Jangan Sombong

SAHABAT yang baik, lawan dari tawadhu adalah takabur atau sombong. Ini adalah sifat yang sangat berbahaya. Sesuai hadits Rasulullah SAW bahwa ciri orang yang sombong itu ada dua, “Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Orang yang sombong adalah orang yang tidak suka pada hal-hal yang terkait dengan ilmu agama karena menganggap dirinya yang paling benar, tidak suka mendengar nasehat, tidak mau menerima kebenaran, gengsi jika dikoreksi, dan anti terhadap kritik. Orang yang sombong pun selalu melihat orang lain lebih rendah dari dirinya.

Sahabat, marilah kita giat mempelajari tentang ilmu kesombongan ini, lalu kita evaluasi kepada diri kita, dan sama-sama bermujahadah untuk menghilangkan kesombongan ini. Karena sejatinya kemuliaan tidak akan dilekatkan kepada kesombongan.

Semoga kita digolongkan sebagai orang-orang yang tawadhu lillaahi taala, dan dijauhi dari sifat sombong. Aamiin yaa robbal aalamiin. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar |

INILAH MOZAIK

Sombong Hambat Hidayah

RASULULLAH Shallallahualaihi Wasallam mengabarkan dalam sebuah hadits bahwa tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya terdapat kesombongan.

Beliau Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “tidak akan masuk surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan”. Lalu ada seorang lelaki dari sahabat Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam berkata: “wahai Rasulullah, salah seorang dari kami ingin agar bajunya bagus, demikian pula sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan wahai Rasulullah?”. Maka Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim, no.91).

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam mengabarkan bahwa kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk ke dalam surga. Dan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam juga menjelaskan hakikat kesombongan, bahwa kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh manusia. Ketika suatu kebenaran telah sampai kepada seseorang, berupa Al Quran dan hadits Nabi Shallallahualaihi Wasallam, kemudian ia menolaknya karena kelebihan yang ia miliki atau kedudukan yang ia miliki. Maka ini menunjukkan adanya kesombongan dalam dirinya.

Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam mengatakan, sombong itu menolak kebenaran, dan kebenaran itu adalah apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Taala, berupa Al Quran dan hadits Nabi Shallallahualaihi Wasallam. Betapa banyak kesombongan yang menyebabkan seseorang terhalang dari kebenaran.

Lihatlah iblis laanahullah, ia tidak mau sujud kepada Nabi Adam alaihissalam karena kesombongan yang ada dalam hatinya. Allah Taala berfirman: “ia enggan dan sombong sehingga ia pun termasuk orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah: 34). Lihatlah Firaun, ia merasa merasa sombong dengan kelebihannya, ia merasa sombong dengan kedudukan yang ia miliki. Sehingga ia menolak dakwah yang disampaikan Nabi Musa alaihisshalatu was salam. “Kami utus Musa dan Harun kepada Firaun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, maka mereka menyombongkan diri dan mereka adalah orang-orang yang berdosa” (QS. Yunus: 75). Maka lihatlah wahai saudaraku, orang yang bersombong diri biasanya ia tidak bisa mendapatkan hidayah dari Allah Subhaanahu wa Taala.

Dan Subhaanallah dalam hadits ini seorang sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahualaihi Wasallam, “wahai Rasulullah, salah seorang dari kami ingin agar bajunya bagus, demikian pula sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan?”. Maka Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam seakan mengatakan, “itu bukan kesombongan, Allah itu indah dan mencintai keindahan”.

Artinya pakaian yang bagus bukan termasuk kesombongan sama sekali, bahkan itu suatu hal yang dicintai oleh Allah karena menunjukkan keindahan sebagai suatu nikmat yang diberikan oleh Allah. Bahkan memperlihatkan kenikmatan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah subhanahu wa taala. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah pada diri hamba-Nya” (HR. Tirmidzi, no.2819. Ia berkata: “hasan”, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami).

Akan tetapi kesombongan itu ketika seseorang menolak kebenaran atau ia menganggap remeh orang lain. Baik karena orang yang ia remehkan itu miskin atau ia lebih rendah derajatnya dalam masalah ilmu dan amalan shalih. Saudaraku, dalam hadits lain Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “cukuplah bagi seseorang itu keburukan, ia menganggap remeh Muslim yang lain” (HR. Muslim, no.2564).

Terkadang misalnya kita orang yang memiliki kekayaan, dan punya kelebihan. Ketika kita melihat orang miskin yang tidak punya kekayaan, kita pandang dia dengan pandangan yang remeh sekali. Ini lah bentuk meremehkan orang. Atau misalnya orang yang memiliki kedudukan, mungkin Bupati, presiden, atau camat, ketika melihat orang biasa atau rakyat jelata ia merasa dirinya punya kelebihan, lalu ia pun bersombong diri.

