Wahai Para Penghafal Al-Qur’an, Jagalah Akhlakmu, bag. 2

Keempat, tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai mata pencaharian
Termasuk hal yang paling penting yang diperintahkan adalah hendaknya ia sangat berhati-hati tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sarana mencari nafkah. Diriwayatkan Abdurrahman bin Syibl –radhiyallahu ‘anhu– ia berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:

اقرؤوا القرآنَ، واعملوا به، ولا تَجفُوا عنه، ولا تغْلُوا فيه، ولا تأكلوا به، ولا تستكثِروا به

Bacalah Al-Qur’an, amalkanlah ia, jangan jangan melalaikannya, dan jangan pula berlebih-lebihan terhadapnya, jangan makan hasil darinya, jangan memperbanyak harta darinya” [1].
Diriwayatkan dari Jabir –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

اقرءوا قبل أن يجيء أقوام يقيمونه كما يقام القدح لا يجاوز تراقيهم ، يتعجلون أجره ولا يتأجلونه

Bacalah Al-Qur’an sebelum datang kaum yang menegakkannya seperti tegaknya anak panah, tidak melewati kerongkongan mereka, mereka menyegerakan upahnya dan tidak menundanya” [2]
Maksudnya kaum yang tercela tersebut menyegerakan upah dari membaca Al Qur’an adalah dalam bentuk harta, popularitas, dan semisalnya.

Mengenai upah dari pengajaran Al-Qur’an ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama melarangnya, diantaranya: Az-Zuhri dan Abu Hanifah. Sebagian lagi membolehkannya jika tidak menjadi syarat, sebagaimana pendapat Hasan Al-Bashri, Asy-Sya’bi, dan Ibnu Sirin. Namun yang jelas, wajib para penghafal dan pengajar al Qur’an untuk mengikhlaskan niatnya dalam menghafal untuk mengharap wajah Allah.

Kelima, membiasakan diri memperbanyak membaca Al-Qur’an
Hendaknya membiasakan diri untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Para salaf mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda dalam mengkhatamkan Al-Qur’an. Ibnu Abi Daud meriwayatkan dari beberapa salaf bahwasanya mereka dahulu mengkhatamkan Al-Qur’an setiap dua bulan sekali, yang lainnya sebulan sekali, ada yang sepuluh hari sekali, delapan hari sekali, mayoritas tujuh hari sekali. Adapula yang mengkhatamkan setiap enam hari sekali, lima hari sekali, empat hari sekali, tiga hari sekali, tetapi ada juga yang mengkhatamkan dua hari sekali. Intinya berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya, ada yang jernih pikirannya hingga dalam waktu singkat dapat memahami apa yang dibacanya, ada juga yang sibuk menyampaikan ilmu atau lainnya yang ada kaitannya dengan kepentingan agama dan kemashlahatan kaum muslimin secara umum maka sebisa mungkin ia mengkhatamkan Al-Qur’an tanpa melalaikan tugasnya. Tetapi jika tidak memungkinkan untuk mengkhatamkan hendaklah ia membaca semampunya tanpa melalaikannya ataupun membaca dengan terburu-buru.
Mayoritas salaf memakruhkan khataman dalam waktu satu hari satu malam. Dalam hal ini terdapat hadist shahih dari Abdullah bin Amr bin Ash –radhiyallahu ‘anhumaa– ia berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:

لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ

Orang yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu kurang dari tiga hari tidak akan paham apa yang dibacanya” [3]

Keenam, membiasakan qiraah malam
Hendaknya ia membedakan malam harinya dengan malam hari orang-orang pada umumnya. Hendaknya ia sangat memperhatikan qiraah pada malam hari, terlebih dalam shalat malam. Allah Ta’ala berfirman:

مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ

“Di antara ahlu kitab ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud (shalat).” (QS. Ali ‘Imran: 113).

