Menerima Takdir dengan Rasa Yakin dan Tawakal

Kehidupan dunia berisi kejadian yang tidak terduga dan tidak pasti. Kita sudah berencana dan berusaha tetapi seringkali kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Semakin besar harapan, maka akan semakin besar rasa kecewa yang akan dirasakan. Rencana kita sebagai manusia yang lemah dan banyak kekurangan tentu tidak sebanding dengan besarnya ilmu dan kuasa Allah ta’ala. Oleh karena itu, kita perlu mengiringi usaha dengan rasa iman dan tawakal kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَٰذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ ۚ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا

Artinya: “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.’ Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al-Ahzab: 22)

Ayat di atas berisi tentang perbandingan orang-orang beriman dengan orang-orang munafik. Apabila orang-orang beriman dihadapkan dalam kondisi genting maka semakin bertambah iman dan tawakal kepada Allah ta’ala. Orang-orang beriman percaya terhadap janji Allah ta’ala, yaitu sebuah cobaan tentu sepaket dengan pertolongan Allah ta’ala. Oleh karena itu, semakin mereka terdesak maka semakin bertambah pula iman dan rasa tawakalnya kepada Allah ta’ala. Sedangkan orang-orang munafik justru akan semakin ketakutan dalam kondisi genting di hidupnya.

Allah ta’ala berfirman,

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ. فَانقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ

Artinya: “(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.’ Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.’ Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Ali-Imran: 173-174)

Kita dapat mengambil pelajaran dari ayat di atas, bahwasanya orang-orang beriman percaya bahwa cukuplah Allah menjadi penolong mereka dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Sehingga mereka kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah yaitu keselamatan dan keuntungan tanpa mendapatkan bencana dan mereka mencari keridhaan Allah yaitu mentaati Allah dan rasul-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan keutamaan tawakal kepada Allah ta’ala. Salah satu keutamaan bertawakal kepada Allah ta’ala, Allah ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Artinya: “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Apabila kita dalam suatu urusan, sebagaimana kita berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berdoa, maka kita perlu bersungguh-sungguh juga memasrahkan akhir urusan tersebut dengan rasa yakin dan tawakal kepada Allah ta’ala sebab janji Allah ta’ala yang akan mencukupkan keperluan hamba-Nya. Kita juga dapat mengambil pelajaran kisah Nabi Ibrahim yang bertawakal kepada Allah ta’ala ketika beliau akan dilemparkan ke dalam api.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,

كان آخر قول إبراهيم عَلَیهِ‌ السَّلام حين أُلقي في النار: حسبنا الله ونعم الوكيل

Artinya: “Ucapan Nabi Ibrahim yang terakhir kali ketika beliau dilemparkan ke dalam api adalah: Hasbunallaah wa ni’mal wakiil.” (HR. Al-Bukhari no 4564)

لَوْ أَنَّكمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَماَ ترْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِماَصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Artinya: “Seandainya kalian benar-benar bertawakal pada Allah, tentu kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi no. 2344. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Berdasarkan hadis di atas menunjukkan bahwa arti tawakal adalah melakukan usaha, bukan hanya sekedar menyandarkan hati kepada Allah ta’ala. Jadi, kita bukan hanya menyandarkan hati kepada Allah ta’ala melainkan juga berusaha dengan sungguh-sungguh.

Serangkaian takdir yang terjadi di kehidupan kita sepantasnya kita sikapi dengan dewasa dan bijaksana serta diiringi rasa yakin dan tawakal. Kita perlu mengembalikan segala urusan dalam hidup kepada Allah ta’ala, Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Semoga Allah memudahkan kita untuk menerima takdir dengan hati yang lapang. Aamiin.

Allahu a’lam.

Penulis: Retno Utami

Referensi :

Sumber: https://muslimah.or.id/17535-menerima-takdir-dengan-rasa-yakin-dan-tawakal.html
Copyright © 2024 muslimah.or.id