Menolak Legalisasi Miras Demi Kemaslahatan Bangsa

BELAKANGAN ini ada meme beredar di media sosial yang unik untuk dikupas sebab masih terkait dengan isu yang sedang viral di republik ini, yakni legalisasi Miras oleh Pemerintah. Di dalam meme tersebut ada setidaknya lima komparasi masing-masing sila Pancasila dan korelasinya terhadap miras.

Kenapa Pancasila yang dipakai, menurut hemat penulis mungkin karena si pemegang kebijakan yang melegalkan miras selama ini selalu mendaku dan didaulat oleh para pendukung fanatiknya sebagai kelompok paling Pancasilais.

Dalam meme itu sila pertama ketuhanan yang maha esa coba dihubungkan dengan miras. Apakah mungkin miras sesuai dengan tauhid sebagai pengejawantahan dari ketuhanan yang maha esa, secara gamblang tentu sangat bertolak belakang.

Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Apakah miras sesuai dengan prinsip adil dan beradab serta bermanfaat bagi kemanusiaan, jelas sangat bertentangan.

Allah SWT berfirman,  “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan Syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90).

Sila ketiga, persatuan Indonesia. Bisakah miras membuat elemen bangsa yang didominasi orang beragama Islam ini bersatu, tentu tidak mungkin.

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Baqarah; 42).

Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Bisakah miras dihubungkan dengan sila keempat ini, jawabannya mudah saja, bisakah orang mabuk diajak berbicara secara normal. Apalagi diajak bermusyawarah atau dipilih sebagai wakil kita dalam suatu keperluan. Akal waras tentu sudah bisa menjawabnya.

Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mungkinkah dengan melegalkan miras akan tercipta keadilan sosial di tengah masyarakat atau malah akan terjadi kekacauan sosial. Entah itu kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, tawuran, atau pemerkosaan.

Seperti yang baru-baru ini terjadi di sebuah kafe di Cengkareng Jakarta Barat, dimana ada polisi “koboi” yang mabuk dan menembak mati tiga orang yang salah satunya adalah anggota TNI. Apa pemicu kejadian itu, tidak ada lain selain miras.

Kantor berita Antara menulis, miras adalah penyebab terbesar kecelakaan lalu lintas di Papua.   Miras juga faktor dominan biang kerok kecelakaan di NTT.

Ingat pula kasus fenomenal kecelakaan di Tugu Tani Jakarta pada 22 Januari 2012 silam. Pengemudi bernama Afriyani Susanti yang menabrak 12 pejalan kaki diketahui sedang berada dibawah pengaruh narkoba dan miras.

Lalu ada pula kasus Wakil Bupati Yalimo Erdi Dabi yang terlibat kecelakaan hingga menewaskan seorang polisi wanita (polwan) di Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua, Rabu (16/9/2020), itu juga diduga kuat dikarenakan miras.

Melihat betapa bahayanya dampak dari miras, wajar saja pada 2017 silam, Gubernur Papua Lukas Enembe mengeluarkan pernyataan yang menyebut sebanyak 22 persen kematian di Tanah Papua disebabkan konsumsi minuman keras (miras). Hal itu membuat miras jadi salah satu penyebab terkikisnya populasi penduduk asli Papua selain penyakit-penyakit di daerah tersebut.

Laporan Polda Papua ternyata membenarkan asumsi tersebut. Data yang dilansir pada 2019 menyimpulkan bahwa 1.485 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 277 warga meninggal sebagian besar terjadi didahului konsumsi miras. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) Papua juga melansir bahwa minuman keras menjadi pemicu utama kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di berbagai daerah di Papua.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilansir Kementerian Kesehatan menunjukkan rerata konsumsi alkohol di Papua memang paling tinggi se-Indonesia. Angkanya 9,9 poin per bulan dibandingkan rerata nasional yakni 5,4 poin per bulan.

Fakta itulah yang membuat Pemprov Papua mengeluarkan peraturan daerah otonomi khusus pada 2013 untuk menanggulangi miras. Meski regulasi tersebut digugat di pengadilan, Pemprov Papua terus melakukan penertiban merujuk perda tersebut.

Gubernur Papua juga sempat mengancam akan membakar toko-toko yang masih berjualan miras. “Makanya saya harap mulai hari ini para penjual ini dikasih tahu. Sebab kita ingin selamatkan orang Papua yang sudah banyak mati karena barang haram ini,” ujar dia beberapa waktu lalu.(https://www.republika.co.id/amp/qp6fm7393).

Tak heran, saat pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang menetapkan Papua sebagai salah satu wilayah tempat miras alias minuman beralkohol boleh diproduksi secara terbuka banyak pihak yang terkejut.

