Larangan Tayamum di Kereta Api

PERTAMA, hukum asal dalam bersuci adalah menggunakan air. Untuk membersihkan hadats kecil dengan cara wudhu. Sementara untuk hadats besar dengan mandi junub. Sementara tayamum dengan tanah, statusnya sebagai badal (pengganti). Dan tidak boleh menggunakan badal, selama yang asal (air), masih memungkinkan untuk digunakan. Terdapat kaidah menyatakan, “Apabila yang asal tidak memungkinkan dilakukan maka digunakan penggantinya.” (Talqih al-Afham, 1/15).

Kedua, hukum tergantung illah-nya. Salah satu diantara kaidah dalam masalah fiqh, “Keberadaan dan ketiadaan hukum itu tergantung dari illah-nya.” (Majmuah al-Fawaid al-Bahiyah, hlm. 112). Yang dimaksud illah adalah kondisi yang menjadi latar belakang adanya hukum. Misalnya, illah diharamkannya khamr adalah memabukkan. Sehingga semua bahan konsumsi yang memabukkan, hukumnya haram, baik itu zat gas, cair, maupun padat.

Dalam al-Quran, Allah menjelaskan alasan yang menyebabkan seseorang boleh tayamum. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. al-Maidah: 6)

Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan 3 cara bersuci:
[1] Wudhu. Inilah cara bersuci dari hadats kecil.
[2] Mandi junub. Ini cara bersuci dari hadats besar, bagi mereka yang junub.
Kedua cara bersuci di atas menggunakan air.
[3] Tayammum dengan tanah. Merupakan pengganti wudhu dan mandi. Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan syarat bolehnya tayammum; Bagi mereka yang sakit, sehingga tidak memungkinkan menggunakan air
dan bagi mereka yang tidak mendapatkan air setelah berusaha mencari.

Inilah latar belakang orang boleh melakukan tayammum. Yang itu semua sama sekali tidak ada hubungannya dengan safar. Sehingga orang boleh saja tayammum ketika tidak sedang safar, karena alasan sakit atau tidak memiliki air. Ketiga, bagi musafir yang bisa mendapatkan air atau memungkinkan menggunakan air, dia tidak boleh tayammum. Karena tayammum adalah pengganti, sementara wudhu adalah asal. Dan tidak boleh melakukan pengganti, selama yang asal masih memungkinkan dilakukan.

Mereka yang berada di kereta, masih sangat memungkinkan untuk wudhu. Toilet di kereta airnya cukup memadai. Volume air yang dibutuhkan untuk wudhu, tidak lebih banyak dibandingkan volume itu yang dibutuhkan untuk menyiram kotoran setelah buang air. Demikian. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

MOZAIK