Nama-Nama Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bag. 2)

Apakah Khidir itu Nama Seorang Nabi atau Seorang Wali?

Terdapat satu masalah penting, yaitu apakah Khidir itu termasuk Nabi atau wali? Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa Khidir itu termasuk Nabi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16), juga dipilih oleh Abul ‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim, 6: 209), Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16), Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahumullah.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “(Termasuk perkara) yang kita tidak boleh (berpendapat) abstain adalah penegasan tentang kenabian Khidir.” (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 162)

Para ulama tersebut berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi: 65)

Yang dimaksud dengan kata “rahmat” dalam ayat tersebut adalah “kenabian” (an-nubuwwah). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?” (QS. Az-Zukhruf: 32)

Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “(Yang dimaksud dengan kata) ‘rahmat’ dalam ayat ini adalah an-nubuwwah (kenabian).” (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16)

Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي

Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. (QS. Al-Kahfi: 82)

Ayat ini merupakan dalil tegas yang menunjukkan kenabian Khidir ‘alaihissalam. Dalam ayat ini, Khidir mengingkari perbuatannya berupa membunuh anak kecil dan menenggelamkan kapal itu berasal dari kemauannya sendiri. Akan tetapi, apa yang diperbuat itu hanyalah berasal dari perintah dari Allah Ta’ala. Dan perintah Allah Ta’ala semacam itu hanyalah bersumber dari wahyu, dan bukan sekedar bersumber dari ilham.

Apa yang diperbuat oleh Khidir tersebut juga termasuk dalam ilmu gaib yang tidak mungkin diketahui oleh siapa pun, kecuali Allah Ta’ala semata. Perkara ini termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib. Maka, Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya. Maka, sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)

Abul ‘Abbas Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Yang dzahir (makna yang lebih mendekati, pent.) dari rangkaian kisah Khidir dan juga memperhatikan keadaannya, disertai dalil firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri”, bahwa (Khidir) adalah seorang Nabi yang diberi wahyu berupa taklif (beban syariat) dan hukum-hukum.” (Al-Mufhim, 6: 209)

Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri”,  menunjukkan kenabian Khidir. Bahwa Khidir diberi wahyu berupa taklif dan hukum-hukum (syariat), sebagaimana diwahyukan pula kepada para Nabi ‘alaihimush shalatu wassalam. Akan tetapi, Khidir bukanlah Rasul.” (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 28)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Khidir berani membunuh anak kecil tersebut. Dan hal itu tidak mungkin terjadi, kecuali berdasarkan wahyu yang disampaikan kepadanya dari sisi Allah Ta’ala. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabian Khidir dan juga bukti nyata tentang kemaksuman Nabi Khidir. Hal ini karena seorang wali tidak boleh berinisiatif membunuh jiwa manusia semata-mata hanya berdasarkan pemikirannya. Karena bisikan yang ada dari dalam hatinya tidaklah maksum. Karena berdasarkan kesepakatan (para ulama, pent.), (bisikan itu) bisa saja salah.”  (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 162)

Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Di antara dalil yang paling jelas menunjukkan bahwa “rahmat” dan “ilmu laduni” yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada hamba-Nya Khidir adalah melalui jalan kenabian (an-nubuwwah) dan wahyu adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” Maksudnya, apa yang aku lakukan ini hanyalah berasal dari perintah Allah Ta’ala. Sedangkan perintah Allah Ta’ala hanyalah bisa terwujud melalui jalan wahyu. Karena tidak ada jalan untuk mengetahui perintah dan larangan Allah, kecuali dengan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Lebih-lebih membunuh jiwa yang pada asalnya tidak boleh dibunuh dan menenggelamkan kapal milik orang lain dengan melubanginya. “ (Adhwa’ul Bayan, 3: 323)

Jika ada yang bertanya, bisa jadi hal itu didapatkan melalui ilham, dan bukan melalui wahyu? Maka, jawabannya adalah sudah menjadi ketetapan dalam ilmu ushul bahwa ilham yang dimiliki para wali itu tidak boleh dijadikan sebagai dalil atas apapun karena wali itu tidaklah maksum. Juga tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya berdalil dengan ilham. Bahkan, yang ada adalah dalil yang menunjukkan tidak boleh berdalil dengan ilham. (Lihat Adhwaul Bayaan, 3: 323)

Para ulama yang mengatakan bahwa Khidir itu Nabi juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً ؛ قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً ؛ وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْراً ؛ قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً ؛ قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً

“Musa berkata kepada Khidhr, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata, ‘Insyaallah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata, ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’ (QS. Al-Kahfi: 66-70)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Seandainya Khidir itu seorang wali dan bukan seorang Nabi, Nabi Musa ‘alaihis salaam tidak mungkin berbicara kepada Khidir (dengan perkataan) semacam itu. Musa juga tidak akan menjawab Khidir dengan jawaban semacam itu. Bahkan, Nabi Musa meminta agar bisa membersamai Khidir untuk bisa mendapatkan ilmu yang Allah khususkan kepada Khidir dan tidak dia dapatkan sebelumnya. Seandainya Khidir itu bukan seorang Nabi, maka dia tidaklah maksum. Dan tidak mungkin bagi Nabi Musa, yang merupakan Nabi dan Rasul yang agung, yang jelas maksum, dan memiliki motivasi besar (untuk mencari ilmu, pent.), untuk mempelajari ilmu dari seorang wali yang tidak maksum.” (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 30)

Demikian pula kabar dari Khidir bahwa anak kecil yang dia bunuh itu akan tumbuh dewasa dalam kekafiran. Ini termasuk berita gaib yang tidak mungkin diketahui kecuali melalui jalan kenabian dan wahyu.

