Tafsir Surah al-Waqi’ah Ayat 4 – 6: Pada Hari Kiamat Semuanya Luluh Lantak

Telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya tentang kepastian terjadinya Hari Kiamat, alasan al-Waqi’ah menjadi salah satu nama Hari Kiamat, perbedaan penafsiran tentang golongan yang dihinakan (khafidhah) dan yang dimuliakan (rafi’ah), dan lain sebagainya. Artikel kali ini akan menjelaskan deskripsi situasi yang terjadi ketika Hari Kiamat benar-benar datang. Allah SWT berfirman:

إِذا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا () وَبُسَّتِ الْجِبالُ بَسًّا () فَكانَتْ هَباءً مُنْبَثًّا ()

“Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya. dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya. maka jadilah ia debu yang beterbangan.”

Para mufassir tidak banyak melakukan eksplorasi makna maupun penggambaran keadaan tentang Hari Kiamat selain yang sesuai dengan bunyi ayat dan penjelasan-penjelasan tambahan berangkat dari riwayat-riwayat hadis dari Nabi maupun keterangan-keterangan para sahabat. Hal ini dapat dimaklumi karena begitu dahsyatnya Hari Kiamat dan para mufassir tidak dapat menggambarkan bagaimana keadaan umat manusia di Hari Kiamat nanti.

Ibnu Jarir al-Thabari mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan ayat 4 adalah bahwa bumi tergoncang dengan hebat. Kata raja yang ada pada ayat tersebut merupakan sinonim dengan kata zalzala yang sama-sama berarti ‘goncangan’. Dari beberapa riwayat yang dikumpulkan al-Thabari seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah, ketiganya memahami kata rajja dengan kata zalzala. Dimungkinkan pada waktu itu kata zalzala lebih familiar dalam masyarakat dibanding dengan kata rajja untuk digunakan dalam konteks bencana gempa bumi.

Sama seperti kata rajja yang mungkin kurang familiar, kata bassa pada ayat 5 juga ditafsirkan dengan menggunakan sinonim kata agar lebih dipahami. Menurut al-Thabari ayat ini menggambarkan bahwa gunung-gunungg akan hancur sehancur-hancurnya sehingga menjadi partikel-partikel kecil. Al-Thabari menggarisbawahi kata bassa yang dipahami orang-orang Arab adalah seperti kata al-daqiq yang maknanya sama-sama debu. Penafsiran al-Thabari tersebut didasarkan pada tiga riwayat yang berbeda dari Ibnu Abbas, Mujahid dengan tiga jalur, al-Suddi dan dari Ikrimah.

Pada ayat 6, al-Thabari menerangkan bahwa ada perbedaan pemaknaan terhadap kata habaa‘an. Sebagian memaknai kata tersebut sinar matahari yang masuk melalui ventilasi sehingga menghasilkan debu. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abbas, Sa’id, dan Mujahid. Sebagian yang lain memaknai kata habaa‘an dengan makna debu yang melekat pada binatang (rahj al-dawab). Pendapat ini berdasarkan riwayat dari al-Haris dari ‘Ali. Selain dua makna tersebut ada juga makna-makna lain seperti debu pembakaran api yang tidak kasat mata dan daun-daun yang berguguran dari pohon.

Ketika menafsikran ayat-ayat di atas Ibnu Katsir hampir sama seperti al-Thabari dalam mengutip beberapa riwayat seperti riwayat Ibnu Abbas, Mujahid dan Qatadah. Hanya saja Ibnu Katsir menggarisbawahi beberapa ayat yang semakna dan sama dalam mendeskripsikan Hari Kiamat. Ayat 4, menurut Ibnu Katsir dapat dijelaskan dengan Q.S al-Zalzalah ayat 1, dan Q.S al-Hajj ayat 1. Sedangkan ayat 5, semakna dengan kandungan QS. al-Muzammil ayat 14.

Menurut Fakhruddin al-Razi ketika menafsirkan ketiga ayat di atas, gambaran Hari Kiamat adalah ketika tanah yang landai berhamburan seperti gunungan pasir sedangkan gunung-gunung hancur sehingga menjadi rata. Ketidakteraturan retakan bumi menjadikan manusia tidak memiliki tempat untuk berpijak. seperti bulu-bulu yang berhamburan sebagiamana digambarkan QS. al-Qari’ah ayat 5.

Al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil juga memahami ketiga ayat di atas sebagai berikut. Menurutnya ketika bumi digoncangkan (rujjat al-ardh) maka tanah bergerak tidak beraturan dengan gerak yang cepat sehingga bangunan-bangunan tinggi hingga gunung-gunung hancur lebur, semuanya rata. Gunung-gunung seperti pada ayat 5, menjadi porak-poranda seperti tepung yang ditiup, tanahnya berhamburan.

Kata raja pada ayat 4, menurut Thahir Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir bermakna hentakan dan gerakan yang luar biasa kencang (al-idhtihirab wa al-taharruk al-syadid). Pengulangan kata dengan bentuk mashdar, menurut Ibnu ‘Asyur dimaksudkan sebagai penguatan (ta’kid) untuk menunjukkan bahwa hal itu benar-benar akan terjadi. Hancur dan luluh lantaknya gunung-gunung, kata Ibnu ‘Asyur, merupakan deskripsi yang dapat ditemukan dalam ayat-ayat lain seperti Q.S al-Kahf [18] ayat 47 dan surat al-Naba’ [78] ayat 20.

Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa deskripsi gunung sebagai objek yang akan benar-benar dihancurkan juga berkaitan dengan psikologi manusia yang melihat gunung sebagai objek yang agung dan amat besar. Maka Allah Swt pada Hari Kiamat mampu untuk meluluhlantakkan semua gunung-gunung tersebut. Wallahu A’lam.

BINCANG SYRAIAH