Kapankah Dimulai Perhitungan Masa Iddah?

Salah satu kewajiban seorang perempuan yang bercerai adalah harus menjalani masa iddah atau masa tunggu sampai pada batas waktu tertentu yang telah ditetapkan. Sehingga ketika ia sudah melewatinya ia boleh menikah lagi dengan orang lain.

Namun, terkadang timbul pertanyaan dari sebagian orang mengenai awal waktu dimulainya masa iddah apakah semenjak Jatuhnya talak oleh suami atau semenjak jatuhnya putusan di pengadilan. Lantas, kapankah dimulai perhitungan masa iddah? 

Dalam literatur kitab fikih fitemukan beberapa keterangan yang menjelaskan bahwa sesorang yang berhak menjatuhkan talak adalah suami. Hal ini terjadi apabila suami telah memenuhi syarat untuk menjatuhkan talak yakni ketika dia berusia baligh dan berakal.

Sementara isteri tidak memiliki hak talak kecuali dengan surat kuasa dari suami atau izin darinya. Hakim juga tidak memilikinya kecuali dalam kasus-kasus khusus karena adannya darurat.

Sebagaimana dalam keterangan kitab Al-Fikhul Islam Wa Adillatuhu [Juz 5, halaman 863] berikut;

مالك الطلاق يتبين مما سبق أن الذي يملك الطلاق إنما هو الزوج متى كان بالغا عاقلا ولاتملكه الزوجة إلا بتوكيل من الزوج أوتفويض منه ولايملكه القاضي إلا فى أحوال خاصة للضرورة

Artinya : Pemilik talak Jelaslah dari uraian di atas bahwa yang memiliki talak adalah suami, ketika ia sudah baligh dan berakal.

Sementara isteri tidak memiliki hak talak kecuali dengan surat kuasa dari suami atau izin darinya. Hakim juga tidak memilikinya kecuali dalam kasus-kasus khusus karena adannya darurat.

Keterangan diatas menyatakan bahwa dalam keadaan normal menjatuhkan talak adalah hak mutlak yang dimiliki oleh suami. Jatuhnya talak ini juga menyebabkan dimulainya hitungan masa iddah bagi perempuan yang dicerai.

Sementara bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, hitungan iddahnya dimulai semenjak hari kematian. Sebagaimana dalam keterangan kitab Al-Fikhul Islam Wa Adillatuhu [Juz 7, halaman 856] berikut,

إن كان الزواج صحيحا : فمبداء العدة بعد الطلاق أو الفسخ أوالموت فابتداء العدة فى الطلاق ونحوه غقيب الطلاق ، وفى الوفاة عقيب الوفاة بالإتفاق بين الفقهاء وتنقضي العدة وإن جهلت المرأة بالطلاق أو الوفاة 

Artinya : Jika perkawinan itu sah, maka masa iddah dimulai setelah jatuhnya talak, fasakh, atau matinya suami. Bagi perempuan yang ditalak, awal masa iddah dihitung semenjak jatuhnya talak oleh suami.

Sementara bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, hitungan iddahnya dimulai semenjak hari kematian. Hal ini berdasarkan kesepakatan diantara para ulama.

Iddah tersebut terus berjalan sampai selesai meskipun pihak istri tidak mengetahui adanya talak ataupun prihal kematian suami. 

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa masa iddah dimulai setelah jatuhnya talak, fasakh, atau matinya suami. Bagi perempuan yang ditalak, awal masa iddah dihitung semenjak jatuhnya talak oleh suami.

Sementara bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, hitungan iddahnya dimulai semenjak hari kematian. Demikian penjelasan ini. Wallahu a’lam. (

BINCANG SYARIAH

Hukum Penggunaan Tespek Sebagai Pengganti Masa Iddah

Iddah merupakan masa tunggu yang harus dijalani oleh seorang perempuan mengiringi jatuhnya talak atau cerai mati. Adapun salah satu fungsi dari adanya Iddah ialah untuk memastikan kosongnya rahim dari janin. Kekosongan tersebut dapat diketahui dengan kelahiran, hitungan bulan, maupun hitungan masa suci (quru’). Bolehkah menggukanan tespek sebagai pengganti masa iddah?

