Faedah Sirah Nabi: Pelajaran dari Persaudaraan Muhajirin dan Anshar

Apa saja pelajaran yang bisa diambil dari persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar?

Pertama:

Jumlah kaum Muhajirin yang datang dari Makkah menuju Madinah sangat banyak. Sementara mereka tidak membawa perbekalan yang mencukupi dan tidak mengetahui di mana akan bertempat tinggal. Bahkan, mereka meninggalkan keluarga dan harta mereka, datang ke tempat yang tidak dikenal sebelumnya dan tidak pernah sebelumnya mereka tinggal di sana. Hal ini pasti akan menimbulkan kesulitan terutama bagi orang-orang tua. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan solusi yang baik yakni dengan mempersaudarakan antara dua golongan tersebut atas nama ukhuwah Islamiyah, yang dilandasi dengan hati yang jujur, yang dapat mendekatkan mereka kepada Allah Ta’ala.

Kedua:

Diawali dengan mempersaudarakan antara kedua golongan tersebut menunjukkan tentang betapa pentingnya sebuah persaudaraan. Perlu diketahui bahwa nikmat yang terbesar bagi kaum muslimin adalah nikmat persaudaraan karena Allah. Hal itu tergambar dalam Alquran, Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103)

Pertama, ayat di atas menceritakan tentang nikmat persaudaraan. Kedua, nikmat diselamatkannya mereka dari jurang neraka. Barangkali jika dilihat, maka nikmat kedualah yang terpenting. Akan tetapi, kedua nikmat tersebut saling berkaitan dengan erat, yaitu nikmat persaudaraan dan iman adalah dua hal yang saling sejalan. Sebab, persaudaraan tanpa iman tidak akan bertahan lama. Sedangkan iman tanpa persaudaraan juga tidak akan memberikan kemaslahatan. Bukankah Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Jadi, bagaimana mungkin iman akan tegak tanpa ada persaudaraan? Persaudaraan karena Allah merupakan nikmat yang sangat besar.

Hasan Al-Bashri menyebutkan,

إِخْوَانُنَا أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْ أَهْلِنَا وَأَوْلاَدِنَا، لِأَنَّ أَهْلَنَا يُذَكِّرُوْنَنَا بِالدُّنْيَا وَإِخْوَانُنَا يُذَكِّرُوْنَنَا بِالآخِرَةِ

“Saudara kami lebih kami cintai dari keluarga dan anak-anak kami. Sebab, keluarga akan mengingatkan kami pada dunia, sedangkan saudara kami mengingatkan pada akhirat.” (Imam Al-Ghazali menyebutkannya dalam Ihya’ ‘Ulum Ad-Diin).

Ketiga:

Diawali dengan mempersaudarakan, maka hal tersebut menunjukkan tentang keuniversalan Islam terhadap urusan agama dan dunia. Sebagaimana Islam mementingkan hubungan antara hamba dengan Rabbnya melalui pembangunan masjid, maka Islam juga mementingkan hubungan antara seseorang dengan muslim lainnya melalui persaudaraan.

Keempat:

Bersegeranya kaum Anshar untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka pun berlomba-lomba untuk membantu dan menjamu kaum Muhajirin yang datang kepada mereka. Hal ini sangat berbeda dengan umat zaman kita sekarang yang lebih suka mementingkan diri sendiri, egois, dan individualistis yang berlebihan, yang selalu bersembunyi, dan tidak mau membantu jika ia mengetahui bahwa seseorang datang kepadanya untuk meminta bantuan.

Kelima:

Tujuan dari pesaudaraan tersebut adalah seperti yang disebutkan oleh Suhaili, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan sahabat-sahabatnya ketika mereka tiba di Madinah supaya mereka tidak merasa asing, dan untuk menghilangkan rasa kesedihan karena telah meninggalkan keluarga sehingga mereka bisa saling membantu.

