Lima Kriteria Ulama Pewaris Nabi Menurut Kiai Ali Musthafa Yaqub (2)

3. Zuhud dan Orientasi Ukhrawi

Zuhud bukan berarti hidup melarat seperti yang disalah pahami oleh sementara orang. Zuhud adalah sikap untuk tidak mencintai dunia setelah dunia itu dikuasainya. Nabi Muhammad saw. adalah orang yang zuhud, karena meskipun beliau dapat hidup bermewah-mewah karena pernah ditawari Allah untuk hidup seperti itu, namun beliau tidak hidup bermewah-mewahan, bahkan berpenampilan kaya pun tidak.

Nabi Sulaiman juga hidup zuhud, padahal beliau seorang yang kaya raya. Buktinya ketika ratu Bilqis menghadiahi satu peti perhiasan agar beliau tidak menundukkan dan mengislamkannya beliau menolak hadiah itu. itulah contoh sikap zuhud yang seharusnya menjadi sikap hidup para ulama ahli waris Nabi. Dan manakala harta dunia sudah berada di tangannya, ia jadikan sebesar-besarnya untuk kepentingan akhirat, bukan dunia untuk dunia, apalagi akhirat untuk dunia.

Inilah maksud firman Allah dalam surah Al- Qasas 77 “Carilah dari apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” Ulama ahli waris Nabi tentulah mewarisi sikap hidup seperti itu, karena hal itu merupakan sikap hidup para Nabi.

4. Akrab dengan Rakyat Kecil

Kriteria selanjutnya adalah ulama itu sangat akrab dengan kelompok bawah, rakyat kecil , wong cilik kaum mustadh’afin dan sejenisnya. Mereka bukan berorinetasi ke langit, ingin berdampingan selalu dengan para bintang dan tidak mau mengakrabi kalangan grassrte

Ketika Abu Sufyan (sebelum menjadi muslim) ditanya oleh Kaisar Heraclius tentang pengikut Nabi Muhammad Saw. dan dijawab dengan pengikut bahwa pengikut beliau adalah rakat jelata, Kaisar Heraclius membenarkan bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah, karena pengikut para Nabi dahulu juga rakyat jelata.

Nabi Muhammad sendiri pernah dua kali ditegur Allah karena hendak meninggalkan rakyat jelata dan hanya akan memperhatikan kelompok yang elit saja. bahkan beliau diperintahkan Allah untuk selalu sabar dan betah bersama kelompok orang-orang kecil yang selalu berdoa memohon keridhaan Allah pagi dan sore.

Allah SWT. memerintahkan demikian kepada Rasulullah, bukan karena mereka itu semata-mata rakyat kecil, tapi karena mereka selalu mendekatkan diri kepada Allah, dan umumnya kelompok seperti inilah yang selalu meramaikan rumah-rumah Allah. Perhatikan saja, siang malam masjid masjid selalu dipenuhi oleh sekelompok seperti ini, sementara kelompok elite mau datang ke masjid kalau ada acara-acara tertentu saja.

Kelompok elite yang di dalam Alquran disebut Almala lebih banyak menunjukkan keangkuhannya sehingga mereka sulit mengikuti ajakan para Nabi. Karenanya sangat wajar apabila Allah menyuruh Nabi Muhammad Saw. selalu berpihak pada kelompok bawah. Dan begitulah seharusnya sikap para ulama’ yang menjadi ahli waris para Nabi. Bukan justru sebaliknya, merasa bangga dengan gaya hidup mewah di tengah penderitaan kaumnya, atau justru sulit ditemui oleh rakyak kecil merasa dirinya diatas kaum muslimin secara umum.

5. Empat Puluh Tahun

Kriteria selanjutnya adalah ulama tersebut menjadi ulama sesudah ia berumur empat puluh tahun. Menurut para ahli, umur empat puluh tahun ini adalah usia yang matang bagi seseorang dimana tidak lagi memiliki gejolak jiwa dan kestabilan kepribadian. Pada usia empat puluh tahun ini seseorang telah sudah mendapatkan istiqamah (ketenangan jiwa) dan kemapanan kepribadian, sehingga ia layak menjadi panutan kaumnya. Sebelum itu, secara umum ia belum siap dan belum layak menjadi tokoh panutan umat.

Itulah barang kali hikmahnya mengapa secara umum kecuali Nabi Isa, para Nabi itu diutus oleh Allah sesudah mereka berumur empat puluh tahun. Orang yang belum mencapai umur empat puluh tahun, apabila dijadikan pemimpin dan panutan umat bisa jadi justru sebaliknya yang terjadi, ia merasa “besar” sebelum masanya.

Akhirnya justru yang timbul rasa arogan yang tinggi, merasa benar sendiri, tidak menerima saran dan kritik dan lain sebagainya. selanjutnya ia sendiri justru hancur dalam sifat-sifat yang tidak terpuji itu, karena secara moral ia belum sanggup menjadi seorang panutan umat.

Demikianlah lima kriteria yang minimal harus ada untuk ulama ahli waris Nabi atau yang juga lazim disebut ulama waratsatul Anbiya’ menurut KH. Ali Mustafa Ya’qub. Dan untuk mengetahui kriteria-kriteria tadi tidaklah cukup dalam satu penampilan saja, tetapi juga diperlukan pengamatan khususnya prilaku kesehariannya sehingga dapat diketahui ia layak disebut ulama sebagai pewaris ilmunya para Nabi atau tidak.

