3 Maret 1924, Mengenang Runtuhnya Khalifah Utsmaniyah

Hari ini, 94 tahun silam Khalifah Utsmani atau Kesultanan Turki Ustmani (Ottoman) runtuh. Islam yang pernah berjaya di Eropa dan menguasai dua per tiga dunia dihapuskan dalam tata dunia pada 3 Maret 1924. Sejak itu, umat Islam tidak lagi dinaungi khilafah dan tercerai berai menjadi lebih dari 50 negara. Umat Islam seperti tidak punya tempat mengadu setelah terpecah.

Kekhalifan Islam terakhir itu dihancurkan secara sistematis oleh negara-negara Barat yang memupuk dendam dengan Khilafah yang didirikan Ertuğrul Gazi tersebut. Kita mulai dari sultan Kekhalifahan Utsmani terakhir sebelum berganti menjadi Republik Turki, yakni Sultan Abdul Hamid II.

Kejayaan Islam di Eropa ditandai dengan berkembangnya kedaulatan Khalifah Utsmani yang selama berabad-abad berhasil menancapkan pengaruhnya di Eropa Timur, Balkan, dan Mediterania. Namun, pada akhir abad ke-19 M, pengaruh itu berangsur pudar. Menjelang masa-masa kejatuhan kekhilafahan Islam terakhir ini, muncul pemimpin Kesultanan Turki Utsmani yakni Sultan Abdul Hamid II.

Dengan segala daya yang ada, ia mencoba untuk terus mempertahankan tegaknya ajaran Islam di wilayah kekuasaannya dari berbagai macam bahaya yang mengancam, khususnya kekuatan Barat dan Yahudi. Sultan Abdul Hamid II dilahirkan di Istanbul, Turki, pada Rabu, 21 September 1842. Nama lengkapnya adalah Abdul Hamid bin Abdul Majid bin Mahmud bin Abdul Hamid bin Ahmad.

Dia adalah putra Abdul Majid dari istri kedua. Ibunya meninggal dunia saat Abdul Hamid berusia tujuh tahun. Sultan Hamid II menguasai bahasa Turki, Arab, dan Persia. Ia juga dikenal senang membaca dan bersyair. Abdul Hamid menjadi khalifah Turki Utsmani menggantikan pamannya, Abdul Aziz, yang bergelar Murad VI pada 1876. Pamannya yang berkuasa cukup lama ini diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah, kemudian dibunuh musuh politik Kesultanan Turki Utsmani.

Sang paman mewariskan negara dalam kondisi yang carut-marut. Tunggakan utang luar negeri, parlemen yang mandul, campur tangan asing di dalam negeri, tarik-menarik antarberbagai kepentingan di dalam tubuh pemerintahan, serta birokrat-birokrat yang korup.

Tak lama setelah naik takhta, dia mendirikan Dewan Majelis Rendah. Anggota dewan ini ada yang dipilih dan ada pula yang anggotanya ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Dewan yang anggotanya dipilih dinamakan Dewan Mab’utsan, sedangkan dewan yang anggotanya ditentukan oleh pemerintah namanya A’yan.

Sebagai seorang pemimpin, Sultan Hamid II dikenal dekat dengan ulama dan selalu menaati nasihat-nasihat mereka. Dia menganggap semua rakyat sama di hadapan undang-undang, juga memberikan kebebasan pers. Dia membuat peraturan wajib belajar kepada semua rakyat. Semasa memerintah, ia menghapus peraturan yang memperbolehkan polisi untuk menyiksa tahanan dalam masa investigasi dan menghapuskan peraturan pengambilan paksa tanah milik rakyat dan kerja paksa.

Dia juga menolak untuk memecat seorang hakim tanpa alasan yang benar. Selain itu, dia juga memberantas korupsi dan suap. Dia sangat serius dalam menerapkan hukum yang sesuai dengan syariat Islam.

