan logistik. Dia menjadi saksi perang saudara di Suriah yang berkobar sejak 2013 lalu. 

Rudi berangkat bersama dokter dan perawat dari Jakarta pada Maret 2013. Mereka pergi melewati Istanbul, Hatay. kemudian gerbang Babulhawa menuju Kota Aleppo. Rudi menghabiskan dua pekan di Aleppo untuk membantu korban yang membutuhkan tenaga medis di Rumah Sakit Zabir. Ketika itu, BSMI bekerja sama dengan Aleppo City Medical Council (ACMC) untuk menyalurkan bantuan. 

“Kami membawa 12 tas berisi alat operasi, obat-obatan anestesi, untuk luka terbuka dan peralatan ortopedi serta obat-obatan umum untuk pengungsian,” kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (8/6).

Ketika itu, Aleppo telah menjadi kota mati. Rudi harus melewati jalan pedesaan karena jalan utama hancur ditembaki tentara Suriah. Dentuman bom dan bisingnya tembakan jadi pemandangan sehari-hari Rudi dan kawan-kawan.

Situasi bertambah pelik saat warga sipil mulai mempersenjatai diri. Mereka khawatir diserang secara tiba-tiba. Bantuan pun diberikan secara diam-diam pada malam hari. Ketika itu, tentara dan Pemerintah Suriah melarang bantuan dari luar negeri.

“Jika ketahuan, kami akan dalam bahaya karena setelah masuk Suriah, kami tidak lagi dikawal oleh tentara Turki. Kami harus bisa menjaga diri dan dilarang berfoto-foto,” ujar dia.

Rudi memaknai kenangan manisnya itu sebagai jihad kemanusiaan. Di tengah dua kubu yang berperang, Rudi menjelaskan, BSMI tidak bisa memilah. Dia menjelaskan, lembaga kemanusian tidak boleh membela siapa pun di tengah perang. Ketika melihat korban terluka, mereka wajib menolongnya.

Syekh Al Azhar Ahmad ath-Thayyib mengatakan, konsep jihad sering diselewengkan oleh kelompok-kelompok bersenjata, ekstrem, dan sektarian. Beberapa kelompok tersebut menganggap bahwa membunuh siapa saja yang mereka kehendaki adalah jihad. Syekh menyebut, hal itu merupakan salah satu kesalahan terbesar dalam memahami syariat Islam.

Menurut Syekh Al-Azhar, jihad dalam Islam disyariatkan untuk melindungi jiwa, agama, dan negara. Ia sendiri masih ingat betul pada masa kecilnya, ketika gurunya mengajarkan bahwa sebab yang membolehkan membunuh orang lain adalah tindakan menyerang, bukan karena persoalan “kafir.” Namun, pelaku teror tersebut memahami bahwa yang kafir wajib dibunuh.

Dalam sejarah Islam, Ramadhan pun sering kali lekat dengan maknajihad. Misalnya saja jihad melawan hawa nafsu, rasa ingin makan, dan bersenggama. Semangat jihad juga relevan untuk menaklukkan rasa dendam dan benci kepada orang lain, tanpa kecuali. Jihad ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam Fathu Makkah. Sebuah penaklukan kota yang dihuni para pembenci Islam dan Muhammad.

Penaklukan itu terjadi pada Ramadhan pada tahun ke-8 Hijriyah. Sekitar 10 ribu pasukan Muslimin bersenjata lengkap mengepung Makkah. Namun, apakah mereka membunuh kafir Quraisy yang sudah membantai keluarga nabi dan para sahabat? Sejarah membuktikan tidak. Rasulullah justru memberi pengampunan massal kepada warga Makkah.

Rasulullah pun mengucapkan pidato singkat yang dikenang hingga saat ini. “Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”

sumber: Republika Online

Menuntut Ilmu Bagian dari Jihad

Jihad ternyata bukan hanya dengan berperang mengangkat senjata. Menuntut ilmu agama bisa pula disebut jihad. Bahkan sebagian ulama berkata bahwa jihad dengan ilmu ini lebih utama daripada dengan senjata. Karena setiap jihad mesti pula didahului dengan ilmu.

Perkataan Ulama: Menuntut Ilmu Bagian dari Jihad

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Menuntut ilmu adalah bagian dari jihad di jalan Allah karena agama ini bisa terjaga dengan dua hal yaitu dengan ilmu dan berperang (berjihad) dengan senjata.

