Hinaan dan Tuduhan yang Tak Terbukti Kebenarannya

PENGHINAAN atas diri pribadi nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sudah terjadi sejak lama, bahkan saat beliau masih hidup, berulang kali hinaan, cacian, makian dan sumpah serapah telah beliau terima.

Terkadang masih ditambah lagi dengan tekanan fisik yang amat pedih. Pukulan, hantaman, lemparan batu bahkan percobaan pembunuhan oleh konspirasi perwakilan semua kabilah Quraisy.

Kalau kita perhatikan, semua bentuk penghinaan dan tekanan itu terjadi pada saat orang-orang kafir gagal membantah kebenaran agama Islam. Tuduhan bahwa Rasulullah itu gila yang pernah mereka lontarkan, tidak terbukti. Sebab semua orang tahu bahwa beliau tidak gila. Tuduhan bahwa beliau penyihir, juga tidak terbukti, sebab sama sekali tidak ada kemiripan dengan penyihir.

Tuduhan bahwa Rasul adalah penyair, lagi-lagi tidak bisa terbukti. Sebab beliau bukan ahli syair dan Alquran sangat berbeda dengan semua bentuk syair arab.

Akhirnya, karena secara ilmiah tidak bisa membantah kebenaran agama Islam dan kenabian beliau, orang-orang kafir itu mulai melakukan apa saja dengan segala cara, asalkan bisa membuat orang berpaling dari agama Islam.

Maka mulailah pelecehan mereka berpindah kepada hal-hal yang bersifat pribadi. Tapi karena ciri fisik beliau terlalu sempurna, maka dicari lagi sisi-sisi negatif lainnya. Setan lalu membisikkan hati orang-orang kafir dan memberi ide segar, yaitu lewat pernikahan Rasulullah dengan beberapa wanita.

Celah sempit inilah yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang hatinya penuh penyakit. Tidak peduli dengan fakta sejarah, buat mereka, apapun karangan, asalkan bisa memojokkan dan membuat berpandangan negatif terhadap pribadi beliau, jadilah.

Padahal semua wanita yang beliau nikahi tidak lain adalah para janda, yang tidak bisa dikatakan muda, apalagi cantik. Satu-satunya istri yang dinikahi dalam keadaan perawan hanyalah Aisyah radhiallahu anha. Meski pada usia yang masih muda, tapi ukuran usia nikah di semua peradaban dunia ini tidak bisa disamakan.

Misalnya, di Yaman kita sering mendengar pernikahan antara suami yang berusia 10 tahun dan istri yang berusia 8 tahun. Ini adalah tradisi dan kebiasaan yang berkembang di suatu tempat. Mungkin berbeda dengan yang ada di tempat lain. Tetapi tidak bisa dijadikan sebagai bahan untuk melecehkan pribadi orang yang dilahirkan dan dibesarkan di tempat tersebut.

Adapun Rasulullah beristri banyak, bukan hal yang aneh. Kalau kita membaca sejarah para raja dan orang di masa lalu, tidak perlu jauh-jauh, seratusan tahun yang lalu pun, kita masih sering mendapati poligami. Bahkan tidak jarang mereka memiliki istri sampai seratus.

Hanya di masa sekarang ini saja poligami menjadi tidak lazim, akibat penetrasi kebudayaan barat yang mengindung kepada kebudayaan Romawi kuno, yang konon kurang menyukai poligami.

Tentunya, amat tidak logis menghina Rasul dengan hinaan-hinaan yang demikian, padahal umat manusia di masa lalu melakukannya, bahkan menjadikannya bagian dari kelaziman kehidupan.

Kalau nabi Muhammad umpamanya pernah melakukan pencurian, pemerkosaan, atau pembunuhan massal, ini hanya umpama, mungkin bolehlah dihina. Tapi kalau beliau melakukan hal yang lazim di tengah suatu peradaban, bahan mayoritas bangsa-bangsa melakukannya, tidak mungkin kita menghinanya. Dan atas dasar apa?

Nabi Muhammad tidak pernah melakukan hal-hal yang universal ditentang oleh etika kemanusiaan. Beliau hanya melakukan hal-hal yang di masanya sangat lazim. Karena itu para pemuka Quraisy tidak pernah menghina nabi dengan tuduhan seks maniak hanya lantaran beliau beristri lebih dari satu. Mengapa? Karena poligami di masa itu merupakan suatu kelaziman.

Mengapa orang-orang kafir di masa sekarang ini tidak menghina Abu Jahal, Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf, Syu’bah dan lainnya? Padahal mereka pun seks maniak juga karena punya istri lebih dari satu?

Mengapa tidak menghina para raja dari Inggris, Spanyol, Portugal, Belanda dan lainnya yang juga berpoligami? Mengapa hanya Muhammad yang dihina? Semua menunjukkan bahwa intinya mereka hanya tidak suka pada agama Islam, tapi kesulitan mencari titik lemahnya. Maka jadilah apapun bentuk penghinaan dilontarkan, meski salah alamat.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc.]

