Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 8)

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 7)

Shalat tahiyyatul Masjid Ketika Muadzin Sedang Adzan Sebelum Khutbah Jum’at Dimulai

Jika seseorang masuk masjid di hari Jum’at, dan muadzin sedang mengumandangkan adzan, apakah yang dituntunkan itu langsung shalat tahiyyatul masjid ketika muadzin adzan, atau menjawab adzan terlebih dahulu baru shalat tahiyyatul masjid?

Dalam masalah ini, yang lebih tepat adalah seseorang langsung shalat tahiyyatul masjid ketika muadzin mengumandangkan adzan. Hal ini karena mendengarkan khutbah itu adalah kewajiban yang lebih ditekankan di hari Jum’at. Jika dia langsung shalat tahiyyatul masjid tanpa menunggu muadzin selesai adzan, dia bisa langsung mendengarkan khutbah sejak awal. Berbeda halnya jika dia shalat tahiyyatul masjid setelah muadzin mengumandangkan adzan dalam rangka menjawab adzan terlebih dahulu. 

Hal ini juga didasari bahwa pendapat yang lebih kuat dalam masalah menjawab adzan adalah bahwa hukumnya sunnah, tidak sampai derajat derajat wajib. Ini adalah pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dinukil dari Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah [1]Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa menjawab adzan hukumnya wajib, berdasarkan makna yang lebih dekat dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

“Jika Engkau mendengar muadzin, maka ucapkanlah semisal yang diucapkan oleh muadzin.” (HR. Bukhari no. 611 dan Muslim no. 383)

Penjelasan Berdasar Kaidah Ushul Fiqh

Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqh, hukum asal perintah adalah wajib, sampai ada dalil lain yang memalingkannya dari hukum wajib. Dan di antara dalil yang memalingkan dari hukum wajib adalah perkataan beliau kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu dan teman-temannya, ketika mereka datang selama dua puluh hari untuk mempelajari Islam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata sebelum mereka pulang,

فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“Jika waktu shalat sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi imam adalah yang paling tua di antara kalian.” (HR. Bukhari no. 631 dan Muslim no. 674)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas itu diucapkan ketika beliau mengajar (ta’lim), sehingga menjadi kewajiban beliau untuk menjelaskan semua yang dibutuhkan oleh Malik bin Huwairits dan rombongannya yang sedang “nyantri” selama dua puluh hari. Mereka tidak memiliki ilmu tentang perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah menjawab adzan (jika hukumnya wajib). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan penjelasan tentang menjawab adzan, maka diketahui bahwa hukum menjawab adzan tidaklah wajib. 

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dari Tsa’labah bin Abi Malik Al-Quradhi radhiyallahu ‘anhu. Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa ketika mereka di jaman ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, mereka mendirikan shalat Jum’at. Ketika ‘Umar datang dan naik mimbar, muadzin mengumandangkan adzan. Tsa’labah mengatakan,

وَجَلَسْنَا نَتَحَدَّثُ. فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ ، وَقَامَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَخْطُبُ، أَنْصَتْنَا، فَلَمْ يَتَكَلَّمْ مِنَّا أَحَدٌ

“Kami pun duduk sambil bercakap-cakap. Ketika muadzin diam (selesai adzan) dan ‘Umar berdiri memulai khutbah, kami pun diam. Tidak ada satu pun yang berbicara.” (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ 1: 103) [2]

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, 

وجوز الكلام حال الاذان

“(Di dalam riwayat ini terdapat faidah tentang) bolehnya berbicara ketika mendengar adzan.” (Al-Majmu’, 4: 550 [Asy-Syamilah])

Penjelasan Berdasar Pendapat Jumhur Ulama

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwa hukum menjawab adzan itu sunnah, tidak sampai derajat wajib. Sehingga kesimpulan ini menjadi landasan atas masalah yang sedang kita bahas, yaitu agar seseorang langsung shalat tahiyyatul masjid meskipun muadzin sedang mengumandangkan adzan. Tujuannya adalah agar seseorang tidak terlewat dalam mendengarkan khutbah yang hukumnya wajib.  Hal ini pun sesuai dengan kaidah dalam ilmu ushul fiqh bahwa jika ibadah wajib dan ibadah sunnah itu bertabrakan di satu waktu yang sama, maka yang didahulukan adalah ibadah wajib. 