Keenam:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka, supaya orang Anshar dapat memberi kepada orang Muhajirin meskipun sedikit. Namun, kaum Anshar tidak puas jika hanya sekadar memberi, bahkan persaudaraan atas prinsip persamaan, yaitu mereka memberikan separuh dari apa yang mereka miliki. Seperti halnya kisah Sa’ad bin Rabi’ Al-Anshari dengan saudaranya ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, yang ia memberikan setengah dari hartanya dan menceraikan salah satu istrinya agar ‘Abdurrahman menikahinya. Bahkan, orang Anshar pun lebih mementingkan orang Muhajirin di atas kepentingan mereka sendiri, seperti firman Allah,

وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9). Yaitu mereka lebih mengutamakan saudaranya, kaum Muhajirin daripada diri mereka sendiri berupa berbagai kebutuhan dunia, walaupun mereka sendiri adalah orang fakir dan juga membutuhkan. Inilah yang disebut itsar. Sikap mendahulukan orang lain adalah derajat tertinggi dalam prinsip kesetaraan. Orang Anshar telah membantu orang Muhajirin melebihi dari diri mereka sendiri terhadap keperluan dunia. Cukuplah ini sebagai bukti atas kebenaran cinta dan kuatnya iman mereka kepada Allah.

Bagaimana kita bisa melakukan itsar (mementingkan orang lain dari diri sendiri)?

  • Memperhatikan kewajiban, anggap selalu kurang ketika melakukan yang wajib sehingga kehati-hatiannya ia mendahulukan orang lain walau ia pun butuh.
  • Meredam sifat pelit.
  • Semangat punya akhlak yang mulia karena itsar adalah tingkatan akhlak yang paling mulia. Sampai-sampai Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Diin menyatakan bahwa itsar adalah tingkatan dermawan (as-sakha’) yang paling tinggi. (Nudhrah An-Na’im fii Makarim Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim, 3:630, 639)

Faedah dari Itsar

  • Menunjukkan iman yang sempurna dan kebagusan Islam seseorang.
  • Ini adalah jalan mudah untuk menggapai ridha dan cinta Allah.
  • Akan timbul rasa cinta dan sayang antar sesama manusia.
  • Menunjukkan begitu dermawannya seseorang karena sampai ia butuh pun dikorbankan.
  • Punya sifat husnuzhan yang tinggi kepada Allah.
  • Menunjukkan amalan yang baik di penghujungnya (husnul khatimah).
  • Menunjukkan seseorang memiliki semangat yang tinggi dan terjauhkan dari sifat tercela.
  • Itsar membuahkan keberkahan.
  • Itsar memudahkan seseorang masuk surga dan terbebas dari neraka.
  • Itsar mengantarkan kepada keberuntungan (falah) karena telah mengalahkan sifat pelit (syuhh).

Ketujuh:

Inti dari persaudaraan adalah untuk membentuk masyarakat yang baru, karena masyarakat yang baik tidak akan terbentuk dengan perpecahan, pertikaian, dan perselisihan. Akan tetapi, tegak dengan kuatnya persaudaraan, saling membantu, tolong menolong, dan bahu membahu. Apa yang dicontohkan oleh golongan Anshar kepada Muhajirin merupakan sebuah pertanda betapa pentingnya persaudaraan dalam kehidupan kita sehari-hari dan sudah semestinya masyarakat saat ini memiliki kepekaan social kepada saudara mereka, saling membantu, dan tolong menolong.

Kedelapan:

Pada persaudaraan antara orang Anshar dengan Muhajirin kita simpulkan bahwa Anshar mengutamakan saudara mereka melebihi diri mereka sendiri. Sementara orang Muhajirin merasa malu dan tidak berkeinginan terhadap harta mereka seperti dicontohkan oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu ketika ingin dibantu oleh Sa’ad bin Ar-Rabi’. Di antara sifat seorang muslim adalah:

  1. Ketika dalam keadaan berada, maka ia bersifat itsar (mendahulukan orang lain padahal dirinya sendiri butuh);
  2. Ketika dalam keadaan ketiadaan, maka ia bersifat ‘iffah (menjaga kehormatan diri).

Kesembilan:

Dengan persaudaraan akan memperlihatkan hakikat yang sesungguhnya dalam membangun masyarakat yang islami; yang kaya peduli terhadap yang fakir. Berbeda dengan masyarakat lain yang saling sikut menyikut, yang kuat memangsa yang lemah, bahkan yang kuat menunggu kesempatan yang baik untuk menyikat habis harta orang fakir, dengan perkataan lain senang di atas penderitaan orang lain.