Di saat berbagai elemen masyarakat Papua lintas agama, tokoh adat dan pejabat setempat sibuk memerangi miras demi menjaga keberlangsungan generasi Papua, pemerintah pusat malah melakukan hal yang sebaliknya. Apakah hanya demi ambisi investasi ekonomi harus dengan mengorbankan nyawa anak bangsa sendiri dan melanggar norma agama, adat, etika dan moral? Tentu bagi siapapun yang mendaku sebagai Pancasilais sejati tidak akan mungkin melakukannya.

Khamr  dalam Pandangan Islam

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ وَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ مِنْهُ صَلاَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِىَ فِى بَطْنِهِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ». وَاللَّفْظُ لأَبِى عُمَرَ الْقَاضِى.

“Rasulullah ﷺ bersabda, “Khamr  itu adalah induk keburukan (Ummul Khobaits) dan barangsiapa meminumnya maka Allah tidak menerima shalatnya 40 hari. Maka apabila ia mati sedang Khamr  itu ada di dalam perutnya maka ia mati dalam keadaan bangkai jahiliyah.” (HR Ath-Thabrani, Ad-Daraquthni dan lainnya)

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Khamr  adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum Khamr , ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya dan saudari ayahnya (HR ath-Thabrani).

Bahaya miras juga telah diingatkan oleh salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ, Sayyidina Utsman bin Affan Radiyallahu Anhu. Diriwayatkan, suatu ketika Utsman sedang menyampaikan khotbah sembari berpesan, “Waspadalah terhadap miras karena sesungguhnya miras merupakan induk segala perbuatan keji. Sungguh, pernah terjadi pada seorang pria saleh sebelum kalian dari kalangan ahli ibadah. Ia rajin beribadah ke masjid. Suatu ketika ia bertemu dengan seorang perempuan nakal.”

“Perempuan tersebut memerintahkan kepada pembantunya agar mempersilakan lelaki tersebut masuk ke dalam rumah. Kemudian pintunya dikunci rapat-rapat. Di sisi perempuan tersebut terdapat miras dan seorang bayi. kemudian perempuan tadi berkata, ‘Kamu tidak bisa keluar dari rumah ini sebelum engkau memilih minum segelas arak ini atau engkau berzina dengan aku, atau engkau membunuh bayi ini. Jika kamu tidak mau, maka saya akan berteriak dan saya katakan bahwa kamu ini memasuki rumahku. Siapa yang akan percaya kepadamu?’

Lelaki tersebut menjawab, “Saya tidak mau melakukan perbuatan keji (berzina) atau pun membunuh jiwa seseorang.” Akhirnya ia minum segelas miras. Demi Allah, ia menjadi mabuk sehingga ia pun berbuat zina dengan perempuan tersebut dan membunuh si bayi.

Utsman RA pun berpesan, “Jauhilah minum minuman keras, karena minuman keras merupakan induk segala perbuatan keji. Demi Allah, sungguh, iman dan minuman keras tidak akan bersatu di dalam hati seseorang melainkan hampir pasti salah satu di antaranya melenyapkan yang lain.”

Sebagai negeri Muslim terbesar di dunia tentu menjadi paradoks besar manakala induknya segala kejahatan dilegalkan. Apalagi jika pengesahan itu dilakukan oleh pemimpin yang didaulat sebagai orang yang agamis, dekat Ulama, Pancasilais, bahkan pernah dianggap mirip dengan karakter Umar Bin Khattab yang tegas terhadap kemungkaran oleh para pendukung fanatiknya.

Dan anomali negeri Pancasila ini akan kian menjadi-jadi manakala jajaran pendamping dan anggota partai pendukung termasuk badan pembina ideologi negara yang selama ini banyak diisi oleh tokoh Kyai, Gus dan para agamawan ternyata memilih diam. Semoga para pemimpin negara diberi hidayah dan dibukakan nuraninya bahwa tidak ada kebaikan sama sekali dari barang haram itu.

Allah SWT berfirman,

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”(QS: Al-Baqarah : 219).

Manfaat melegalkan miras demi ekonomi negara yang sebenarnya bisa didapat dari sumber lain yang halal tidak akan mampu mengalahkan kerusakan besar yang ditimbulkannya. Dan yang paling berbahaya tentunya adalah murka dari Allah SWT.

Apalagi ketika bencana masih belum selesai menghantam negeri ini mulai dari banjir, gempa bumi, longsor, tsunami, gunung meletus dan Pandemi Covid-19. Bahkan perkara miras ini pernah menjadi wasilah diselamatkannya suatu negeri dari wabah Tha’un (seperti wabah Covid ini).

Kala wabah Tha’un n menjangkiti Samarkand, banyak umat Islam di negeri itu yang wafat. Tiap harinya dimakamkan sekitar 5 atau 6 ribu jenazah Muslim. Semua orang sibuk siang dan malam memakamkan jenazah saudaranya. Lebih dari dua ribu rumah kosong karena penghuninya meninggal.