Kalaupun kita menguatkan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa menjawab adzan hukumnya wajib, maka kewajiban mendengarkan khutbah itu lebih ditekankan daripada kewajiban menjawab adzan. Dalilnya adalah larangan untuk berbicara dan wajib diam ketika khutbah [3]. Sedangkan tidak ada larangan untuk berbicara ketika mendengar adzan. Jika shalat tahiyyatul masjid tetap disyariatkan ketika khatib sedang berkhutbah, maka demikian pula ketika muadzin sedang mengumandangkan adzan. 

Hal ini berdasarkan hadits yang telah kami sebelumnya, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

“Shalatlah dua raka’at secara ringkas.” (HR. Muslim no. 875)

Dahulukan Menjawab Adzan Di Selain Shalat Jum’at

Adapun di selain shalat Jum’at, maka yang dituntunkan adalah menjawab adzan terlebih dahulu, baru setelah itu mendirikan shalat tahiyyatul masjid. Sehingga terkumpullah dua keutamaan sekaligus, yaitu menjawab adzan dan shalat tahiyyatul masjid. Inilah dzahir perkataan Ibnu Qudamah rahimahullah,

وإن دخل المسجد فسمع المؤذن استحب له انتظاره ليفرغ ويقول مثل ما يقول جمعا بين الفضيلتين وإن لم يقل كقوله وافتتح الصلاة فلا بأس نص عليه أحمد

“Dan jika seseorang masuk masjid dan mendengar muadzin, dianjurkan untuk menunggu sampai selesai dan mengucapkan semisal yang diucapkan oleh muadzin, dalam rangka mengumpulkan dua keutamaan sekaligus. Jika dia tidak menjawab adzan, dan memulai shalat (tahiyyatul masjid), hal itu tidaklah mengapa, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ahmad.” (Al-Mughni, 1: 474 [Asy-Syamilah])

Kesimpulan

Kesimpulan dalam masalah ini, jika seseorang masuk masjid dalam kondisi muadzin sedang mengumandangkan adzan, maka terdapat dua rincian.

Pertama, adzan di shalat Jum’at. Dalam keadaan ini, jamaah langsung shalat tahiyyatul masjid agar bisa mendengarkan khutbah.

Ke dua, adzan di selain shalat Jum’at. Dalam keadaan ini, jamaah dituntunkan untuk menjawab adzan terlebih dahulu, lalu shalat tahiyyatul masjid (atau shalat sunnah rawatib) setelah adzan selesai. Wallahu Ta’ala a’lam. [4]

Demikianlah pembahasan beberapa hukum fiqh terkait shalat tahiyyatul masjid, semoga bisa dipahami dan bisa diamalkan.

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 11 Muharram 1441/11 September 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51495-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-8.html

Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya: Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 3)

Sedang shalat tahiyyatul masjid, lalu terdengar iqamah dikumandangkan

Shalat tahiyyatul masjid tidak disyariatkan jika seseorang masuk masjid ketika: (1) shalat jamaah (shalat wajib) sudah dimulai; (2) mu’adzin sudah mulai mengumandangkan iqamah; dan (3) shalat sudah akan dimulai (selesai iqamah dan sedang mengatur shaf). Dalam kondisi-kondisi tersebut, tidak disyariatkan shalat tahiyyatul masjid.

Hal ini berdasarkan makna umum dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ

“Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib.” (HR. Muslim no. 710)

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Hikmahnya adalah agar seseorang mencurahkan tenaganya untuk melaksanakan ibadah wajib sejak awal, sehingga dia memulai ibadah wajib segera setelah imam memulai (shalat). Dan menjaga kesempurnaan ibadah wajib itu lebih didahulukan daripada menyibukkan diri dalam ibadah sunnah.” (Syarh Shahih Muslim, 5: 230)

Ketentuan di atas berlaku umum untuk shalat sunnah apa saja, baik shalat tahiyyatul masjid yang sedang kita bahas, atau shalat sunnah rawatib (termasuk di dalamnya adalah shalat sunnah dua raka’at qabliyah subuh), dan shalat sunnah lainnya.

Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama adalah jika seseorang sedang melaksanakan shalat tahiyyatul masjid, atau sedang melaksanakan shalat rawatib, apakah dia harus membatalkan shalatnya ketika iqamah mulai dikumandangkan? Dalam masalah ini, para ulama berselisih menjadi tiga pendapat.

Pendapat pertama, dia harus membatalkannya.

Hal ini berdasarkan makna umum dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Dalam hadits tersebut dikatakan, “Jika iqamat telah dikumandangkan”; sehingga memiliki makna umum, baik ketika itu seseorang baru akan shalat sunnah atau sedang melaksanakan shalat sunnah.

Alasan lainnya adalah agar seseorang mendapati shalat jamaah sejak awal, yaitu bisa takbiratul ihram bersama imam, sebagaimana yang disampaikan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah di atas. Juga sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا

“Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 378 dan Muslim no. 411)

Hadits di atas menunjukkan bahwa takbiratul ihram makmum itu segera setelah takbiratul ihram imam, tidak membersamai imam, tidak pula mendahului imam. Hal ini lebih diperjelas lagi dalam riwayat Abu Dawud,

… وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ … وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ

“ … Janganlah kalian ruku’, sampai imam ruku’ … dan janganlah kalian sujud, sampai imam sujud … “ (HR. Abu Dawud no. 603, hadits shahih)

Pendapat ke dua, dia tidak boleh membatalkannya, bahkan harus menyempurnakannya sampai selesai (sampai salam).

Ulama yang memiliki pendapat ke dua ini berdalil dengan makna umum dari firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan janganlah kamu membatalkan amal-amal kalian.” (QS. Muhammad [47]: 33)

Argumentasi mereka, ayat tersebut melarang membatalkan amal secara mutlak tanpa ada rincian, sehingga termasuk dalam larangan ayat adalah membatalkan amal ibadah sunnah secara umum.

Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Makna yang lebih dekat dari ayat di atas di atas adalah larangan dari setiap sebab yang menyebabkan dibatalkannya amal, apa pun itu sebabnya, tanpa ada pengecualian dengan bentuk (kondisi) tertentu.” (Fathul Qadiir, 5: 41)

Adapun jawaban mereka untuk hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa hadits tersebut berlaku jika seseorang baru akan memulai shalat sunnah. Adapun jika seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah, maka wajib diselesaikan, tidak ada pilihan lain berdasarkan makna umum dari ayat di atas.

Pendapat ke tiga, memberikan rincian. Jika dia sudah mendapat satu raka’at (sekarang sedang berada di raka’at ke dua), maka tidak dibatalkan, akan tetapi diselesaikan dengan ringkas. Adapun jika dia baru di raka’at pertama, maka hendaknya dibatalkan.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

“Barangsiapa yang mendapat satu raka’at dari shalat, berarti dia telah mendapatkan shalat.” (HR. Bukhari no. 580 dan Muslim no. 607)

Jadi, siapa saja yang telah mendapatkan satu raka’at sebelum iqamah, dia telah mendapatkan satu raka’at yang selamat dari penghalang, yaitu iqamah. Dia telah mendapatkan shalat tersebut dengan mendapatkan satu raka’at pertama, sehingga dia pun menyelesaikannya secara ringkas. Adapun seseorang yang masih di raka’at pertama, meskipun di sujud ke dua, maka dia harus membatalkan shalatnya. Hal ini karena dalam kondisi ini, dia belum mendapatkan shalat tersebut. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4: 238)

Oleh karena itu, jika seseorang mendengar iqamah dikumandangkan, dan posisi dia sedang ruku’ di raka’at ke dua, atau sujud di raka’at ke dua, maka hendaknya dia meneruskan shalat tahiyyatul masjid sampai selesai secara ringkas.

Pendapat ke tiga inilah yang lebih kuat, karena menggabungkan dalil-dalil yang ada berkaitan dengan masalah ini. Wallahu Ta’ala a’alam.