Pendapat kedua, adalah pendapat yang menyatakan bahwa Khidir itu adalah wali dan bukan Nabi. Di antara ulama yang berpendapat yang kedua ini adalah Abu ‘Ali bin Abu Musa (dari ulama Hanabilah), Abu Bakr Al-Anbari, dan Abul Qasim Al-Qusyairi. (Lihat Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 24)

Dan bisa jadi argumentasi utama mereka adalah al-manaamaat. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa al-manaamaat itu bukan hujjah dalam syariat.

Sebagian orang yang meyakini bahwa Khidir adalah seorang wali kemudian menjadikan kisah Khidir ini sebagai alasan bahwa derajat kewalian itu lebih tinggi daripada derajat kenabian. Tentu saja hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan telah kami jelaskan sebelumnya di tulisan yang lain di tautan ini.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Perlu diperhatikan bahwa mayoritas dari mereka mengunggulkan wali di atas Nabi, -menurut persangkaan mereka- baik secara mutlak atau unggul (lebih utama) dari sebagian sisi. Mereka menyangka bahwa dalam kisah Khidir bersama Nabi Musa ‘alaihissalam yang terdapat dalam surat Al-Kahfi adalah dalil yang mendukung pendapat mereka.”  (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 25)

Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang sahih adalah pendapat pertama yang menyatakan bahwa Khidir adalah seorang Nabi berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan. Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/71059-nama-nabi-dan-rasul-dalam-alquran-assunnah-bag-2.html

Nama-Nama Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bag. 1)

Dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan sebagian dari nama-nama para Rasul yang Allah Ta’ala. Nama-nama yang disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut mencapai dua puluh lima nabi dan rasul. Di antara dalil yang menunjukkan nama nabi dan rasul adalah sebagai berikut.

Dalam satu rangkaian ayat, Allah Ta’ala mengumpulkan delapan belas nabi dan rasul. Allah Ta’ala berfirman,

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاء إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ ؛ وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلاًّ هَدَيْنَا وَنُوحاً هَدَيْنَا مِن قَبْلُ وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ  ؛ وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِّنَ الصَّالِحِينَ ؛ وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطاً وَكُلاًّ فضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ

“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada (1) Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan (2) Ishak dan (3) Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada (4) Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu (5) Daud, (6) Sulaiman, (7) Ayyub, (8) Yusuf, (9) Musa, dan (10) Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan (11) Zakaria, (12) Yahya, (13) ‘Isa, dan (14) Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang salih. Dan (15) Ismail, (16) Alyasa’, (17) Yunus, dan (18) Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).” (QS. Al-An’am: 83-86).

Di dalam surat An-Nisa’, Allah Ta’ala sebutkan tiga belas nabi. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu (1) (Muhammad) sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada (2) Nuh dan nabi-nabi setelahnya. Dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada (3) Ibrahim, (4) Isma’il, (5) Ishak, (6) Ya’qub dan (7) al-asbath (anak cucunya, yaitu Yusuf, pen.) (8) ‘Isa, (9) Ayyub, (10) Yunus, (11) Harun, dan (12) Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada (13) Daud.” (QS. An-Nisa’: 163).

Selebihnya, Allah Ta’ala sebutkan dalam surat yang terpisah,

وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!’” (QS. Al-Baqarah: 31).

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوداً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ إِنْ أَنتُمْ إِلاَّ مُفْتَرُونَ

“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Huud. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.’” (QS. Huud: 50).

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحاً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf: 73).

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْباً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf: 85).

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقاً نَّبِيّاً

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (QS. Maryam: 56).

وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِّنَ الصَّابِرِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Al-Anbiya’: 85).

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ

“Muhammad itu adalah utusan Allah” (QS. Al-Fath: 29).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, nama Nabi dan Rasul yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah: (1) Adam; (2) Nuh; (3) Ibrahim; (4) Isma’il; (5) Ishaq; (6) Ya’qub; (7) Dawud; (8) Sulaiman; (9) Ayyub; (10) Yusuf; (11) Musa; (12) Harun; (13) Zakariya; (14) Yahya; (15) Isa; (16) Ilyas; (17) Alyasa’; (18) Idris; (19) Yunus; (20) Luth; (21) Hud; (22) Shalih; (23) Syu’aib; (24) Dzulkifli; dan (25) Muhammad ‘Alihimus shalaatu was salaam.

Yang dimaksud dengan “al-asbath” (sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 163) adalah Nabi dari anak keturunan Ya’qub ‘alaihis salaam (lihat Tafsir Ath-Thabari, 3: 109).