Kesepuluh:

Ayat yang disebutkan di atas bukan untuk menghapus hukum mempersaudarakan antarsesama, tetapi yang dihapuskan, tetapi yang dihapuskan adalah hak untuk mewarisi dan dikembalikan atas dasar pertalian nasab. Alquran menjelaskan tentang kewajiban untuk saling tolong menolong atas kebenaran dan kebaikan, mengambil hak dari tangan orang-orang yang zalim, serta saling menasihati dan saling membantu. Seperti dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas,

إِلاَّ النَّصْرَ وَالرِّفَادَةَ وَالنَّصِيحَةَ ، وَقَدْ ذَهَبَ الْمِيرَاثُ وَيُوصِى لَهُ

Yang tetap diperbolehkan adalah saling menolong, saling memberi, saling menasihati, sedangkan saling mewariskan ditiadakan. Memberikan wasiat masih dibolehkan.” (HR. Bukhari, no. 2292)

Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (4:473) menyebutkan, “Persaudaraan di awal hijrah adalah persaudaraan yang mendapatkan hak untuk warisan, kemudian hak untuk saling mewarisi dihapuskan dan tinggallah kewajiban untuk saling tolong menolong atas kebenaran, kebaikan, dan mengambil hak dari tangan orang-orang yang zalim.”

Referensi:

  1. Fiqh As-Sirah. Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
  2. Nudhrah An-Na’im fi Makarim Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim. Dikumpulkan oleh para ahli dengan pembimbingan: Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid (Imam dan Khatib Al-Haram Al-Makki). Penerbit Dar Al-Wasilah. 3:629-640.

Diselesaikan di Darush Sholihin, 18 Rajab 1441 H (13 Maret 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23539-faedah-sirah-nabi-pelajaran-dari-persaudaraan-muhajirin-dan-anshar.html

Memberi dengan Harapan Mendapatkan Balasan Lebih

DALAM pelajaran sirah nabawiyah kali ini, kita kaji tafsir surah Al-Mudattsir yang merupakan wahyu kedua yang turun kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Allah Taala berfirman,

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.” (QS. Al-Mudattsir: 1-7)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam Diingatkan Jangan Ungkit-Ungkit Pemberian dan Ingin Mendapatkan yang Lebih Banyak

“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”, maksudnya kita dilarang mengungkit-ungkit pemberian yang telah diberikan kepada orang lain baik yang diberikan adalah nikmat diniyah maupun duniawiyah. Lantas dari pemberian itu ingin memperoleh yang lebih banyak. Yang kita lakukan adalah terus berbuat baik kepada orang lain sesuai dengan kemampuan kita. Adapun meminta balasan, hanyalah meminta kepada Allah.

Syaikh Musthafa Al-Adawi mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini di antaranya adalah janganlah memberi suatu pemberian lantas menginginkan ganti lebih banyak. Inilah yang dimaksud dengan riba seperti pada firman Allah,

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Ruum: 39). Lihat At-Tashil li Tawil At-Tanzil Tafsir Juzu Tabarak, hlm. 323.

INILAH MOZAIK

Kelahiran Nabi Muhammad hingga Menikah dengan Khadijah

Meskipun Kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sudah dibahas pada artikel sebelumnya, kita bahas sekilas di artikel Sirah Nabawiyah ini. Membahas masa kecil Nabi hingga pra kenabian, termasuk saat Rasulullah menikah dengan Khadijah. Semoga semakin menambah kecintaan kita kepada beliau.

Kelahiran Nabi Muhammad

Rasulullah Muhammad lahir pada Senin, 12 Rabiul Awal tahun Gajah. Bertepatan 20 April 571 M. Ayahnya adalah Abdullah dan ibunya adalah Aminah.

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الاِثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ

Rasulullah ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau bersabda: “Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim)

Beliau memiliki nasab yang mulia. Ayah dan kakek-kakek beliau adalah orang-orang terpandang. Bahkan para pemimpin Makkah.

إِنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

Sesungguhnya Allah memilih Kinanah di antara keturunan Ismail, dan memilih Quraisy di antara keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim di antara suku Quraisy. Dan Allah memilihku di antara Bani Hasyim. (HR. Muslim dan Ahmad)

Saat Rasulullah lahir, ada cahaya yang menyertainya. Sebagaimana ibunda Rasulullah, Aminah mengatakan, “Saat Muhammad lahir, ada cahaya yang keluar dari jalan lahirnya, menyinari istana-istana di Syam.”

Dalam riwayat Al Baihaqi, saat Rasulullah lahir, terjadi sejumlah peristiwa:

1. Runtuhnya 14 balkon istana Kisra
2. Padamnya api yang biasa disembah majusi
3. Runtuhnya gereja di Buhairah setelah ambles ke tanah

Ketika dikabari bahwa cucunya lahir, Abdul Muthalib sangat gembira. Ia kemudian membawa cucunya ke Ka’bah dan memberi nama Muhammad. Nama yang belum familiar di kalangan orang Arab karena belum ada yang memakainya.