Tahan! Jaga Diri dari Sembarangan Menuduh dan Menyebarkannya

Bagi yang dituduh, itu tidak mendatangkan madharat akhirat jika bersabar. Orang lain beramal, pahalanya bagi dia jika dia tetap tidak ridha terhadap orang yang memfitnah dan menyebarkannya

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

SUNGGUH, sangat beruntung Ath-Thabari yang mendapatkan nikmat berupa tuduhan dusta sampai-sampai jenazahnya pun tak boleh dikuburkan di siang hari. Penuduhnya bukan sembarangan. Dua orang besar anak dari dua tokoh sangat besar. Ia dilarang mengajar. Tapi itu justru menjadi masa yang syahdu untuk menulis kitab-kitab yang kelak menjadi rujukan utama ahlus sunnah hingga masa ini.

Tetapi itu merupakan kerugian yang besar bagi yang menuduh. Betapa ringannya menuduh, betapa beratnya akibat yang harus ditanggung. Adakah yang semacam ini akan terulang kelak? Adakah kita termasuk bagiannya?

Selain Ath-Thabari, Imam Syafi’i maupun Imam Ahmad yang menjadi tokoh rujukan ahlussunnah juga pernah digebuki dan disiksa dengan tuduhan yang apabila seseorang terkena tuduhan itu, niscaya yang terbayang di benak orang adalah biang kesesatan nyata yang sangat besar.

Bagi yang dituduh, itu tidak mendatangkan madharat akhirat jika bersabar. Orang lain beramal, pahalanya bagi dia jika dia tetap tidak ridha terhadap orang yang memfitnah dan menyebarkannya. Makin besar andilnya dalam membuat berita bohong atau menyebarkannya, makin besar azab Allah Ta’ala baginya.

Ingatlah sejenak firman Allah Ta’ala:

ِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur, 24: 11).

‘Aisyah itu orang yang terjaga. Serupa Maryam. Belum sempat mengalami puber, sudah menikah dengan lelaki terbaik: Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Tak punya social media yang memudahkan ngobrol dengan orang lain di dunia maya. Tak pernah juga mengalami cinta monyet. Tetapi wanita semulia itu, seterjaga itu, tetap saja terkena fitnah dan tudingan. Siapa yang memfitnah? Mari kita ingat kembali lembaran sejarah. Siapa yang mudah percaya pada isu yang tidak jelas? Orang beriman. Salah satunya bahkan penyairnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di medan perang. Apa sebabnya mudah percaya? Bersebab perkataan “aku menyaksikan sendiri” atau “aku mendengar sendiri” tanpa mendatangkan bukti.

Apakah “mendengar sendiri” tidak cukup kuat sebagai alasan untuk mempercayai? Betapa banyak orang yang mendengar dan menyaksikan sendiri pun tidak dapat menangkap informasi dan fakta secara akurat. Bahkan dalam persoalan kecil pun, kita kadang mengalami salah dengar. Meminta sapu, ternyata diambilkan shampoo. Di berbagai majelis, saya juga kerap mengalami kejadian tragis. Sudah menjelaskan dengan penuh semangat tentang apa yang menurut saya tepat dan benar, ternyata ada di antara mustami’in (audiens) yang mempertanyakan mengapa saya tidak setuju. Padahal saya sudah panjang lebar menjelaskan alasan mengapa saya setuju.

Ini hanyalah sekedar contoh.

Lalu, bagaimana sikap yang seharusnya kita ambil saat mendengar isu tentang buruknya atau sesatnya seseorang? Kaidah dasarnya, terhadap mukminin kita husnuzhan. Sementara terhadap orang fasik, kita curiga dulu sampai mampu melakukan tabayyun dengan benar.

Mari kita renungi sejenak firman Allah Ta’ala:

لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَٰذَا إِفْكٌ مُبِينٌ

Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS. An-Nuur, 24: 12).

Bagaimana kalau kita cuma share gosip tentang rusak dan sesatnya seseorang? Jika tidak benar, kita terhitung sebagai pendusta dan tukang fitnah. وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (Dan yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar).

Ini merupakan kerugian yang sangat besar, musibah yang sangat memilukan. Lalu, apa yang kita perlukan saat mendengar kabar kabur yang belum tentu benar, meskipun tampaknya sangat meyakinkan? Mari kita pikirkan firman Allah Ta’ala:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nuur, 24: 15).

Penyebab orang mudah berpartisipasi menyebarluaskan tuduhan, meskipun tidak merasa menyebarluaskan (cuma share kok…) adalah karena menganggapnya sebagai perkara yang ringan. Padahal di sisi Allah Ta’ala itu merupakan persoalan yang sangat besar.*

Mohammad Fauzil Adhim, penulis buku-buku parenting. Twitter, @kupinang

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah.com