Membahas Agama Tidak Boleh dengan Perkataan Cabul

Perkataan vulgar, jorok, dan cabul tidak diperbolehkan sama sekali dalam membahas apa pun. Dan dalam masalah agama, lebih terlarang lagi. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليسَ المؤمنُ بالطَّعَّانِ ولا اللَّعَّانِ ولا الفاحشِ ولا البَذيءِ

“Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela atau suka melaknat atau suka berkata kotor atau suka berkata-kata cabul” (HR. Tirmidzi no. 1977, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Al bazi’ dalam hadits di atas maknanya orang yang suka mengungkapkan masalah-masalah vulgar dengan kata-kata yang lugas. Al Kafawi rahimahullah mengatakan,

البذاء هو التعبير عن الأمور المستقبحة، بالعبارات الصريحة

Al baza’ adalah mengungkapkan perkara-perkara yang dianggap tabu (untuk diungkapkan), dengan bahasa yang lugas (terang-terangan)” (Al Kulliyat, hal. 243).

Seperti mengungkapkan urusan ranjang, membahas urusan kemaluan dan aurat, dengan bahasa yang terang-terangan.

Walaupun pembahasan yang dibahas isinya benar sekalipun, jika menggunakan kata-kata atau gestur yang cabul, tetap terlarang berdasarkan hadits di atas. Al Munawi rahimahullah mengatakan,

البذاء هو الفحش والقبح في المنطق، وإن كان الكلام صدقًا

Al baza’ adalah ucapan kotor dan dianggap tabu, walaupun isinya benar” (At Tawaqquf ‘ala Muhimmatit Ta’arif, hal. 73).

Setiap orang harus memiliki rasa malu yang mencegah dia untuk melakukan perkara-perkara cabul. Karena malu adalah bagian dari iman. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

الإيمانُ بِضعٌ وستونَ شُعبةً ، والحَياءُ شُعبةٌ منَ الإيمانِ

“Iman itu enam puluh sekian cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).

Sebaliknya, sifat suka perkara cabul dan suka berkata cabul adalah ciri kemunafikan. Dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الحياءُ والعِيُّ شعبتانِ منَ الإيمانِ، والبذاءُ والبيانُ شعبتانِ منَ النِّفاقِ

“Malu adalah cabang dari keimanan, dan sifat al baza’ (cabul), dan bayan (retorika untuk membenarkan kekeliruan) adalah cabang dari kemunafikan” (HR. Tirmidzi no. 2027, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Baca Juga: Mendakwahkan Akhlak dan Muamalah Saja, Lalu Melupakan Dakwah Tauhid

Bukan berarti tidak boleh membahas fikih yang terkait dengan urusan ranjang dan kemaluan, tetapi harus memperhatikan adab-adabnya. Di antaranya,

* Dengan bahasa yang sopan dan berwibawa.

* Berusaha menggunakan bahasa yang tidak lugas.

* Memperhatikan audiens, apakah layak untuk mendengarkan masalah tersebut?

* Dibahas sesuai kebutuhan bukan menjadi dagangan utama.

Sebagaimana hadits dari Ummu Sulaim radhiallahu ’anha, beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam,

يا رسولَ اللهِ ، إنَّ اللهَ لا يَستَحِي منَ الحقِّ ، فهل على المرأةِ غُسلٌ إذا احتَلَمَتْ ؟ فقال : ( نعمْ ، إذا رأتِ الماءَ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah itu tidak merasa malu dari kebenaran. Apakah wajib mandi bagi wanita jika dia mimpi basah? Rasulullah bersabda, “Ya, jika dia melihat air (mani)” (HR. Bukhari no. 6121 dan Muslim no. 313).

Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,

يا أماه ! ( أو يا أم المؤمنين ! ) إن أرد أن أسألك عن شيء . وإن أستحييك . فقالت : لا تستحي أن تسألني عما كنت سائلا عنه أمك التي ولدتك . فإنما أنا أمك . قلت : فما يوجب الغسل ؟ قالت : على الخبير سقطت . قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” إذا جلس بين شعبها الأربع ، ومس الختان الختان ، فقد وجب الغسل “

“Wahai Ibu (ibunya kaum mukminin), aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu, tapi aku malu. ‘Aisyah lalu berkata, ‘Jangan Engkau malu bertanya, jika Engkau bertanya kepada ibu yang melahirkanmu. Dan sesungguhnya aku ini ibumu juga. Abu Musa lalu berkata, ‘Bagaimana batasan jima’ yang mewajibkan mandi?’ ‘Aisyah berkata, ‘Engkau bertanya kepada orang yang tepat. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ‘Jika seseorang lelaki duduk di antara empat anggota badan istrinya, lalu dua khitan saling bertemu, maka wajib mandi‘” (HR. Muslim no. 349).

Perhatikan, dalam hadits-hadits di atas dibahas masalah-masalah ranjang dan kemaluan. Namun, kata-kata yang digunakan semisal “jika ia melihat air”, “lelaki duduk di antara empat anggota badan istrinya”, atau “dua khitan saling bertemu”. Ini adalah bahasa-bahasa yang sopan dan halus serta tidak lugas.

‘Ala kulli haal, seorang yang berdakwah wajib memiliki adab yang tinggi dalam dakwahnya. Tidak sembarang menyampaikan, tidak sekedar yang penting isinya benar. Bukankah Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih bagus perkataannya daripada orang yang mendakwahkan manusia kepada Allah dan beramal shalih serta mengatakan bahwa aku adalah bagian dari orang-orang muslim” (QS. Fushilat: 33).

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69760-membahas-agama-tidak-boleh-dengan-perkataan-cabul.html