Pentingnya Memahami Skala Prioritas dalam Beramal

Dalam beramal dan melaksanakan perintah Allah Ta’ala, setiap muslim dituntut untuk melaksanakannya secara proporsional dan adil sesuai dengan skala prioritas yang ada. Artinya, ketika Allah Ta’ala memerintahkan suatu amalan yang tingkat hukumnya berbeda, maka setiap muslim semestinya lebih mendahulukan amalan yang posisi hukumnya paling tinggi. Inilah gambaran praktis soal fikih prioritas. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Fiqh Al-Aulawiyyaat.

Banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang perbedaan hukum setiap amalan dan tingkatannya. Pada akhirnya, kita dituntut untuk mencari dan mengetahui mana yang paling utama dari amalan-amalan tersebut dan bisa menghindari keburukan yang paling buruk saat dihadapkan pada situasi yang sama-sama buruk.

Allah Ta’ala berfirman,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (QS. At-Taubah: 19).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

الإيمان بضعٌ وسبعون – أو بضع وستون – شعبة، فأفضلها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان

“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan laa ilaaha illallah, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu termasuk bagian dari iman” (HR. Muslim no. 35).

Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, Islam mengajarkan bahwa amalan-amalan itu tidaklah dalam satu tingkatan yang sama, namun ia memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat. Sehingga seorang muslim dituntut untuk lebih bijak dan cerdas dalam memilih amalan mana yang harus ia utamakan.

Tidak cukup sampai disitu, pada keadaan sebaliknya Islam juga telah meletakkan takaran-takaran di dalam perbuatan buruk. Sebagaimana Allah Ta’ala telah jelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa dosa itu berbeda antara yang besar dan kecil. Suatu perbuatan berbeda pula antara yang diharamkan dan dimakruhkan, dan bahkan terkadang dijelaskan juga kedudukan antara suatu amalan buruk dengan amalan lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

شرار أمتي الثرثارون، المتشدقون، المتفيهقون، وخيار أمتي أحاسنهم أخلاقًا

“Sejelek-jelek umatku adalah yang banyak bicaranya dan pandai bersilat lidah. Sedangkan sebaik-baik umatku adalah orang yang paling baik akhlaknya” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1308, Ahmad no. 8822 dan Tirmidzi no. 2018).

Realita masa kini

Sayangnya pengetahuan tentang kedudukan suatu perbuatan seringkali terlewat dan tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat kita. Oleh sebab itu, ketika kita melihat kembali kasus-kasus yang terjadi, akan kita dapati banyak sekali masyarakat muslim kita memiliki pengetahuan tentang Islam, terutama fikih prioritas ini yang sangat rendah. Hal ini juga dapat menimpa sebagian orang saleh.

Kita lihat sebagian dari kaum muslimin lebih perhatian untuk membangun masjid di suatu daerah walaupun di tempat tersebut sudah banyak masjid. Di sisi lain, mereka kurang perhatian dalam mengembangkan yayasan pendidikan Islam yang akan mengajarkan kebaikan dan menunjukkan kepada jalan kebenaran. Sungguh ini cara berpikir yang salah di dalam memahami skala prioritas saat beramal.

Kita lihat bagaimana perlakuan seseorang kepada orang tuanya. Seringkali mereka berperilaku kasar terhadap bapak dan ibunya, padahal dengan saudara kandungnya mereka berperilaku lemah lembut. Mereka beralasan bahwa kedua orang tuanya itu ahli maksiat dan orang yang melenceng dari agama. Mereka lupa bahwa Allah Ta’ala memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya walaupun keduanya masih dalam keadaan musyrik dan selalu mengajak anaknya kepada kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ * وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS. Luqman: 14-15).

Belum lagi sebagian dari mereka yang sangat perhatian terhadap amal ibadah yang sifatnya pribadi, namun di waktu yang sama ia luput dan lalai dari ibadah yang sifatnya sosial yang manfaatnya itu lebih luas. Misalnya, seperti tolong menolong dalam kebaikan, mengingatkan orang lain dalam kesabaran dan kasih sayang, menegakkan keadilan, berdiskusi dengan orang lain serta memperhatikan hak-hak manusia lainnya terutama mereka yang lemah dan tidak mampu.