Banyak hadist dan atsar mengenai hal ini. Dalam Shahihain terdapat riwayat dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda:

نِعْمَ الرَّجلُ عبدُ اللَّهِ لَو كانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ

Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah, jika ia mengerjakan sholat malam” [4]

Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dahulu dikatakan: Tetaplah membaca Al-Qur’an pada malam hari walau kambing sudah mengeluarkan susunya”.

Sesungguhnya nilai lebih shalat malam dan bacaan Al-Qur’an adalah karena ia menyatukan hati, menjauhkannya dari kesibukan-kesibukan lain, dari kelalaian dan memikirkan kebutuhan, lebih menjaga riya’ dan semacamnya yang menjadikan amalan sia-sia. Di samping adanya tuntunan syari’at karena banyaknya kebaikan pada malam hari.

Ketujuh, senantiasa melakukan muraja’ah hafalan Al-Qur’an untuk menghindari lupa
Hendaklah ia senantiasa berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan senantiasa memuraja’ah hafalan Al-Qur’an sehingga ia tidak lupa. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari –radhiyallahu anhu– ia berkata Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَعاهَدُوا هذا القُرْآنَ، فَوالذي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بيَدِهِ لَهو أشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الإبِلِ في عُقُلِها

Ulang-ulanglah Al-Qur’an ini. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, ia lebih cepat lepas daripada unta dalam ikatan” [5].
Diriwayatkan dari Ibnu Umar –radhiyallahu anhuma– bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:

إنَّما مَثَلُ صاحِبِ القُرْآنِ، كَمَثَلِ صاحِبِ الإبِلِ المُعَقَّلَةِ، إنْ عاهَدَ عليها أمْسَكَها، وإنْ أطْلَقَها ذَهَبَتْ

Sungguh permisalan orang yang hafal Al-Qur’an itu ibarat pemilik unta yang diikat, jika ia selalu menjaganya niscaya bisa mempertahankannya tetapi jika ia melepaskannya niscaya unta itu akan pergi” [6].
Wallahu a’lam.
**
Penulis: Shofrida Afifah Azizah & Hilda Aziza Mayadah

Catatan kaki
[1] HR. Ahmad (III/428, 444) dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 260
[2] HR. Abu Daud (830), Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/1025), dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud 830
[3] HR. Abu Daud (1390), Tirmidzi (2949), Ibnu Majah (1347), dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah
[4] HR. Bukhari (1156) dan Muslim (2479)
[5] HR. Bukhari (5033) dan Muslim (791)
[6] HR. Bukhari (5031) dan Muslim (789)

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11777-wahai-para-penghafal-al-quran-jagalah-akhlakmu-bag-2.html

Wahai Para Penghafal Al-Qur’an, Jagalah Akhlakmu, bag. 1

Wahai saudaraku, agama Islam adalah agama adab dan kemuliaan, agama akhlak dan keutamaan. Siapa yang dicintai Allah maka agamanya menjadi mulia, adabnya akan menjadi luhur. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai seorang muslim hendaknya selalu menghiasi diri kita dengan akhlak dan adab yang mulia, terlebih pada seorang yang diberi kenikmatan dan taufik menjadi seorang penghafal Al-Qur’an hendaknya lebih mampu menjaga akhlak dan adabnya sebagaimana perkataan Muhammad bin Al-Husain: “Seyogyanya orang yang telah mendapatkan pengajaran Al-Qur’an dari Allah dan dikaruniai keistimewaan dibandingkan orang yang tidak menghafal dan memahami kitabNya, kemudian dia berkeinginan untuk menjadi Ahlul Qur’an, keluarga Allah, hamba pilihanNya dan ingin masuk ke dalam golongan yang mendapatkan janji Allah untuk meraih keutamaan agung dari menghafal Al-Qur’an, hendaknya dia menjadikan Al-Qur’an sebagai penyejuk hatinya, lalu dengannya dia membangun apa-apa yang telah rusak dari hatinya, kemudian dia beradab dengan adab-adab Al-Qur’an dan berakhlak yang mulia sehingga dengannya dia akan nampak jauh berbeda perilakunya dari orang tidak membaca Al-Qur’an”[1]

