Fatwa Qardhawi: Alasan Poligami Rasulullah SAW (1)

Yusuf Qardhawi menjelaskan mengapa nabi Nabi Muhammad poligami

Sering menjadi pertanyaan di tengah-tengah masyarakat, mengapa Rasulullah SAW beristeri sampai sembilan orang? Sementara kaum Muslim diharamkan kawin lebih dari empat orang. 

Seperti kita ketahui bahwa kaum orientalis sering menyerang Islam dengan masalah poligami Rasul ini.

Syekh Yusuf Qardhawi dalam kumpulan fatwanya menguraikan bahwa pada masa pra Islam, belum ada ketentuan mengenai jumlah wanita yang boleh dikawin. Belum ada batas, patokan, ikatan, dan syarat. Jadi, seorang laki-laki boleh saja kawin dengan sekehendak hatinya.

Hal ini memang berlaku pada bangsa-bangsa terdahulu, sehingga diriwayatkan dalam Perjanjian Lama bahwa Daud mempunyai 100 orang istri dan Sulaiman mempunyai 700 orang istri serta tiga 300 orang gundik.

Ketika Islam datang, dibatalkanlah perkawinan yang lebih dari empat orang. Apabila ada orang yang masuk Islam sedang dia mempunyai istri lebih dari empat orang, maka Nabi SAW menyuruhnya untuk menceraikan istri-istri mereka hingga yang tersisa hanya empat orang saja.

Jadi, jumlah istri maksimal empat orang, tidak boleh lebih. Dan syarat yang harus dipenuhi dalam poligami ini ialah bersikap adil terhadap istri-istrinya. Kalau tidak dapat berlaku adil, cukuplah seorang istri saja.

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “… kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.” (QS. An-Nisa’: 3).

Demikianlah aturan yang dibawa oleh Islam. Namun, Allah Azza wa Jalla mengkhususkan untuk Nabi SAW dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada kaum mukmin lainnya, yaitu beliau diperbolehkan melanjutkan hubungan perkawinan dengan istri-istri yang telah beliau kawini dan tidak mewajibkan beliau menceraikan mereka, tidak boleh menukar mereka, tidak boleh menambah, dan tidak mengganti seorang pun dengan orang lain.

Sebagaimana Firman Allah SWT, “Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu, kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki….” (QS. Al Ahzab: 52).

Rahasia semua itu ialah bahwa istri-istri Nabi SAW mempunyai kedudukan khusus dan istimewa yang oleh Alquran dikatakan sebagai “ibu-ibu kaum Mukmin” secara keseluruhan.

Allah berfirman, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (QS. Al-Ahzab: 6).

KHAZANAH REPUBLIKA

Lima Fakta Poligami Rasulullah SAW yang Perlu Kamu Ketahui

Apa saja sih fakta poligami Nabi ini?

Para orientalis dan misionaris seringkali menyerang umat Islam melalui perkara poligami Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW memang diberikan pengkhususan mengenai poligami. Namun perlu diketahui, bahwa beliau berpoligami bukan karena “hawa nafsu”, beberapa pernikahan Nabi justru merupakan wahyu dari Allah, selain itu pernikahan Nabi juga mengandung hikmah yang luar biasa.

Berikut lima fakta poligami Rasulullah yang perlu kamu ketahui:

Rasulullah baru berpoligami setelah Khadijah wafat

Semasa hidup Khadijah, Rasulullah SAW tidak pernah menduakan Khadijah dan tidak menikahi perempuan lain selainnya. Usai Khadijah wafat, Rasulullah SAW tidak langsung menikah lagi, beliau sempat menduda selama setahun.

Rasulullah SAW sangat sedih atas kematian Khadijah, posisi Khadijah di hatinya belum juga dapat tergantikan. Orang-orang mulai membicarakan kesendirian Nabi, mereka berharap beliau mau menikah lagi, agar ada sosok istri yang menjadi pelipur lara, menemani beliau, serta membantu beliau mengurus anak-anaknya.

Hingga akhirnya datanglah Khaulah binti Hakim mendatangi Nabi, ia membujuk Nabi agar mau menikah lagi, maka Khaulah menawarkan Aisyah binti Abu Bakr, beliau pun setuju. Beliau pun mengkhitbah Aisyah namun belum menggaulinya.