Atau misalnya kita diberi kelebihan berupa amalan shalih, terkadang ketika melihat orang yang amalan shalihnya kurang, kita merasa memiliki kelebihan dan melecehkan dia. Terkadang juga kita merasa punya kelebihan ilmu, punya titel yang tinggi, ketika melihat orang yang lebih rendah titelnya, dalam diri kita terasa ada sesuatu perasaan lebih baik dari dia. Inilah sebenarnya benih-benih kesombongan.

Terlebih ketika ada orang yang menasehati kita adalah orang yang lebih muda dari kita atau orang yang tidak lebih berilmu dari kita. Terkadang kesombongan dan keangkuhan muncul di hati kita sehingga kita enggan untuk menerima nasehat-nasehatnya. Ini juga merupakan fenomena kesombongan. Dan bukankah seorang Mukmin yang sejati itu senantiasa menerima nasehat? Allah Taala berfirman (yang artinya): “Berilah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat: 55).

Dan subhaanallah, ini sangat menakutkan sekali. Karena Nabi Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “tidak akan masuk surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan”. Hanya sebesar biji sawi dari kesombongan, ternyata menyebabkan kita tidak masuk surga.

Ikhwati fillah rahimaniy wa rahimakumullah, sudah menjadi kewajiban kita untuk menyadari bahwa apa yang Allah berikan kepada kita berupa kelebihan-kelebihan baik itu kekayaan, kedudukan, hakikatnya adalah pemberian dari Allah Subhanahu wa taala. Orang kaya hendaknya sadar, kekayaan itu datangnya dari Allah. Orang yang mempunyai kedudukan hendaknya sadar, bahwa kedudukan itu adalah amanah di sisi Allah yang akan dimintai pertanggung-jawabannya. Bukan untuk disombongkan sama sekali.

Orang yang berilmu segera sadar bahwa ilmunya itu bukan untuk disombongkan, tapi untuk menjadikan ia lebih tawadhu dan lebih takut kepada Allah Subhanahu wa Taala. Orang yang beramal shalih, banyaknya amal shalih, bukan untuk dibanggakan dan disombongkan. Akan tetapi untuk membuat ia lebih dekat kepada Allah.

Maka, saudaraku aazzaniyallah waiyyakum, orang yang sombong itu pada hakikatnya tidak menyadari jati dirinya, tidak menyadari siapa dia sebenarnya. Bahwa dia hakikatnya adalah seorang hamba, hamba yang tidak punya dan tidak memiliki apa-apa. Dia faqir kepada Allah, faqir kepada rahmat-Nya dan karunia-Nya. Lalu untuk apa ia menyombongkan diri dengan segala kelebihannya sementara pada hakikatnya ia tidak memiliki apapun. Allah taala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Kalian adalah fakir kepada Allah. Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15).

Saudaraku, terkadang penting sekali untuk melihat bagaimana pemberian Allah kepada kita dan kekuasaan Allah yang berikan kepada kita. Allah Subhanahu wa Taala menciptakan alam semesta yang begitu luar biasa, keindahan alam yang luar biasa, semua itu milik Allah. Allah menciptakan tubuh kita dengan bentuk yang indah, Allah Subhanahu wa Taala sediakan bagi kita berbagai macam harta dan kebutuhan, jika seorang hamba menyadari semua ini saya yakin ia akan ber-tawadhu (rendah hati).

Dan tawadhu itu adalah akhlak yang sangat agung. Allah Taala berfirman (yang artinya): “Ibadurrahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu) dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63). Dan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “tidaklah salah seorang di antara kalian ber-tawadhu kecuali Allah akan meninggikannya derajatnya” (HR. Muslim, no.2588).

Bahkan manusia sendiri pun tidak suka kepada orang yang sombong. Ketika kita melihat ada orang yang angkuh, pasti kita tidak suka. Tapi ketika kita melihat orang yang tawadhu, yang tidak menonjolkan kelebihannya di hadapan orang, bahkan ia merasa takut kalau Allah mengadzabnya sekonyong-konyong, itu adalah orang yang Allah jadikan kecintaan kepada dia di hati-hati para hamba karena sikap tawadhu-nya tersebut.

Maka dari itu saudaraku, jika kita diberi Allah Subhanahu wa Taala kelebihan, berhati-hatilah. Segera introspeksi diri, segera periksa hati kita. Kalau Allah Subhanahu wa Taala memberikan kepada kita kekayaan, kedudukan, atau kelebihan dalam beramal shalih, segera periksa hati kita jangan sampai itu menimbulkan kesombongan yang menyebabkan kita terhalang masuk ke dalam surga. [Ustaz Badrusalam, Lc.]