Sampai-sampai sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya menuntut ilmu lebih utama daripada jihad di jalan Allah dengan pedang.”

Karena menjaga syari’at adalah dengan ilmu. Jihad dengan senjata pun harus berbekal ilmu. Tidaklah bisa seseorang berjihad, mengangkat senjata, mengatur strategi, membagi ghonimah (harta rampasan perang), menawan tahanan melainkan harus dengan ilmu. Ilmu itulah dasar segalanya”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 108)

Di halaman yang sama, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata bahwa ilmu yang dipuji di sini adalah ilmu agama yang mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz pernah ditanya, “Apakah afdhol saat ini untuk  berjihad di jalan Allah ataukah menuntut ilmu (agama) sehingga dapat bermanfaat pada orang banyak dan dapat menghilangkan kebodohan mereka? Apa hukum jihad bagi orang yang tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya, namun ia masih tetap pergi berjihad?”

Jawab beliau, “Perlu diketahui bahwa menunut ilmu adalah bagian dari jihad. Menuntut ilmu dan mempelajari Islam dihukumi wajib. Jika ada perintah untuk berjihad di jalan Allah dan jihad tersebut merupakan semulia-mulianya amalan, namun tetap menuntut ilmu harus ada. Bahkan menuntut ilmu lebih didahulukan daripada jihad. Karena menuntut ilmu itu wajib. Sedangkan jihad bisa jadi dianjurkan, bisa pula fardhu kifayah. Artinya jika sebagian sudah melaksanakannya, maka yang lain gugur kewajibannya. Akan tetapi menuntut ilmu adalah suatu keharusan. Jika Allah mudahkan bagi dia untuk berjihad, maka tidaklah masalah. Boleh ia ikut serta asal dengan izin kedua orang tuanya. Adapun jihad yang wajib saat kaum muslimin diserang oleh musuh, maka wajib setiap muslim di negeri tersebut untuk berjihad. Mereka hendaknya menghalangi serangan musuh tersebut. Termasuk pula kaum wanita hendaklah menghalanginya sesuai kemampuan mereka. Adapun jihad untuk menyerang musuh di negeri mereka, jihad seperti ini dihukumi fardhu kifayah bagi setiap pria.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 24: 74)

Dalil Pendukung

Adapun dalil yang mendukung bahwa menuntut ilmu termasuk jihad adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيرًا (51) فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52)

Dan andaikata Kami menghendaki benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar” (QS. Al Furqon: 51-52). Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’ad, “Surat ini adalah Makkiyyah (turun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah, -pen). Di dalam ayat ini berisi perintah berjihad melawan orang kafir dengan hujjah dan bayan (dengan memberi penjelasan atau ilmu, karena saat itu kaum muslimin belum punya kekuatan berjihad dengan senjata, -pen). … Bahkan berjihad melawan orang munafik itu lebih berat dibanding berjihad melawan orang kafir. Jihad dengan ilmu inilah jihadnya orang-orang yang khusus dari umat ini yang menjadi pewaris para Rasul.”

Dalam hadits juga menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari jihad. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ

Siapa yang mendatangi masjidku (masjid Nabawi), lantas ia mendatanginya hanya untuk niatan baik yaitu untuk belajar atau mengajarkan ilmu di sana, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Jika tujuannya tidak seperti itu, maka ia hanyalah seperti orang yang mentilik-tilik barang lainnya.” (HR. Ibnu Majah no. 227 dan Ahmad 2: 418, shahih kata Syaikh Al Albani).

Semoga kita terus semangat berjihad dengan ilmu. Moga Allah beri petunjuk.

Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, Wanita Pemberani yang Gandrung Berjihad

AR-RUBAYYI’ binti Mu’awwidz bin Afra Al-Anshariyah ini adalah salah seorang shabiyah (shahabat wanita) dan perawi hadits Rasulullah SAW. Dia berasal dari keluarga yang baik dan terhormat, serta terkenal dengan berbagai kemuliaan sejak hari pertama mengenal Islam. Ayahnya adalah salah seorang yang menyaksikan Baiat Aqabah, Perang Badar, dan bergabung dengan pamannya dalam upaya pembunuhan Abu Jahal.  Keduanya beruntung mendapatkan doa yang indah dari Rasulullah. Sebagaimana beliau telah mendoakan keduanya, “Semoga Allah memberi rahmat kepada kedua anak Afra yang keduanya bergabung untuk membunuh Firaun umat ini (Abu Jahal).”