Namun Khaulah kembali bertanya-tanya “Jika Rasulullah SAW tidak langsung berumah tangga dengan Aisyah, lalu siapakah yang akan menemaninya?” Maka Khaulah kembali menawarkan agar Nabi menikahi Saudah. Khaulah pula lah yang menyampaikan lamaran Nabi kepada Saudah. Perlu diketahui bahwa Saudah merupakan seorang janda yang tak lagi belia. Ketika dinikahi Nabi, Saudah berusia 55 tahun.

Masa monogami Nabi lebih lama dari masa poligami

Rasulullah SAW baru berpoligami di usianya yang ke 51 tahun. Jika kita hitung, masa monogami beliau justru lebih lama dari masa poligami. Rasulullah SAW pertama kali menikah saat berusia 25 tahun. Beliau membangun rumah tangga dengan Khadijah selama 25 tahun dan selama itu pula beliau bermonogami.

Nabi berpoligami tidak di usia muda. Kalaulah benar anggapan bahwa Nabi berpoligami karena hawa nafsu belaka, tentu saja beliau akan berpoligami di masa muda, masa saat kondisi fisik begitu bugar dan prima.

Semua perempuan yang dinikahi Rasulullah janda, kecuali Aisyah

Semua perempuan yang dinikahi Rasulullah SAW merupakan janda, hanya Aisyah saja yang dinikahi dalam keadaan perawan. Janda-janda yang dinikahi Nabi pun tak lagi berusia muda. Beberapa dari mereka bahkan telah memiliki anak-anak dari suami yang terdahulu.

Mempererat hubungan antar kabilah

Dari masa ke masa, pernikahan dipercaya dapat merekatkan hubungan antar suku. Begitu pula yang terjadi pada pernikahan Rasulullah SAW. Misalnya coba kita ingat-ingat kisah pernikahan Nabi SAW dengan Shafiyah binti Huyay, seorang putri Yahudi yang akhirnya memeluk Islam. Ayah Shafiyah berasal dari kabilah Bani Nadhir, sedangkan ibundanya dari Bani Quraidzah. Padahal Bani Quraidzah merupakan suku Yahudi yang pernah mengkhianati umat Islam.

Selain Shafiyah, ada pula Juwairiyah binti al-Harits, seorang putri dari kepala suku Bani Musthaliq. Juwairiyah menjadi tawanan pada perang Bani Musthaliq. Ia pun menghadap Nabi, meminta agar beliau bersedia membebaskannya apabila ia membayar (mukaatabah).

Ternyata Rasulullah SAW justru membebaskan Juwairiyah dan menikahinya. Karena pernikahannya, maka semua tawanan akhirnya dibebaskan dan kaum Bani Musthaliq berbondong-bondong masuk Islam.

Begitu pula dengan istri-istri Nabi lainnya, masing-masing memiliki hikmah tersendiri di balik pernikahan mereka dengan Nabi SAW.

Memudahkan dakwah Nabi

Keluarga perempuan Rasulullah SAW memiliki kontribusi besar dalam penyebaran ilmu-ilmu syar’i, terutama hadis-hadis Nabi SAW. Dalam penelitian yang penulis lakukan di Darus-Sunnah, mayoritas perawi perempuan yang meriwayatkan hadis-hadis perempuan dalam kitab as-sunan al-arba’ah merupakan kerabat Nabi, terutama istri-istri beliau SAW.

Para sahabat perempuan tentu saja tidak memiliki kesempatan menemani Nabi sebagaimana sahabat laki-laki seperti Abu Bakr dan Umar. Namun berbeda dengan istri-istri Nabi, mereka memiliki waktu dan kedekatan khusus dengan Rasulullah SAW. Bagi mereka, Rasulullah SAW bukan hanya seorang nabi, tapi juga seorang suami yang menyayangi, melindungi, dan memberi nafkah lahir batin.

Maka tak heran bila istri-istri Nabi merupakan orang yang paling mengerti sisi kehidupan Nabi di ranah domestik, bahkan hingga ke hubungan intim seperti mandi bersama. Melalui istri-istri Nabi, ilmu-ilmu syar’i tersebar. Bahkan para sahabat laki-laki juga sering bertanya dan belajar kepada para istri Nabi.

Dua istri Nabi, Aisyah dan Ummu Salamah seringkali membuka majelis ilmu. Selain itu, Zainab, Shafiyyah, Maimunah, Hafshah dan lainnya juga turut meriwayatkan hadis. Dengan adanya ikatan pernikahan, Nabi SAW lebih leluasa mengajari para perempuan berbagai ilmu-ilmu agama.

ISLAMco