Oleh karena itu, setelah mengetahui pentingnya skala prioritas dalam beramal, seorang muslim yang cerdas tentu harus belajar kembali perihal kedudukan dan derajat suatu amalan. Perlu memahami amalan apa yang harus didahulukan dari amalan lainnya sehingga seluruh kehidupannya sejalan dengan apa yang telah ditunjukkan oleh syariat Islam.

Beberapa contoh kaidah terkait fikih prioritas

Pertama, Islam lebih memprioritaskan kualitas dibandingkan kuantitas

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه

“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional” (HR. Thabrani no. 891 dan Baihaqi no. 334).

Hal ini juga terbukti di peperangan Badar. Walaupun jumlah kaum muslimin sedikit, namun Allah Ta’ala memenangkan mereka karena kuatnya mereka dalam kebenaran. Pada peperangan Hunain hampir saja kaum muslimin mengalami kekalahan, karena mereka mengira bahwa kemenangan bisa mereka raih karena jumlah mereka yang banyak.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang muslim itu lebih perhatian terhadap kualitas ketimbang banyaknya jumlah. Misalnya, dua rakaat yang ia kerjakan dengan khusyuk dan serius itu tentu lebih utama daripada salat dua puluh rakaat dengan cepat dan tanpa rasa khusyuk.

Kedua, ilmu lebih utama dan diprioritaskan dibandingkan amal

Sahabat Umar bin al-Khottob Radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَا يَبِعْ فِي سُوقِنَا إِلَّا مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ

“Janganlah berjualan di pasar kami orang yang belum paham tentang ilmu agama” (HR. At-Tirmidzi no. 487).

Umar bin Abdil Aziz Rahimahullah juga berkata,

مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِح

“Barang siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka ia lebih banyak merusak dibandingkan memperbaiki” (Majmu’ Fataawa Ibnu Taimiyyah, 2: 383).

Ketiga, amalan sedikit namun konsisten lebih utama dari amalan yang banyak tapi jarang dilakukan

Rasulullah Shallallahu alaihi ‘wasallam bersabda,

أحب الأعمال إلى الله: أدومها وإن قل

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit” (HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783).

‘Amr bin Mas’adah Rahimahullah berkata,

قليل دائم خير من كثير منقطع

“Sedikit yang terus menerus lebih baik daripada banyak yang terputus”. (Wafatatul A’yan di biografi ‘Amr bin Mas’adah).

Oleh karena itu, salat malam setiap hari walau hanya dua rakaat lebih baik dari salat semalam suntuk namun pada akhirnya ia tidak salat lagi.

Keempat, hak-hak jamaah (kelompok) lebih didahulukan daripada hak-hak perseorangan

Maslahat yang bersifat umum lebih didahulukan dari maslahat yang sifatnya khusus. Kepentingan untuk masyarakat luas lebih didahulukan dari kepentingan pribadi ketika keduanya bertabrakan, dengan syarat tidak sampai menyi-nyiakan kepentingan pribadi.

Itulah beberapa contoh kaidah fikih prioritas yang paling penting untuk kita amalkan. Kita aplikasikan saat berkumpulnya kebaikan-kebaikan dan kita harus memilih. Bagi seorang dai tentu dia adalah orang yang dituntut pertama kali mengamalkannya karena hal tersebut merupakan makna dari berdakwah dengan hikmah. Tujuannya agar tercipta kebaikan dan perbaikan di masyarakatnya dan sebagai sebab ia lebih mudah diterima oleh masyarakatnya.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris

Referensi:

Artikel Fikhul Aulawiyyat Fii Hayati Al-Fardi Wa Al-Mujtama’ karya Dr. Muhammad Nur Hamdan.

Fikhul Aulawiyyat: Ta’riifuhu Wa Adillatuhu karya Dr. Asyraf Abdurrahman

Sumber: https://muslim.or.id/73424-pentingnya-memahami-skala-prioritas-dalam-beramal.html