Kedudukan dan Kehormatannya

Ar-Rubayyi’ masuk Islam di Madinah ketika Rasulullah tiba di sana sebagai seorang muhajir (orang yang berhijrah). Saat itu dia masih berusia sangat muda. Ar-Rubayyi’ merupakan salah seorang shahabiyah yang mendapat perhatian dari Nabi Muhammad, dan cukup dekat dengan beliau. Kedekatan tersebut menorehkan kedudukan dan kehormatan mulia Ar-Rubayyi’ di sisi beliau. Diceritakan bahwa Rasulullah mengunjungi Ar-Rubayyi’ pada pagi hari setelah malam pengantinnya, sebagai wujud silaturrahim kepadanya. Hal itu terjadi setelah Perang Badar. Dan dalam kunjungan itu, beliau juga menyempatkan diri untuk memberikan petunjuk kepada para wanita, demi kebaikan dunia dan akhirat.

Bahkan tidak sedikit teks sejarah yang menyebutkan kemuliaan dan kehormatan kedudukan Ar-Rubayyi’ di sisi Rasulullah. Musa bin Harun Al-Hammal mengatakan, “Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz telah mendampingi Nabi SAW, dan dia memiliki kehormatan yang tinggi.” Kemudian Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Rasulullah mendatangi Ar-Rubayyi’ di hari pernikahannya, lalu duduk di atas kasurnya, ini menunjukkan kesempurnaan kebahagiannya.”

Begitu dekatnya Ar-Rubayyi’ dengan Rasulullah, bahkan beliau biasa makan di rumahnya, menerima hadiahnya, dan menghormatinya. Dalam hal ini, Ar-Rubayyi’ memiliki cerita yang sungguh indah. Diriwayatkan mengenai Ar-Rubayyi’ bahwa suatu ketika dia mendatangi Rasulullah dengan membawa sepiring kurma dan sepinggan anggur. Seketika beliau menggantinya dengan emas atau perhiasan, seraya bersabda kepada Ar-Rubayyi’, “Berhiaslah dengan ini!”

…Ar-Rubayyi’ menjadi shahabiyah satu-satunya yang meriwayatkan secara detil tentang wudhu Rasulullah…

Begitulah Rasulullah menunjukkan kedermawanan yang berpadu dengan kelembutan dan kemurahan kepada Ar-Rubayyi’. Dalam lembaran-lembaran tentang kehidupannya, kita akan mendapatkan riwayat tentang kunjungan Rasulullah lainnya. Tak hanya sekedar berkunjung, kedekatan Ar-Rubayyi’ dengan beliau terlihat dari fragmen ketika Rasulullah berwudhu di rumahnya dan bersabda kepadanya, “Tuangkan air wudhu untukku!” Sehingga Ar-Rubayyi’ menjadi shahabiyah satu-satunya yang meriwayatkan secara detil tentang wudhu Rasulullah. Ibnu Majah mentakhrij hadits darinya bahwa Rasulullah berwudhu dengan membasuh sebanyak tiga kali-tiga kali.

Demikianlah, terkait kedekatan Rasulullah dengan Ar-Rubayyi, tidak ada cinta yang lebih mulia daripada cinta beliau kepada para syahid dan anak-anak mereka. Rasulullah senantiasa menunjukkan kelemahlembutan kepada mereka. Beliau juga menjanjikan kepada mereka untuk selalu menziarahi mereka dan memberikan kepada mereka arahan dari waktu ke waktu.

Saking intensnya berinteraksi dengan Rasulullah, tak heran jika Ar-Rubayyi’ terampil menyebutkan sifat-sifat Rasulullah dengan cara dan diksi yang indah. Diriwayatkan Abu Ubaidah bin Muhammad bin Ammar bin Yasir, “Kukatakan kepada Ar-Rubayyi’ binti Mua’wwidz bin Afra, ‘Sebutkan ciri-ciri Rasulullah untukku!’ Ar-Rubayyi’ menjawab, ‘Wahai anakku, engkau melihatnya laksana matahari terbit’.”

Sang Pemberani

Dalam berbagai literatur sejarah, diceritakan bahwa Ar-Rubayyi’ adalah seorang wanita mulia yang memiliki keberanian mumpuni. Sebuah keberanian yang diletakkannya dalam konteks perlawanan terhadap kebatilan dan kemusyrikan. Sepertinya, sifat pemberaninya itu diturunkan dari ayahnya, sang pemberani yang bergabung dalam operasi pembunuhan Abu Jahal. Ar-Rubayyi’ memliki kebanggaan yang besar kepada ayahnya.