Keterangan mengenai iddaah ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Syekh Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayah al-Akhyar.

العِدَّةُ اسْمٌ لـِمُدَّةٍ مَعْدُوْدَةٍ تَتَرَبَّصُ فِيْهَا الـمَرْأَةُ لِتَعْرِفَ بَرَاءَةَ رَحْمِهَا وَذَلِكَ يَحْصُلُ بِالْوِلَادَةِ تَارَةً وَبِالأَشْهُرِ أَو الأَقْرَاءِ.

“Iddah adalah nama masa tunggu tertentu bagi seorang wanita guna mengetahui kekosongan rahimnya. Kekosongan tersebut bisa diketahui dengan kelahiran, (hitungan) bulan, atau masa suci (quru’).”

Jika fungsi dari Iddah hanya demikian, bagaimana seandainya setelah ditalak atau cerai mati, perempuan yang seharusnya menjalani Iddah itu melakukan serangkaian uji medis, kemudian didapatkan simpulan dan terbukti bahwa dirinya tidak sedang hamil.

Digambarkan saja dengan hasil negatif setelah dilakukan pengujian mandiri dengan alat yang biasa dikenal dengan tespek. Pertanyaannya, apakah pengujian medis yang menunjukkan bahwa dirinya tidak sedang mengandung janin, atau hasil negatif tespek itu dapat menggugurkan kewajiban Iddah bagi perempuan?

Jawabannya, tidak. Hasil negatif tespek–bahkan berbagai uji medis apa pun–yang menunjukkan bahwa seorang perempuan terbebas dari kehamilan, tidak bisa menggugurkan kewajiban Iddah bagi perempuan yang telah tertalak atau ditinggal mati suaminya. Atau dengan kata lain, perempuan sebagaimana yang dimaksud di atas, tetap dikenai wajib Iddah.

Karena dalam syariat Islam hanya ada satu golongan yang tidak wajib melakukan Iddah, yakni perempuan yang sudah menikah tetapi belum melakukan jimak. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab (33) ayat 49:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka Iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‘ah (pemberian) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (Q.S. al-Ahzab [33]: 49).

Sehingga bagi perempuan yang telah digauli oleh suaminya, meski belum balig, maka ketika tertalak tetap wajib baginya untuk menjalani Iddah.

Adapun alasan tetap wajibnya Iddah ialah karena Iddah termasuk ke dalam kategori amal yang sifatnya dogmatik, atau dalam ilmu fikih biasa diredaksikan dengan istilah ta’abbudi (penghambaan). Sehingga tak perlu dicari-cari alasan logis dari tujuan diperintahkannya. Meski kemudian ulama merumuskan berbagai hikmah yang terkandung dalam kewajiban menjalani Iddah.

Memang benar bahwa salah satu hikmah disyariatkannya Iddah ialah untuk mengetahui kosongnya rahim, akan tetapi hal tersebut hanya salah satu, bukan satu-satunya. Karena masih banyak hikmah lainnya, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ali bin Ahmad al-Jurjawi dalam kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu.

Menurut beliau, hikmah dari Iddah itu sendiri, antara lain: Pertama, untuk mengetahui kosong atau tidaknya rahim jari janin, untuk menghindari percampuran nasab. Kedua, menjaga kesakralan dan kemuliaan akad dalam pernikahan. Ketiga, memperpanjang masa rujuk bagi orang yang menjatuhkan talak raj’i, supaya ia menyesal telah melakukan talak dan menyadari pentingnya seorang istri baginya. Keempat, menjaga kehormatan hak seorang suami yang lebih dulu wafat meninggalkan istrinya, sehingga tampaklah kasih sayang di antara keduanya. Kelima, menjaga hak lelaki lain yang hendak menikahinya supaya dalam mendapatkan kasih sayang yang penuh.

Itulah sekelumit uraian menyangkut Iddah yang telah disampaikan oleh ulama. Dan tentu masih banyak lagi yang belum kita ketahui. Wallahu a’lam bish shawab.

BINCANG SYARIAH