Mengingat betapa banyaknya kemuliaan dan keutamaan bagi orang yang menghafal Al-Qur’an. Hendaknya orang yang menghafal Al-Qur’an tidak menjadikan hafalan Al-Qur’an hanya sekedar hafalan tanpa berusaha memahami, merenungi, dan mengamalkan isinya atau bahkan hanya menjadikannya sebagai ajang berbangga-bangga belaka. Wal’iyadzubillah. Berikut ini adalah nasihat-nasihat tentang adab yang patut diteladani oleh orang-orang yang menghafalkan kitab Allah subhanahu wa ta’ala,

Pertama, berniat mengharap ridha Allah semata

Pertama kali yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang hendak beribadah kepada Allah adalah mengikhlaskan niatnya untuk mencari ridha Allah Ta’ala semata termasuk dalam menghafalkan Al-Qur’an dan mengajarkannya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Diriwiyatkan dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dalam Shahihain bahwa beliau bersabda:

إنَّما الأعْمالُ بالنِّيَّةِ، وإنَّما لِامْرِئٍ ما نَوَى

Sesungguhnya amalan itu bergantung pada niat dan sesungguhnya seseorang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya” [2]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata:

إِنَّمَا يَحْفَظُ الرَّجُلُ عَلَى قَدْرِ نِيَّتِهِ

Seseorang itu akan menghafal sesuai dengan kadar niatnya” [3]

Kedua, tidak mengharap hasil duniawi

Hendaknya ia dalam menghafal Al-Qur’an tidak meniatkan untuk memperoleh kenikmatan dunia yang bersifat sementara, baik berupa harta, jabatan, kedudukan yang tinggi, sanjungan manusia, atau semacamnya.

Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagiapun di akhirat,” (QS. Asy-Syura: 20).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– ia berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:

من طلب عِلمًا ممَّا يبتغي به وجهَ اللهِ تعالَى ليُصيبَ به عرَضًا من الدُّنيا لم يجِدْ عرْفَ الجنَّةِ

Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya diniatkan mengharap melihat wajah Allah Ta’ala, akan tetapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan salah satu kenikmatan dunia maka ia tidak akan mencium semerbak wangi surga pada Hari Kiamat.” (HR. Abu Daud dengan sanad shahih) [4]

Ketiga, menghiasi diri dengan akhlak terpuji

Seorang penghafal Al-Qur’an seyogyanya menghiasi diri dengan kebaikan-kebaikan yang dituntunkan oleh syariat dan senantiasa berusaha mengamalkan ayat-ayat yang telah dihafalnya sehingga menjadikan Al-Qur’an, As-Sunnah dan hukum islam sebagai petunjuknya pada setiap akhlak yang baik dan terpuji. Beberapa contoh akhlak terpuji tersebut adalah:

  1. Senantiasa bertakwa kepada Allah saat sendirian ataupun di tengah keramaian, dengan bersikap zuhud dan wara’ dalam hal makanan, minuman, pakaian, penghasilan.
  2. Membiasakan diri untuk senantiasa berbakti pada kedua orangtuanya. Mendermakan hartanya untuk kedua orangtuanya, bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang kepada keduanya.
  3. Menjaga lisan dan berhati-hati dalam tutur katanya. Apabila berbicara dilandasi dengan ilmu pun ketika diam dilandasi dengan ilmu dan sedikit bicara dalam hal yang tidak bermanfaat.
  4. Sedikit tertawa dan bercanda dari apa yang ditertawakan oleh manusia, disebabkan buruknya banyak tertawa dan bercanda dan takut jatuh dalam kesia-siaan.
  5. Tawadhu’, tidak membicarakan aib, merendahkan, dan mencaci seorang pun, tidak berbuat zhalim, tidak iri dengki dan berburuk sangka pada siapa pun kecuali pada orang yang pantas menerimanya.
  6. Tidak melakukan perbuatan jahil kepada seorang pun, apabila dijahili maka dia bersabar dan bermurah hati dan senantiasa memaafkan ketika dizhalimi.
  7. Senantiasa menyambung silaturrahim dan membenci pemutusan tali silaturrahim.
  8. Dia bersahabat dengan orang-orang mukmin dengan landasan ilmu. Orang yang bersahabat dengannya akan mendapatkan manfaat darinya.
  9. Bersikap sopan terhadap gurunya dan senantiasa memperhatikan adab-adab dalam bermajelis
  10. Jika dia mengajar dia bersikap lemah lembut, rendah hati, tidak bersikap keras, memperlakukan murid dengan baik, mendidik muridnya dengan adab mulia, bersemangat ketika mengajar. Orang yang bermajelis dengannya akan merasa senang dan selalu mendatangkan kebaikan.