Keberanian Ar-Rubayyi’ ditunjukkannya ketika dia menantang ibu Abu Jahal. Diriwayatkan bahwa Ar-Rubayyi’ mengambil minyak wangi dari Asma binti Makhrabah, ibu Abu Jahal. Lalu Asma menanyakan nasab Ar-Rubayyi’. Lantas dia pun menyebutkan silsilah nasabnya. Kemudian Asma berkata, “Engkau adalah anak perempuan dari seorang pembunuh tuannya (Abu Jahal).”

Dengan penuh keberanian, Ar-Rubayyi’ menjawab, “Aku adalah anak perempuan dari seorang pembunuh ‘budak’nya.” Mendengar jawaban tersebut, sontak Asma naik pitam, namun tidak berani meladeni keberanian Ar-Rubayyi’. Asma hanya bisa menimpali, “Demi Allah, aku tidak akan menjual sesuatu kepadamu untuk selama-lamanya.” Ar-Rubayyi’ yang merasa senang membuat Asma murka berkata, “Haram bagiku untuk membeli sedikit saja dari minyak wangimu.” Sungguh, ini merupakan satu bentuk sikap barra` (anti-loyalitas) yang patut ditiru oleh setiap muslim.

Mujahidah Pejuang

Keberanian yang dimiliki Ar-Rubayyi’ menjadikannya sebagai sosok yang gandrung dengan perjalanan jihad Rasulullah dan para shahabat beliau. Pengalamannya dengan amalan puncak dalam Islam ini (baca: jihad) dimulai ketika ayahnya berpartisipasi dalam Perang Badar. Ar-Rubayyi’ berangkat bersama Rasulullah untuk mengikuti berbagai peperangan dengan tujuan agar mendapatkan pahala dan balasan yang telah disediakan Allah SWT untuk para mujahidin. Dia ikut berkontribusi dalam jihad dengan melayani pengobatan para mujahidin, serta menyiapkan perlengkapan logistik mereka.

…Ar-Rubayyi’ adalah wanita mulia yang memiliki keberanian dalam perlawanan terhadap kebatilan dan kemusyrikan…

Ibnu Katsir berkata mengenai Ar-Rubayyi’, “Dia berangkat bersama Rasulullah untuk mengikuti berbagai peperangan guna mengobati para mujahidin yang terluka dan memberi minuman bagi mereka yang kehausan.” Al-Bukhari mentakhrij dari Ar-Rubayyi’ bahwa dia berkata, “Kami ikut peperangan bersama Rasulullah untuk membantu, memberikan minum, dan mengobati mujahidin yang terluka, serta membawa pulang mujahidin yang tewas ke Madinah.”

Meriwayatkan dan Menghapalkan Hadits

Kontribusi Ar-Rubayyi’ tidak hanya diarahkan pada persoalan jihad dan perjuangan saja, dia juga sangat mencintai ilmu. Dia seringkali mengunjungi Aisyah untuk menambah wawasan dan ilmu. Ilmunya terfokus pada meriwayatkan dan menghafal hadits Rasulullah. Ar-Rubayyi’ meriwayatkan hadits dari beliau sebanyak 21 buah hadits.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits darinya. Kedua imam ini bersepakat pada sebuah hadits darinya. Bahkan beberapa shahabat dan tabiin datang kepada Ar-Rubayyi’ untuk mendapatkan hadits. Sejumlah tabiin terkemuka juga meriwayatkan hadits darinya, sebut saja Khalid bin Dzakwan, Sulaiman bin Yasar, Abu Ubaidah bin Ammar bin Yasir, dan lainnya.

Karena wawasan dan keilmuannya, Ar-Rubayyi’ tampil menjadi salah seorang shahabiyah yang menjadi referensi dalam hukum, sirah Nabi, dan berbagai peristiwa dalam Islam di awal masa kemunculannya. Beberapa literatur sejarah menyebutkan bahwa dia wafat pada tahun 37 Hijriyah, setelah mewariskan berbagai pengaruh baik di kalangan wanita beriman yang terus memancarkan kebaikannya. Semoga abadi sesuai kehendak Allah SWT. Amin! [ganna pryadha/voa-islam.com]

Referensi: Ahmad Khalil Jam’ah, Nisaa’ min ‘Ashri an-Nubuwwah.

 

sumber: VOA Islam