Kerakusan Menyebabkan Kehinaan dan Kerusakan Agama

Salah satu sifat buruk yang harus dihindari atau bahkan jangan sampai dipunyai seseorang adalah rakus. Sesungguhnya kerakusan sifatnya kontradiktif dengan keimanan.Sebab orang yang rakus, ia akan mengejar dunia. Sedangkan orang beriman, ia akan berada dikoridor agama, tak berlebih-lebihan dan percaya takdir. Ibnu Athaillah dalam kitab Hikam berkata:

مَا بَسَقَتْ أَغْصَانُ ذِلٍّ الاَّ عَلَى بَذْرِ طَمَعٍ

“Tidak akan berkembang biak cabang kehinaan kecuali di atas bibit kerakusan”

Seseorang yang rakus akan membuat dirinya tidak tenang dalam kehidupan sehari-hari. Ia akan selalu kurang jika belum atau bahkan sudah mendapatkan sesuatu. Ingin lebih dari pada yang lain. Akibatnya, ia berpotensi bisa melakukan cara-cara yang tak terpuji dalam mendapatkan apa yang ia inginkan.

Kerakusan atau ketamakan dalam Bahasa Arab pun dapat merusak ibadah tiap orang yang memiliki sifat itu. Sebab kerakusan akan menjadikan seseorang menjadi sombong dan tak ingat Allah. Ia akan bergantung pada hawa nafsunya dan meredupkan cahaya keimanan. Oleh sebab itu, ibadah yang ia kerjakan akan rusak pula oleh sifat tercela tersebut.

Rasulullah SAW pun sudah memperingatkan umatnya untuk tidak memiliki sifat rakus. Beliau bersabda, “Seandainya manusia telah memiliki dua bukti harta, maka niscaya ia akan mencari yang ketiga. Hanya tanah yang dapat memasukkan perut manusia. Namun Allah SWT tetap akan menerima taubat bagi orang yang bertaubat.”. (HR: Anas RA)

Ada banyak sekali kisah ketamakan seseorang yang sebenarnya bisa menjadi pelajaran hidup bagi yang mengetahuinya. Yang paling masyhur adalah Qarun. Orang kaya raya pada zaman nabi Musa AS yang memiliki sifat rakus lagi sombong. Ia padahal sudah banyak sekali memiliki harta tapi ia tetap mengejar lainnya seperti tak ada cukup-cukupnya.

Di tambah Qarun berlaku sombong sampai-sampai ia tak mau dinasehati dan mengira bahwa apa yang ia dapat hasil jeripayahnya sendiri. Berarti ia menolak kebenaran bahwa semua yang ia punyai hanyalah titipan Allah belaka dan harus digunakan sebagaimana mestinya. Namun pada akhirnya diketahui, ia dilenyapkan Allah di dalam tanah dengan semua hartanya. Naudzubillahi min dzalik.

Di kehidupan sekeliling kita pun mungkin banyak Qarun-qarun kecil yang memiliki sifat seperti dia. Atau jangan-jangan kita juga termasuk golongan Qarun itu? Kendati tak seperti Qarun yang hartanya melimpah, tapi sifat rakus itulah biang yang nanti bisa menyebabkan kehinaan dan kerusakan pada diri tiap orang yang seperti itu. Orang-orang yang semacam inilah yang kata nabi SAW harus cepat-cepat bertaubat. Karena Allah tetap akan memaafkannya.

Ibnu Athoilah pernah menceritakan pengalaman gurunya mengenai sifat rakus. Ia berkata; “ Aku pernah mendengar guru kami Abu Abbas al Mursi mengatakan “Dahulu di masa saya mengawali suluk, ketika saya pergi ke seseorang yang saya kenal, kemudian saya pun membeli darinya barang senilai setengah dirham. Saat itu terbesit di hatiku kata “mungkin ia nanti bisa menggratiskan untukku”. Tetiba ada suara tanpa rupa “Keselamatan agama seseorang itu dengan meninggalkan ketamakan.”

Adapula pelajaran berharga datang dari cerita seorang ahlu bait bernama al-Habib Husain bin Muhammad al Haddad Jombang. Beliaupun diyakini sebagai waliyullah. Sebagaimana mestinya ulama dan ahlu bait, beliau pun dikenal oleh masyarakat Jombang. Namun bijaknya, beliau tak memanfaatkan symbol-simbol agama atau ketenarannya untuk kerakusan.

Jadi ketika beliau belanja ke pasar untuk membeli sesuatu, maka ia  bertanya  kepada penjual yang ia akan beli “Berapa harga ini?”, penjual menjawab “Sepuluh ribu Bib”, “Ini harga untuk saya saja ataukah untuk harga orang lain juga?” penjual menjawab “Untuk sampean saja Bib, kalau untuk orang lain harganya dua belas ribu”, kemudian Habib menjawab “Saya ingin harga sama dengan orang lain”.

Salah satu cara agar terhindar dari sifat rakus adalah Wara’. Wara’ artinya menahan diri, menjaga diri dan hati-hati agar terhindar dari kehinaan. Sifat wara’ dulu pernah jadi salah satu kriteria seorang diperbolehkan menjadi guru atau penceramah pada kekhalifahan Ali RA. Kalau sekarang viral dengan istilah sertifikasi mubaligh. Jadi khalifah Ali RA pernah bertanya kepada Hasan al-Bashri, salah satu kandidat yang ikut ‘sertifikasi mubaligh’ kala itu; “Apakah yang dapat mengukuhkan agama? ” Jawab al Hasan al Bashri: “ Wara’ ” . kemudian bertanya lagi: “Apakah yang bisa merusak agama?”, dijawab “Rakus”. Setelah itu Sayyidina Ali berkata padanya “Engkau boleh tetap mengajar di sini, orang yang seperti engkaulah yang dapat memberi ceramah kepada orang-orang”.

ISLAM KAFFAH