[bersambung]
**
Penulis: Shofrida Afifah Azizah & Hilda Aziza Mayadah

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11774-wahai-para-penghafal-al-quran-jagalah-akhlakmu-bag-1.html

Kisah Para Santri Penghafal Alquran Selamat dari Tsunami

Tsunami yang menerjang Selat Sunda, Sabtu (22/12), lalu menyimpan banyak cerita. Ribuan orang berjuang menyelamatkan diri dan keluarga mereka dari hantaman air laut yang tiba-tiba menerjang waktu istirahat mereka. Wilayah tepi pantai juga banyak digunakan sebagai lokasi berlibur oleh keluarga. Siapa sangka akan terjadi bencana besar yang mengubah hidup sebagian masyarakat di sana.

Salah satu korban selamat dari tsunami tersebut adalah rombongan dari SMA Islam Nurul Fikri Boarding School (NFBS) Serang Banten. Sebanyak 65 santri dengan rincian 30 perempuan dan 35 laki-laki menyaksikan kedahsyatan air yang meluluhlantakkan hotel dan rumah warga di sekitar pantai. Namun, melalui kesaksian salah satu guru, Ai Nuraeni, di saat kejadian tersebut ia dan anak didiknya menyaksikan kuasa Allah SWT yang luar biasa.

Ai menceritakan, pada saat kejadian di malam hari, melalui lantai dua vila yang mereka tempati, terlihat Anak Gunung Krakatau mengeluarkan api dan laharnya. Walaupun sempat khawatir, mereka tetap menjalankan aktivitas seperti biasa.

Namun, suara gemuruh tiba dan membuat dirinya bertanya-tanya. “Baru selesai hafalan setoran tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Awalnya dipikir hujan tapi ternyata enggak ada airnya, tiba-tiba dari belakang yang dekat ke pantai itu santri putra lari-lari (teriak) itu air, itu ada air. Kita sempat panik itu air apa,” kata Ai menjelaskan.

Tak lama kemudian, air tersebut surut begitu saja dan hanya menghantam pagar pembatas belakang vila. Rombongan pun memutuskan untuk berkumpul di mushala vila. Ia mendapat kabar bahwa pengelola pantai menghubungi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk menanyakan apa yang terjadi. Ternyata, menurut BMKG saat itu hanya air pasang biasa. Mereka pun merasa sedikit tenang.

“Tapi ada sedikit khawatir juga sih dari para pembina. Akhirnya kita kumpulkan saja semuanya di mushala. Kita instruksikan mereka untuk menggunakan pakaian lengkap, minimal kita siap lari,” kenang Ai.

Pada saat itu, suasana kembali hening. Suara yang terdengar hanyalah para santri yang tengah mengaji dan melanjutkan tilawah yang sempat tertunda karena air pasang tiba-tiba tadi. Ai juga mengenang, saat itu para santri begitu tenang. Ada beberapa yang wudhu dan shalat tobat, semua begitu tenang dan tidak panik.