Pada hari ketujuh, Rasulullah dikhitan oleh kakeknya. Inilah pendapat yang dikuatkan Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Sedangkan pendapat yang menyebutkan Rasulullah lahir dalam kondisi dikhitan tidak memiliki dalil yang kuat.

Selain disusui oleh ibunya sendiri, Rasulullah disusui oleh dua ibu susuan. Pertama, Tsuwaibah, budak Abu Lahab. Tsuwaibah juga menyusui Masruh, Hamzah dan Abu Salamah bin Abdul Asad Al Makhzumi. Sehingga mereka semua menjadi saudara sepersusuan Rasulullah.

Nabi Muhammad di Bani Sa’d

Wanita ketiga yang menyusui Rasulullah adalah Halimah binti Abu Dzu’aib. Darinya Rasulullah memiliki saudara sepersusuan: Abdullah bin Al Harits, Unaisah binti Al Harits, Hadzafah binti Al Harits, Abu Sufyan Al Harits bin Abdul Muthalib, dan Hamzah.

Halimah dan suaminya Al Harits bin Abdul Uzza datang ke Makkah dengan menaiki keledai betina putih. Mereka juga membawa unta tua yang tak bisa diambil air susunya, untuk mengangkut barang. Sepanjang malam ia tak bisa tidur karena bayinya kelaparan. Air susunya juga tidak lancar.

Semua menolak membawa Rasulullah karena yatim. Tapi Halimah tak punya pilihan. Semua temannya sudah dapat bayi. Akhirnya dibawalah Nabi Muhammad.

Keberkahan langsung terasa. Menggendong Nabi Muhammad bayi tidak terasa terbebani. Saat menyusuinya, ASI Halimah langsung lancar. Bayinya juga kenyang hingga tidur pulas. Keledainya menjadi kuat dan cepat hingga teman-temannya heran. Untanya mengeluarkan susu hingga dia dan suami kenyang meminumnya.

Setiba di Bani Sa’ad, tanah keluarga Halimah menjadi subur. Domba-dombanya pulang dengan kenyang dan air susunya penuh. Sampai-sampai warga Bani Sa’ad mengatakan, “Tirulah Halimah dengan melepaskan domba agar mencari rumput sendiri.” Namun domba mereka pulang dalam kondisi lapar, tidak seperti domba Halimah.

Dua tahun menyusui Muhammad, keluarga Halimah dipenuhi keberkahan. Saat waktunya mengembalikan ke pangkuan ibu, Halimah minta diperpanjang.

Nabi Muhammad di Bani Sa’ad sampai 4 atau 5 tahun. Hingga malaikat jibril membelah dadanya. Setelah itu, karena khawatir keselamatan Muhammad, ia pun dikembalikan ke ibundanya.

Ibunda Wafat, Diasuh Kakek

Pada usia 6 tahun, Nabi Muhammad diajak Aminah ke Yatsrib untuk ziarah makam ayahnya. Bersama pembantunya, Ummu Aiman, mereka tinggal di Yatsrib selama satu bulan. Dalam perjalanan pulang, Aminah meninggal di Abwa, antara Makkah dan Madinah.

Mendengar Aminah wafat, Abdul Muthalib menjemput Muhammad lalu diasuhnya. Ia sangat menyayangi beliau melebihi anak-anaknya, hingga dibolehkan duduk di dipannya dekat kabah. Pada saat Muhammad berusia 8 tahun, Abdul Muthalib wafat.

Diasuh Paman (Abu Thalib)

Sepeninggal Abdul Muthalib, Abu Thalib mengambil tanggung jawab mengasuh Rasulullah. Disayang melebihi anak-anaknya. Pada usia 12 tahun, diajak berdagang ke Syam hingga bertemu Buhaira.

“Dia pemimpin semesta alam. Akan diutus Allah jadi rahmat bagi seluruh alam,” kata Buhaira kepada Abu Thalib.

“Dari mana kau tahu?”

“Sejak kalian tiba di Aqabah, tak ada bau dan pohon melainkan tunduk bersujud. Sujud mereka hanya pada Nabi. Aku juga tahu cincin nubuwah di bawah tulang rawan bahunya menyerupai apel. Tertulis dalam kitab kami.”