Jangan Sombong Ketika Mendapat Nikmat

PERHATIKAN ayat Allah berikut ini: “Dan Kami timpakan kejelekan dan kebaikan kepada kalian sebagai ujian.”

Kalau begitu, tidak setiap hadirnya kenikmatan itu adalah dalil bahwa kita diridlai Allah, sebagaimana tidak semua hadirnya musibah itu adalah dalil siksa Allah kepada kita.

Sering juga manusia diberi ujian di dunia dengan kehendak Allah bahwa di akhirat kelak mereka itu diberi kebahagiaan surga. Demikian pula sebaliknya.

Kalau begitu, jangan pongah dan sombong saat mendapatkan nikmat dan jangan sedih menderita berlebih saat ditimpa musibah. Jalani hifup dengan penuh kehati-hatian. Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Sombong karena Berkuasa

Dikisahkan bahwa ketika Lukman tidur siang, Allah memerintahkan sebagian malaikat, seraya berseru: Hai Lukman, maukah engkau dijadikan khalifah (penguasa) di muka bumi ini, yang memerintahkan dan mengadili manusia dengan benar?

Suara menjawab: Jika saya disuruh memilih oleh Allah, saya akan mengambil sehat dan tidak mau mengambil bala atau sakit. Namun, jika khalifah itu ditetapkan terhadap saya maka saya dengar dan taat. Karena saya yakin, jika Allah mendudukkan saya dalam posisi itu, pasti Allah akan menolong dan menjaga saya.

Mengapa, ya Lukman? tanya malaikat dengan suara yang tidak kelihatan rupanya. Lukman menjawab: Karena pemerintahan atau kekuasan adalah kedudukan yang paling berat dan paling keras, yang diselubungi dengan kezaliman dari setiap tempat dan penjuru. Jika beres dalam menjalankannya maka ia pantas meraih keselamatan, tapi jika salah maka salah (menyimpang) pula dalam meniti jalan menuju surga.

Barang siapa yang hina dan nista di dunia, tapi mulia dan terhormat di akhirat. Maka itu lebih baik daripada mulia di dunia tapi hina di akhirat. Dan barang siapa yang memilih dunia ketimbang akhirat maka dunia teramat remeh dan sungguh tak berarti, sementara akhirat tak bisa diraih. Malaikat takjub dan terpukau dengan indahnya kata-kata Lukman. Dalam tidurnya itu, Allah menganugerahinya hikmah. Begitu sadar dan terbangun, ujaran Lukman pun menjadi sarat dengan hikmah.

Nabi Daud juga tertolong oleh Lukman dengan tutur katanya yang penuh hikmah ini, sehingga ia pun berucap: Berbahagialah engkau hai Lukman, engkau telah diberikan hikmah dan dipalingkan darimu bala bencana. Sementara Daud dianugerahi khilafah (kekuasaan), lalu diuji dengan hukum dan fitnah.

Kata-kata hikmah Lukman tersebut menemukan justifikasinya pada era sekarang ini, ketika banyak pemimpin dan pemegang kekuasaan terseret ke dalam kesombongan dan perilaku zalim. Bukan hanya terhadap orang lain, tapi juga zalim terhadap dirinya sendirinya. Dengan menghalalkan segala macam cara dan bahkan menistakan agama.

Di level kekuasaan dan kepemimpinan yang paling bawah, di desa misalnya, sering dijumpai tokoh yang tadinya taat beragama dan berlatar belakang santri. Ketika masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, tak tahan dengan godaan, akhirnya ambruk di tengah jalan. Nilai akhlak dan muruah tercerabut dari dirinya. Demikian pula, banyak pemimpin dan pemegang kekuasaan di dunia ini yang melakukan tindakan keji dan biadab, lantaran merasa dirinya berkuasa.

Begitulah pesona kekuasaan, wajar jika banyak guru spiritual emoh terhadap jabatan atau kekuasaan (riyasah) ini. Kendati begitu, masih banyak tokoh pemimpin dunia yang memoles bumi ini dengan nilai-nilai Ilahi, yang menebarkan kedamaian dan kenyamanan bagi penghuninya.

Mereka menyadari sepenuhnya, sebagaimana banyak amanat lainnya, kepemimpinan dan kekuasaan juga merupakan jembatan menuju Ilahi, yang rapor-nya kelak akan dijumpai di hadapan-Nya. Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS al-Insyiqaq [84]: 6).

 

 

Oleh: Makmum Nawawi

sumber: Republika ONline