“Sesauatu yang mengharukan saya, terutama sikap anak-anak ketika terjadi bencana seperti itu, kita instruksikan, kita sekarang evakuasi, silakan bawa barang yang dianggap penting. Dan mereka langsung yang tercetus itu ya Alquran,” kata Ai.

Pada saat itu pengelola hotel mengabarkan bahwa ada masyarakat yang mengungsi. Pembina pun musyawarah perlu atau tidaknya untuk ikut mengungsi. Ai menceritakan, setelah mereka berdiskusi, dua orang ustaz keluar untuk melihat kondisi sekitar. Kedua ustaz tersebut pun kaget karena lingkungan di sekitar villa telah hancur. Akhirnya mereka memutuskan untuk ikut mengungsi.

“Pengungsian waktu itu, kata pengurus vila, ada di daerah Cipanas, pokoknya dari vila ke arah kiri. Setelah belokan evakuasi itu, akan ada dari jembatan itu sudah tidak bisa dilalui kendaraan itu. Ya itu batas amannya,” kata dia.

Sebelumnya, ketika di vila mereka telah dihubungi oleh NF di pesantren. Rombongan NF dari pesantren pun telah dalam perjalanan untuk menjemput mereka. Namun, di jalan, Ai menjelaskan, rombongan NF tidak bisa masuk lebih dalam karena jalanan rusak.

Namun, hal cukup menakjubkan terjadi. Ketika berada di lokasi pengungsian atau rumah penduduk di daerah Cipanas, tidak jauh dari situ adalah tempat rombongan dari NF yang akan menjemput berada. Akhirnya, seluruh ustaz, ustazah, dan santri berhasil keluar dari lokasi bencana dan kembali ke pesantren.

“Jadi, alhamdulillah timnya sampai ke daerah pengungsian. Lalu ada empat atau lima mobil itu. Kita lewat jalur alternatif yang melewati hutan dan kurang lebih tiga jam sampai ke pesantren,” kata Ai.

Rombongan ini sudah berada di lokasi selama satu bulan lebih sejak 18 November 2018. Rencananya, mereka akan dikarantina sampai 18 Januari 2018 sebelum berangkat ke Turki pada 23 Januari 2018.

“Mereka adalah santri kelas 10 SMA Islam Nurul Fikri Boarding School, Serang, Banten yang mengikuti program International Education Progarm (IEP). Mereka melakukan hapalan Alquran 30 juz. Mereka adalah santri yang akan ke Turki untuk menghapal Alquran dan pengambilan sanad,” kata salah satu guru SMA Islam NFBS, Andriono.

Ia mengatakan, saat ini para santri telah berada di pesantren untuk melanjutkan aktivitas menghafal Alquran. Suasana pesantren saat ini cukup sepi karena santri lainnya tengah menikmati waktu liburan. Setelah melalui masa karantina ini, mereka akan berangkat ke Turki bersama-sama.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Terinspirasi Sahabat Penghafal Alquran

Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Quran Internasional, Ustaz Yusuf Mansur mengungkapkan, ketika Program Pembibitan Penghafal Alquran (PPPA) diluncurkan, lembaganya mengaudisi 70 calon santri. Kenapa hanya 70 calon santri?

”Terinspirasi dari perang di zaman sahabat, diantaranya Perang Uhud yang menyebabkan banyak sahabat penghafal Alquran gugur. Ada sekitar 70 penghafal Alquran yang meningal dunia dalam Perang Uhud?” kata Ustaz Yusuf Mansur menerangkan.

Selain terinspirasi dari Perang Uhud, Ustaz Yusuf Mansur menjelaskan alasan PPPA hanya mengaudisi 70 calon penghafal Alquran, supaya mudah menyebutnya. ”Kita mulai mengaudisi tahun 2006. Alhamdulillah terjaring sekitar 52 orang.”

Jumlah santri tersebut, kata dia, di luar santri yang dididik di rumah. Santri yang dididik di rumah dikembangkan dengan sistem salaf(tradisional).