Adapun simbol-simbol seperti jubah dan sorban atau rentetan gelar tidak bisa menjadi ukuran sekaligus jaminan keulamaan. Terakhir, KH. Ali Mustafa berpesan sebagaimana pesan seorang ayah kepada anaknya “Kamu jangan terpesona dengan penampilan pertama, karena yang pertama kali muncul pada pagi hari adalah fajar kadzib alias fajar bohong.”

(Disarikan dari artikel Kriteria Ulama Ahli Waris Nabi dalam buku KH. Ali Mustafa Ya’qub Islam Masa Kini, hal. 117). Wa Allahu A’lam bis Shawab.

BINCANG SYARIAH

Lima Kriteria Ulama Pewaris Nabi Menurut Kiai Ali Musthafa Yaqub (1)

Beberapa waktu yang lalu, Indonesia digemparkan dengan rilisnya 200 nama penceramah yang secara resmi telah direkomendasikan oleh kementrian Agama (kemenag). Awalnya kemenag hanya ingin merespon pertanyaan dari sebagian besar masyarakat yang menginginkan nama-nama penceramah atau ulama yang bisa mengisi kegiatan keagamaan.

Namun, setelah dirilis pro kontra bergeliat dimana-mana, bahkan kemenag diminta untuk menarik kembali edaran 200 nama penceramah tersebut dengan alasan banyaknya penceramah-penceramah yang mumpuni tidak masuk dalam daftar nama tersebut.

Padahal kemenag telah menjelaskan bahwa 200 nama tersebut tidak membatasi dan masih dalam tahap awal, serta kemenag juga telah memilih 200 nama tersebut sesuai dengan tiga kriteria yakni memiliki kompetensi keilmuan yang tinggi, reputasi yang baik dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi.

Terlepas dari kisruh 200 nama penceramah tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua umat Islam itu mampu memahami teks-teks agama Alquran dan hadis, sehingga mereka butuh panutan dan wejangan-wejangan dari orang yang paham agama atau biasa disebut dengan ulama.

Namun, di zaman sekarang banyak sekali orang yang menipu atas nama agama, ia hanya bermodalkan pakaian jubah, sorban dan berjenggot panjang lantas membicarakan agama sekenanya saja bahkan ia lebih pantas menjadi tontonan saja daripada tuntunan. Oleh karena itu, agar tidak tertipu dengan penampilan atau gelar saja, maka perlu sekali kita mencermati lima kriteria ulama menurut almarhum KH. Ali Mustafa Ya’qub berikut ini:

  1. Ilmu Agama

Kriteria pertama, seorang dapat disebut ulama ahli waris Nabi adalah ia memiliki ilmu agama (Islam). dimaksudkan dengan memiliki ilmu agama ini adalah ia bukan sekedar mengetahui ilmu-ilmu agama Islam untuk diamalkan kepada dirinya sendiri melainkan juga mampu memberikannya kepada orang lain, minimal dapat menjawab pertanyaan – pertanyaan keagamaan yang disampaikan orang lain.

Ulama sebagai ahli waris Nabi adalah seorang yang dapat disebut sebagai ahli agama, bukan ahli dalam bidang kedirgantaraan, kelautan, kehutanan, pertanian, urusan tanah, cacing dan sebagainya. masalahnya, Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda bahwa ulama’ itu ahli waris para Nabi. Sementara para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham tetapi mewariskan ilmu. Begitu kata Nabi Saw. seperti diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dalam kitab Sunannya. Dan ternyata para Nabi itu khusus Nabi Muhammad Saw. tidak pernah mewariskan ilmu kehutanan dan sebangsanya melainkan ilmu syariah atau ilmu agama Islam. Nabi Muhammad saw. sendiri pernah ditanya masalah pertanian, ternyata beliau menjawab “Kamu lebih tahu mengetahui tentang dunia (pertanian) kamu dari pada saya.”

Jadi Ulama ahli waris Nabi hanyalah orang orang yang ahli agama Islam yang batasan mudahya adalah mampu memahami Al Quran dan Hadis-hadis Nabi Saw. atau dengan kata lain mampu membaca kitab kuning begitu saja. sebab orang yang tidak mampu membaca kitab kuning, keahlian agamanya belum meyakinkan.

2. Khasy’yah kepada Allah

Dalam surah Fathir ayat 28, Allah berfirman “Yang khasyah kepada Allah dari hamba hambaNya hanyalah para ulama saja.” Khasy’yah artinya takut yang dibarengi dengan penghormatan dan ketundukan. Orang yang khasy’yah kepada Allah justru semakin mendekat Allah, bukan lari meninggalkan Allah.

Karenanya Ulama ahli waris Nabi ditandai dengan perilakunya yang selalu takut dan taat kepada Allah. Ia bukanlah seorang yang berprilaku maksiat dan atau takut kepada selain Allah. Ia juga bukan sosok yang akrab dan suka runtang runtung dengan para pelaku maksiat, sebab perbuatan seperti ini juga sudah tergolong maksiat, Nabi Saw. sendiri pernah memboikot para pelaku maksiat. Beliau tidak mau berbicara bahkan menjawab salam pun tidak, sampai mereka bertaubat kepada Allah.

BINCANG SYARIAH