Buhaira meminta Abu Thalib kembali ke Makkah. Agar orang-orang Yahudi tidak bertemu dengan Rasulullah dan berbuat jahat kepadanya.

Nabi Muhammad Menggembala Kambing

Semasa remaja, Rasulullah menggembalakan kambing di Bani Sa’ad bin Bakar dan Makkah. Meskipun imbalannya tidak seberapa dibanding fasilitas yang bisa didapatkan dari Abu Thalib. Namun dari situlah terlihat tanggung jawab Rasulullah, perannya sebagai Nabi telah disiapkan Allah.

Di saat itu pula, Allah mentarbiyah Rasulullah untuk tidak memiliki keinginan sebagaimana anak-anak sebaya pada umumnya. Dan Allah menyelamatkannya dari dua hiburan yang ingin ditontonnya.

Suatu hari, Rasulullah mendengar kabar bahwa di Makkah akan ada pertunjukan musik.

“Tolong jaga kambing-kambingku, aku ingin melihat hiburan seperti anak-anak pada umumnya,” demikian kata Rasulullah kepada temannya sore itu.

Sesampainya di Makkah, ketika mendekati lokasi pertunjukan, Rasulullah mengantuk dan tertidur hingga pagi. Ketika bangun, pertunjukan sudah selesai.

Di hari yang lain, Rasulullah kembali menitipkan kambing gembalaan ke temannya. Namun kembali terulang, sebelum sempat melihat, beliau tertidur. Rupanya Allah menyelamatkan Rasul-Nya dengan membuatnya mengantuk dan tertidur.

Setelah dua kali mengalami hal itu, Rasulullah tak pernah lagi punya keinginan untuk melihat pertunjukan musik. Allah menjaga beliau sejak kecil.  

Perang Fijar dan Hilful Fudul

Pada usia 15 tahun, beliau ikut perang Fijar. Beliau bertugas mengumpulkan anak panah untuk diberikan kepada Abu Thalib.

Pasca Perang Fijar, terjadi perjanjian pada bulan Dzulqa’dah yang dinamakan Hilful Fudul. Orang-orang Quraisy sepakat untuk tidak membiarkan orang dizalimi di Makkah.

“Aku telah menghadiri perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an yang lebih aku sukai daripada memiliki unta merah. Andai di masa Islam aku diundang untuk menghadirinya, niscaya aku akan memenuhinya.”

Berdagang ke Syam

Pada usia 25 tahun, beliau berdagang ke Syam dengan modal dari Khadijah. Maysarah, pembantu Khadijah yang menemaninya, begitu kagum dengan kejujuran, amanah dan akhlak Muhammad. Kepiawaian bisnis beliau juga membawa keuntungan besar bagi Khadijah.

Menikah dengan Khadijah

Saat mengetahui kejujuran dan kemuliaannya, Khadijah meminta Nafisah binti Munayyah menanyakan kepada Muhammad apakah mau menikah dengan Khadijah. Rasulullah pun menikah dengan Khadijah dengan mahar 20 ekor unta muda. Pernikahan itu terjadi dua bulan sepulang dari Syam. Usia Rasulullah saat itu 25 tahun, sedangkan Khadijah 40 tahun.

Dari pernikahan itu lahir putra-putri beliau: Al Qasim, Abdullah (Ath Tahyyib, Ath Thahir), Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah.

Al Amin dan Renovasi Ka’bah

Rasulullah mendapat gelar al amin dari masyarakat Quraiys karena kejujurannya. Karenanya ketika ada renovasi Ka’bah saat usia beliau 35 tahun, tokoh-tokoh Quraisy sangat senang mendapatkan hakim Muhammad.

Hampir saja mereka berperang karena memperebutkan siapa yang pantas meletakkan hajar aswad. Lantas dipilih orang pertama yang masuk Masjidil Haram dan itu tidak lain adalah Rasulullah.

Beliau kemudian memberikan keputusan yang memuaskan seluruh pihak. Yakni hajar aswad diletakkan di atas kain. Semua pemimpin kabilah memegang kain itu dan mengangkatnya, mendekatkan ke ka’bah. Setelah dekat, Rasulullah meletakkan hajar aswad ke tempatnya.

Demikian Sirah Nabawiyah bab kelahiran Rasulullah hingga menikah dengan khadijah dan sebelum diangkat menjadi Nabi. Singkat, namun semoga mewakili peristiwa-peristiwa penting yang perlu kita ketahui dari kehidupan beliau. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]