Sampai tahun 2006 dikembangkan salaf, kemudian Allah SWT mempercepat usahanya. ”Target kami sebenarnya tahun 2010 mengembangkan konsep internasional boarding school,” ujarnya.

Perkenalan Ustaz Yusuf Mansur dengan keluarga besar sebuah teve swasta, mewujudkan Pondok Pesantren Daarul Quran Ketapang lebih cepat dari waktu yang direncanakan.

Kemudian Bulak Santri dikembalikan menjadi pesantren percontohan. Sedang Pesantren Daarul Quran di Ketapang menjadi head quarter dari seluruh Daarul Quran.

Daarul Quran tahun 2006 dikembangkan menjadi Daarul Quran Nusantara (DQN). Waktu itu, Ustaz YM, begitu ia akrab disapa, melihat banyak donatur berasal dari Lumajang, Wonogiri, Semarang, bahkan dari Papua, Sulawesi, Kalimantan.

Makanya ia berinisiatif mengembalikan PPPA yang didapat dari teman-teman di daerah ke daerah masing-masing sehingga bergulirlah konsep Daarul Quran Nusantara (DQN).

Orang Jawa Timur mau bersedekah, mereka bikin DQN di Surabaya. Orang Jawa Tengah mau bersedekah, mereka bikin di Semarang. Begitu pun orang Kalimantan mau bersedekah, maka dibuatkan di Banjarmasin.

”Daarul Quran yang sifatnya PPPA digratiskan. Kalau yang di Jakarta, kita jadikan sekolah subsidi silang. Yang di head quarter kita jadikan sekolah unggulan dengan aneka fasilitas,” jelasnya.

Hafiz Musa Dilahirkan Saat Sang Ibu Pulang dari Majelis Taklim

Ayah Musa, La Ode Abu Hanafi, mengatakan istrinya sangat berperan besara dalam membentuk Musa sebagai penghafal Alquran. Sang istri tak pernah lelah mendidik anak pertama mereka itu.

Peran ibu ternyata sangat besar dalam membentuk Musa sebagai penghafal Alquran dan Hadis. Sang ibu sangat bersemangat untuk menjadikan bocah berumur enam tahun itu sebagai hafiz, mendampingi suaminya, La Ode Abu Hanafi.

“Sejauh mana peran istri, ini yang saya bilang keutamaan istri solehah. Istri di rumah ngajar Musa, Musa belajar dari istri saya hafalan hadis,” kata ayah Musa, Hanafi, di Jakarta, Sabtu kemarin.

Menurut Hanafi, setiap hari sang istri tak pernah melewatkan waktu untuk mengajar Musa. Padahal, pekerjaan rumah tangga lainnya yang juga berat tetap dijalani sang bunda.

“Bagaimana dengan pekerjaan rumah, dia sekarang nuggu anak keempat. Itu suah hamil besar nyetrika baju, pergi ke majelis taklim tidak pernah luput,” ujar dia.

Hanafi mengakui peran istrinya sangatlah besar dalam membentuk Musa sebagai penghafal Alquran. Tak hanya saat ini saja, sang istri sudah mengajar Musa dengan ilmu agama semenjak anak pertamanya itu masih berada di dalam kandungan.

“Istri saya mengajar Musa tidak pernah luput. Bahkan lahirnya Musa itu sepulang dari majelis taklim. Itu saking semangatnya istri saya mengajar Musa,” ujar Hanafi.

Musa adalah salah satu hafiz yang mampu menghafal Alquran dalam usia yang masih kecil. Bocah Bangka Besar, Bangka Belitung, ini sudah hafal 30 juz saat berusia lima tahun sebelas bulan.

Prestasi ini menarik perhatian Kementerian Agama dan Kedutaan Besar Arab Saudi. Sehingga Musa diikutkan dalam lomba hafiz cilik tingkat internasional di Jeddah. Sebagai peserta paling muda, Musa menempati peringkat 12 dari 25 peserta dari berbagai negara.

 

sumber: Dream