Adapun sebagai jawaban atas surat Muhammad ayat ke-33 di atas, konteks ayat menunjukkan bahwa membatalkan amal yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah karena maksiat kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya (atau membatalkan amal tanpa alasan yang dibenarkan). Karena ayat tersebut berisi tentang perintah untuk taat kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya, serta larangan untuk bermaksiat yang menyebabkan dibatalkannya amal. Sedangkan membatakan amal ibadah shalat sunnah ketika iqamat dikumandangkan, bukanlah maksiat, bahkan ini adalah perkara yang diperintahkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ

“Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib.” (HR. Muslim no. 710)

Tatacara membatalkan shalat sunnah tersebut adalah langsung dibatalkan, tanpa salam, dan kemudian bergabung dengan jamaah shalat wajib. Karena salam itu disyariatkan jika shalat dikerjakan sampai selesai. Jika dibatalkan di tengah-tengah, tidak perlu salam. Diriwayatkan dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya (dari segala ucapan dan gerakan di luar shalat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya kembali adalah salam.” (HR. Abu Dawud no. 61, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275, hadits hasan shahih)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51122-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-4.html

Ringan Dikerjakan Tapi Sering Dianggap Sepele, Inilah Keutamaan Shalat Sunnah Tahiyatul Masjid

Ketika kita memasuki masjid sebelum melakukan shalat berjamaan, sangat dianjurkan untuk melakukan shalat sunnat tahiyatul masjid terlebih dahulu.

Shalat Tahiyatul Masjid merupakan shalat sunnah yang dilakukan sebanyak 2 rekaat saat seseorang masuk ke masjid sebelum melakukan shalat wajib.

 

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah radhiyallahu’anhu yang berbunyi:

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rekaat sebelum dia duduk,” (HR Bukhari dan Muslim)

Sebelum Anda melakukan shalat, mungkin anda juga perlu mengetahui apa saja keutamaan dari shalat Tahiyatul Masjid.

Inilah 10 keutamaan Shalat Tahiyatul Masjid:

1. Memuliakan Masjid

Karena masjid merupakan rumahnya Allah, sudah selayaknya orang-orang yang datang ke rumah-Nya memulyakan-Nya.

Adapun salah satu bentuk memulyakan masjid adalah dengan melakukan shalat tahiyatul masjid ketika kita memasuki masjid.

2. Sebagai penutup kekurangan shalat wajib

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat. Allah ‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, “Lihatlah pada shalat hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun jika dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah, Allah berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wajib dengan amalan sunnahnya.” Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad)

3. Sebagai penghapus dosa dan derajat ditinggikan.

 

Karena memperbanyak sujud bisa dilakukan dengan cara melakukan shalat sunnah dan salah satu shalat sunnah tersebut adalah shalat tahiyatul masjid.

4. Cermin ketaatan dan ketakwaan pada Allah

Melakukan shalat tahiyatul masjid dengan tekad yang bulat dan sungguh-sungguh hanya karena Allah merupakan cermin orang yang bertakwa.

5. Dapat menyelesaikan segala urusan

Menyelesaikan dalah segala urusan disini maksudnya dapat menyelesakan permasalahan yang membuat seseorang merasa resah dan bimbang dalam persoalan hidupnya.

Dengan melakukan shalat sunnah salah satunya shalat tahiyatul masjid dan serahkan segala urusannya kepada Sang Pencipta, maka Allah akan memberikan kecukupan dan memberi jalan keluar atas persoalan yang dialami.

6. Penyempurna shalat fardu

Maksudnya jika dalam melakukan shalat fardhu itu ada kekurangan atau kurang sempurna seperti lupa, ataupun sebagainya maka dapat disempurnakan dengan melakukan shalat tahiyatul masjid.

7. Rasa syukur seorang hamba

Melakukan shalat tahiyatul masjid juga merupakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas semua nikmat yang diberikan.

Seperti nikmat hidup, nikmat sehat dan rezeki yang melimpah.

8. Merupakan salah satu amal yang diutamakan

Shalat tahiyatul masjid merupakan salah satu amal yang diutamakan, seperti amalan shalat wajib dan sunnah lainnya.

9. Orang yang istimewa dihadapan Allah

Karena dengan rajin melakukan shalat sunnah ini, maka ia akan dijadikan wali Allah.

Ia termasuk orang yang beriman dan bertakwa.

10. Dianjurkan Rasulullah SAW

 

Shalat tahiyatul masjid merupakan salah satu shalat sunnah yang dianjurkan dan telah dicontohkan oleh Rasululah SAW.

Seperti sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah seseorang melalui (masuk) masjid, namun tidak melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya)

TRIBUNNEWS.com