Dalam hal kemaslahatan umat, Sultan Abdul Hamid II mengajak umat untuk mendirikan sebuah universitas Islam. Ia juga memerintahkan pendirian sekolah-sekolah, rumah-rumah dinas bagi para dosen, akademi politik dan kesenian wanita, museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, sekolah kedokteran, rumah sakit spesialis anak, perumahan bagi orang-orang yang tidak mampu, kantor pos pusat, ruang-ruang pertemuan, beberapa organisasi petani dan buruh serta pabrik-pabrik keramik. Selain itu, dia juga memasang pipa-pipa untuk mengalirkan air minum.

Saat berkuasa, Sultan Abdul Hamid II juga memerintahkan pembangunan jalur rel kereta api (KA) dari Damaskus ke Madinah sepanjang 1.327 kilometer. Pembangunan rel KA ini membutuhkann waktu selama tujuh tahun.

Abdul Hamid II mengemban amanah memimpin sebuah daulah yang luasnya membentang dari timur dan barat. Ia menghabiskan 30 tahun kekuasaannya sebagai khalifah dengan dikelilingi konspirasi, intrik, dan fitnah dari dalam negeri.

Sementara dari luar negeri, ada perang, revolusi, dan ancaman disintegrasi serta tuntutan berbagai perubahan yang senantiasa terjadi. Saat berkuasa, dia terpaksa menandatangani perjanjian Saint Stefanus, karena adanya tekanan dari negara-negara Eropa.

Dalam perjanjian tersebut, pemerintah Turki Utsmani harus memberikan kemerdekaan penuh kepada negara Rumania, Bulgaria, dan Serbia. Dia juga berjanji akan menjaga dan melindungi orang-orang Arman yang beragama Kristen dari serangan orang-orang Kurdi dan Syarkasi.

Sultan Hamid II juga berjanji mempersempit batas-batas wilayah kekuasaan Turki Utsmani agar tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang Kristen untuk melakukan penyerangan terhadap Islam. Sementara itu, orang-orang Bulgaria berusaha memengaruhi orang-orang Islam yang ada di Bulgaria, Serbia, dan pegunungan Hitam untuk mengadakan pemberontakann terhadap kekhalifahan Turki Utsmani.

Untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Kesultanan Turki Utsmani, Sultan Abdul Hamid II melakukan berbagai upaya untuk menyatukan umat Islam dan membantu mereka agar dapat melawan para penjajah yang menjadi penguasa di negeri mereka sendiri. Kemudian, dia mengubah beberapa keputusan dalam perjanjian Berlin yang sangat merugikan dan sangat ia khawatirkan, yang berisi tentang penggabungan Bosnia Herzegovina ke dalam wilayah Austria. Dia juga berhasil mengalahkan pasukan Rusia dan mengatasi pemberontakan.

Namun, dengan bantuan para Syekhul Islam saat itu, para musuh Sang Sultan berusaha membujuk syekh untuk menurunkan Sultan Abdul Hamid II dari jabatannya pada 1909. Inilah salah satu bentuk pengkudetaan terhadap jabatan sultan. Sultan Abdul Hamid II terpaksa menerima keputusan tersebut. Kemudian, ia beserta seluruh anggota keluarganya diasingkan ke Salonika, Yunani.

Pada 1912, Sultan Abdul Hamid II dipulangkan ke Istanbul dan diasingkan dalam penjara istana tua Beylerbeyi. Akan tetapi, anak-anaknya dipisah-pisahkan, bercerai berai. Beberapa di antara mereka dibuang ke Prancis, dan menjadi pengemis yang hidup terlunta-lunta di emperan jalan.

Kondisi di pembuangan Salonika atau di istana tua Beylerbeyi Istanbul sama saja bahkan lebih parah. Sultan Abdul Hamid II menghembuskan napas terakhir dalam penjara Beylerbeyi pada 10 Februari 1918.

 

REPUBLIKA

 

Baca juga: Kesultanan Islam Terakhir Runtuh, Ini Penyebabnya