Sikap Seorang Muslim Ketika Menerima Daging dari Non-Muslim

Mungkin kita sebagai seorang Muslim pernah menerima daging pemberian dari non-Muslim. Lalu kita merasa ragu apakah ini halal untuk dikonsumsi atau tidak.

Dalam kondisi demikian, bagaimana sikap seorang Muslim seharusnya?

Dosen Pascasarjana Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ustadz Dr Hari Susanto MA menjelaskan, ketika menerima daging dari kalangan non-Muslim, maka harus dilihat siapa pemberinya. Bila yang memberikan adalah tetangga yang telah dikenal baik selama ini dan memahami makanan yang dikonsumsi umat Islam, sehingga tidak ada lagi sesuatu yang diragukan, maka tidak masalah mengonsumsi daging pemberiannya.

“Kecuali jika orang asing, tidak kenal, atau tetangga baru. Maka harus bertanya lagi dengan cara yang baik tentunya. Untuk mengetahui ini daging apa, belinya di mana, atau dia menyembelih sendiri atau tidak,” jelasnya kepada Republika.co.id, Kamis (29/7).

Karena itu, hal pertama yang harus dilakukan ketika menerima daging dari orang yang belum dikenal baik, yaitu tabayun dengan bertanya. Setiap Muslim harus tabayun terhadap segala hal, baik itu makanan, barang atau informasi. Seorang Muslim juga tidak boleh melakukan sesuatu yang diragukan kehalalan dan kebenarannya. Inilah juga mengapa Muslim harus beramal dengan ilmu.

Ustadz Hari menjelaskan, dalam ushul fiqih, ilmu adalah yakin. Ilmu inilah yang membuat seorang Muslim yakin. Cara untuk mencapai yakin yaitu dengan mengamati, melihat sendiri atau bertanya langsung. Ini sebagaimana kaidah fiqih, yaitu harus mengetahui sesuatu sebelum mengatakannya atau melakukannya.

“Prinsipnya harus ada upaya untuk mencari tahu. Karena kita sebagai seorang Muslim dalam melakukan sesuatu harus jelas dasarnya. Misalnya ketika mau konsumsi apa, harus jelas ini apa, bahannya apa, dan sebagainya,” terangnya.

Bila setelah tabayun diketahui daging tersebut dibeli di pasar, dan berada di wilayah yang memang mayoritas masyarakatnya Muslim, maka berdasarkan prinsip ghalabah al-zhan (prasangka yang dominan), boleh mengonsumsi daging tersebut. Karena kemungkinan besar penyembelihan hewan dilakukan oleh Muslim dan sesuai syariat.

Dalam kondisi berbeda, bila seorang Muslim berada di daerah yang sebagian besar masyarakatnya adalah non-Muslim yang bukan Ahli Kitab, lalu ia menerima daging dari mereka, maka merujuk pada prinsip ghalabah al-zhan tadi, Muslim tersebut tidak boleh mengonsumsinya. 

Sebab, Ustadz Hari memaparkan, seorang Muslim dilarang mengonsumsi daging sembelihan non-Muslim yang bukan Ahli Kitab meski daging itu dari hewan yang halal seperti kambing dan sapi. Jika daging itu hasil sembelihan non-Muslim yang merupakan Ahli Kitab, dan hewannya termasuk yang halal dikonsumsi, maka berdasarkan Surah Al-Maidah ayat 5, boleh mengonsumsinya.

Kesalahan yang perlu dihindari seorang Muslim, lanjut Ustadz Hari, yaitu ketika menerima daging dari kalangan non-Muslim yang tidak dikenal baik, kemudian ia tidak berupaya tabayun dengan bertanya lebih lanjut tentang asal-muasal daging tersebut.

“Kalau kita masih ragu juga, tinggalkan. Misalnya, kita tidak mengenal orangnya dengan baik, kita tahu ini daging yang tidak halal, dan menyembelihnya bagaimana, ya sudah, tinggalkan. Tinggalkan yang meragukan dan ambillah yang tidak meragukan,” jelasnya.

IHRAM