Perlu dicatat bahwa para Nabi itu jumlahnya sangatlah banyak. Tidak terdapat dalil yang sahih yang menunjukkan jumlah yang pasti [1]. Oleh karena itu, wajib beriman kepada mereka seluruhnya tanpa membatasi jumlah mereka dengan angka atau bilangan tertentu.

Adapun jumlah 25 nama yang tadi disebutkan, itu adalah nama-nama yang Allah Ta’ala sebutkan atau ceritakan dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala memang menyebutkan nama sebagian mereka di dalam Al-Qur’an, namun tidak menceritakan sebagian besar dari mereka yang lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Al-Mu’min: 78).

Saudara-saudara Yusuf bukanlah Nabi

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Tidaklah diketahui dari Bani Israil (adanya nabi) sebelum Musa kecuali Yusuf. Di antara yang menguatkan  hal tersebut adalah ketika Allah Ta’ala menyebutkan para nabi dari keturunan Ibrahim, Allah Ta’ala mengatakan,

وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ

‘Dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun’ (QS. Al-An’am: 84).

Maka disebutkanlah Yusuf dan yang bersamanya, dan tidak disebutkan al-asbath. Seandainya saudara-saudara Yusuf adalah Nabi sebagaimana kenabian Yusuf, tentu akan ikut disebutkan bersamanya” (Jaami’ul Masaail, 3: 298).

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan kenabian saudara-saudara Yusuf” (Tafsir Ibnu Katsir, 4: 327).

Tambahan dari dalil As-Sunnah

Terdapat tambahan dari yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu Yusya’ bin Nun. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ، فَقَالَ لِقَوْمِهِ: لاَ يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ، وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا؟ وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا، وَلاَ أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا، وَلاَ أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلاَدَهَا، فَغَزَا فَدَنَا مِنَ القَرْيَةِ صَلاَةَ العَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لِلشَّمْسِ: إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا، فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَجَمَعَ الغَنَائِمَ، فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا، فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ: إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا، فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيكُمُ الغُلُولُ، فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيكُمُ الغُلُولُ، فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنَ الذَّهَبِ، فَوَضَعُوهَا، فَجَاءَتِ النَّارُ، فَأَكَلَتْهَا ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا، وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا

“Ada seorang Nabi di antara para nabi yang berperang lalu berkata kepada kaumnya, ‘Janganlah mengikuti aku seseorang yang baru saja menikahi wanita sedangkan dia hendak menyetubuhinya karena dia belum lagi menyetubuhinya (sejak malam pertama); dan jangan pula seseorang yang membangun rumah-rumah sedang dia belum memasang atap-atapnya; dan jangan pula seseorang yang membeli seekor kambing atau seekor unta yang bunting sedang dia menanti-nanti hewan itu beranak.’

Maka Nabi tersebut berperang dan ketika sudah hampir mendekati suatu kampung, datanglah waktu salat Asar atau sekitar waktu itu. lalu Nabi itu berkata kepada matahari, ‘Kamu adalah hamba yang diperintah begitu juga aku hamba yang diperintah. Ya Allah tahanlah matahari ini untuk kami.’ Maka matahari itu tertahan (berhenti beredar) hingga Allah memberikan kemenangan kepada Nabi tersebut. Kemudian Nabi tersebut mengumpulkan ghanimah, lalu tak lama kemudian datanglah api untuk memakan (menghanguskannya), namun api itu tidak dapat memakannya.

Nabi tersebut berkata, ‘Sungguh di antara kalian ada yang berkhiyanat (mencuri ghanimah). Untuk itu, hendaklah dari setiap suku ada seorang yang berbaiat kepadaku.’ Maka ada tangan seorang laki-laki yang melekat (berjabatan tangan) dengan tangan Nabi tersebut. Lalu Nabi tersebut berkata, ‘Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah, maka hendaklah suku kamu berbaiat kepadaku.’ Maka tangan dua atau tiga orang laki-laki suku itu berjabatan tangan dengan tangan Nabi tersebut, lalu Nabi tersebut berkata, ‘Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah.’

Mereka datang dengan membawa emas sebesar kepala sapi lalu meletakkannya. Kemudian datanglah api lalu menghanguskannya. Kemudian Allah menghalalkan ghanimah untuk kita karena Allah melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita sehingga Dia menghalalkannya untuk kita” (HR. Bukhari no. 3124).

Nama Nabi tersebut adalah Yusya’ bin Nun. Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ لَمْ تُحْبَسْ عَلَى بَشَرٍ إِلَّا لِيُوشَعَ لَيَالِيَ سَارَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ

“Sesungguhnya matahari tidaklah ditahan untuk seorang manusia, kecuali untuk Yusya’ [ada saat dia berjalan pada malam hari menuju Baitul Maqdis]” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 14: 65, no. 8315. Dinilai sahih oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 6: 221) [2].

Di seri berikutnya, akan kami bahas apakah Khidir itu seorang Nabi ataukah bukan? Semoga Allah Ta’ala mudahkan.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70311-nama-nabi-dan-rasul-dalam-alquran-assunnah-bag-1.html