Sibth Ibnu Al Jauzi berkata, ”Dan seluruh manusia bertaubat. Orang-orang pun menyedekahkan banyak hartanya, banyak tinggal di masjid membaca Al Qur`an. Para wanita pun melakukan hal yang sama di rumah. Mereka juga membuang Khamr  dan merusak alat-alat musik. Setiap rumah yang terdapat khamar di dalamnya, semuanya meninggal dalam satu malam. Ada seorang yang sekarat selama tujuh hari, kemudian ia mengisyaratkan agar membuang khamar yang ada di rumahnya, akhirnya ia pun sembuh dari sakitnya.” (Mir’ah Az Zaman, 19/ 12-14).

Mumpung masih ada waktu sebaiknya legalisasi itu dibatalkan saja agar murka Allah tidak jadi datang ke negeri ini. Dan lebih-lebih bisa jadi wasilah negeri ini lekas dientaskan dari pandemi wabah ini. Wallahu A’lam Bis Showab.*

Oleh: Muhammad Syafii Kudo, Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan

HIDAYATULLAH

Miras dan Hilangnya Akal

Mengapa Kedewasaan tidak diukur pada bagusnya selera? Karena ia sangat subjektif dan lebih emosional.

Kedewasaan terkait dengan kemampuan dan ketrampilan menggunakan akal, untuk membedakan yang benar dan buruk. Jika Undang-undang Dasar Negara mengamanatkan pada pemerintah, bahwa mencerdaskan warga negara adalah tugas konstitusional, maka sungguh aneh jika apa yang dijalankan justru sebaliknya.

Apa yang hilang dan lepas pada orang yang minum khamr (miras) dan mabuk? Tentu yang hilang adalah akal!

Bahkan akal tersebut bukan tanpa sengaja atau tidak dimaksudkan agar hilang, justru mereka yang minum khamr sengaja menutupi dan menghilangkannya.

Maka mengapa ada orang yang sengaja membuat ia kehilangan akal, atau ada orang-orang yang terencana  mengizinkan agar khamr dibuat, dijual, dan dikonsumsi orang banyak?

Jelas dan tak mungkin bisa dipungkiri, ini terkait dengan rencana besar dan strategis bagi pemusnahan potensi akal suatu bangsa, terutama generasi mudanya.

Mengapa generasi muda?Karena generasi muda adalah tak cuma sekedar potensi sumber daya manusia, tapi asset suatu bangsa.

Orang yang mabuk dan kehilangan akalnya, ia memasuki sebuah pintu yang terbuka lebar tanpa ada lagi aturan dan hukum, maka tak ada lagi yang harus ditakuti dan ditaati.

Hukum baginya adalah memenuhi hawa nafsu dan syahwatnya.

Apapun yang dapat memuaskan keduanya, adalah dambaannya, dan yang menghalangi pemuasan keduanya adalah musuh besar yang harus dilenyapkan.

Tak ada lagi milik orang lain, bukan masalah jika itu tak ada pada dirinya, karena apa yang ada di benak dan dadanya mengatakan dan menegaskan, bahwa jika engkau mau pasti akan bisa. Jika kau bisa, maka engkau akan terpuaskan dan menemukan kenikmatan yang tiada tara.

Raih dan rampaslah apa pun yang di luar sana, dari siapa pun yang memiliki dan menguasainya.

Istri, anak, saudara, sahabat, bahkan orang tuamu tak pernah akan memahami, cuma engkau dan aku yang kini mengalir deras dalam darahmu yang patut kau dengar dan patuhi.

Hartakah, atau bahkan kehormatan, jika engkau suka dan akan memuaskanmu, karena mereka tak tahu bahwa engkau bisa dan itu akan memuaskanmu.

Begitulah dunia tanpa akal, ya itu ketika akal dibenamkan dalam gejolak syahwat yang dimanjakan dalam lautan miras.

Inikah cita-cita dan masa depan bangsa yang diidamkan?

Seriuskah ini dicanangkan sebagai ‘kearifan  lokal’? Masyarakat yang tak lagi mampu membedakan mana benar dan salah, karena bagaimana mungkin itu bisa mereka lakukan, sedangkan pada dirinya pun mereka tak lagi mengenali.

Sungguh… ini alasan dan logika yang penuh aura pembodohan. Inilah koalisi antara semangat menghancurkan masa depan bangsa dan nafsu serakah para pengusaha yang dibenaknya tak ada yang lain selain meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Jika legalisasi miras ini diteruskan dan dikembangkan, satu atau dua dekade kedepan, bangsa ini tak punya lagi masa depan.

Kita bersama akan saksikan tubuh-tubuh lunglai, nanar tatap mata kosong, bergerak tanpa ruh. Kriminalitas akan merajalela baik kualitas maupun kuantitasnya, tak mengenal batas usia dan strata sosial.

Naudzubillah mindzalik!

Oleh: Hamid Abud Attamimi

Penulis adalah Aktivis Pendidikan, tokoh Al-Irsyad Al-Islamiyyah, tinggal di Cirebon

HIDAYATULLAH