Belajar Tawazun dalam Menilai Keadaan

Melanjutkan obrolan terkait kondisi yang sama-sama kita alami, terlepas dari berbagai perhelatan dan beragam pandangan di dalamnya. Mulai dari yang sangat mengedepankan dalil-dalil agama semata (bayani), hingga yang mengedepankan pendekatan-pendekatan rasional semata (burhani). Bahkan, ada pula yang lebih melarutkan diri dalam kesenyawaan alam rasa semata (‘irfaani).

Islam sebagai agama yang paripurna, sangat menjunjung tinggi semua itu tanpa mengunggulkan dan merendahkan salah satunya. Semuanya sinergi berjalin berkelindan tanpa saling menegasikan. Dengan bimbingan dalil-dalil wahyu, beragama menjadi lebih tsiqah dan istiqamah.

Dengan dikawal akal, beragama menjadi lebih cerdas dan berwibawa. Dan dengan berhiaskan rasa, beragama menjadi lebih indah dan selaras. Dengan demikian, memahami suasana yang ada dengan pendekatan ketiganya akan lebih terasa bahwa agama ini benar-benar hadir menjadi solusi, dapat memecahkan segala masalah yang dihadapi ummat manusia.

Hubungannya dengan wabah yang semakin menggejala, maka di samping terapi teologis berupa bimbingan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, juga wajib memperhatikan ikhtiar dan temuan ilmu pengetahuan yang kian berkembang. Selain itu, memahami kejiwaan dengan segala karakteristik keperibadian manusianya pun harus benar-benar didalami.

Kemunculan wabah dengan segala nama dan variannya, bukanlah sekedar cerita, melainkan kenyataan, terlebih bagi mereka yang merasakan dampak keterpaparan. Berbagai upaya penangkalan pun diusahakan dengan mengerahkan berbagai cara ilmiah dan protokol terapan yang bisa dilakukan.

Karenanya, berpedoman pada prinsip keadilan semesta harusnya menjadi pegangan. Apa itu keadilan semesta? Keadilan semesta adalah menunjukkan sikap berkeadilan dalam menjalankan segala titah perintah Ilahi (hukum taklifi), juga mematuhi segala aturan yang dibuat dan disepakati oleh manusia berakal (atas dasar ilmu) demi kebaikan menyeluruh.

Apa yang telah diperbuat para ulama dari zaman ke zaman sudah benar adanya, bahwa segala sesuatu ditimbang berdasarkan kebaikan (mashlahat) dan keburukannya (mafsadat).

Lahirnya istilah “fiqih keseimbangan” (fiqhul muwaazanat), yakni berupaya adil dalam memahami dalil-dalil wahyu (fiqhud daliil) dengan realita yang terjadi (fiqhul waaqi’) itu merupakan keniscayaan yang patut ditempuh, di mana pertimbangan-pertimbangan keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta menjadi sendi-sendi dimaksudkannya mengapa syari’at harus ditegakkan (maqaashidus syarii’at).

Namun semua itu akan menjadi berantakan dan tak dapat dijalankan sesuai harapan, apabila keadilan para pemimpinnya tidak bisa dijadikan keteladanan, pandangan cerdik pandainya diragukan, dan pemahaman para tokoh masyarakatnya tidak dapat menentramkan dan meyakinkan. Akankah populis awami bisa terkendali bila kebutuhan hidup dan kebutuhan pengetahuannya tak tercukupi dan terabaikan?

Itulah yang terkadang membuat bergesernya pandangan akal sehat dan guncangnya keimanan seseorang. Munculnya perilaku-perilaku teologis baru seperti “terkesan” berpandangan neo jabariyyah, yang seolah-olah menggantungkan segala urusan bagaimana Tuhan saja. Atau sebaliknya neo qadariyyah, melepaskan sepenuhnya ketergantungan pada Tuhan, dan yang berhak menghitam putihkan hidup adalah kita. Keduanya merupakan sikap yang keliru, bahkan sesat dan menyesatkan. Demikian pula sikap membentur-benturkan keshalehan teologis (ibadah mahdhah) dengan ikhtiar menghindari bahaya (daf’ud dharar) yang membinasakan.

Menarik untuk dicermati, dua kiriman berharga dari Media Center PP. Pemuda Persatuan Islam (diterima Al-faqir; Rabu 07 Juli 2021) penuturan Allaahu yarhamhu Dr. Mohammad Natsir terkait bagaimana mensenyawakan antara yang ada pada pikiran, dengan apa yang seharusnya dijalankan dalam kehidupan nyata. Antara keimanan dan keteladanan dengan amal jihad yang harus diejawantahkan.

Beliau bertutur: “Dua puluh tiga tahun lamanya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan risalahNya, mewujudkan kaidah-kaidah di tengah-tengah kekuatan jiwanya, dengan contoh dan teladan, dengan amal dan jihadnya, dalam suka dan duka, sampai risalahNya tumbuh terwujud pada peribadi-peribadi mereka yang menerimanya.”

Kiriman berharga berikutnya adalah: “Risalah Muhammad ﷺ tidaklah berakhir pada perumusan-perumusan kaidah-kaidah falsafah yang universil dan abstrak, yang dilepaskan mengapung di awang-awang untuk dilihat dan dikagum-kagumi atau dalil teologi untuk dikunyah-kunyah sambil duduk. Tujuan Risalah ialah untuk “menghidup-sempurnakan” manusia sehingga benar-benar hidup!”

Dengan semakin banyaknya jumlah yang terpapar; “dipanggilnya” sanak saudara dan handai tolan, bergugurannya para pengkhidmat kemanusiaan dan ponggawa dakwah, di dalamnya semakin menunjukkan banyak pelajaran untuk ditimba; jangan pernah abaikan tuntunan agama sebagai terapi teologis, hargai akal sehat untuk mematuhi aturan kesehatan sebagai terapi medis, bersikap adillah dalam memahami keadaan, janganlah ketidak setujuan kita terhadap perilaku zhalim dan ketidak adilan menjadi dorongan untuk melahirkan kemadharatan baru yang lebih madharat, dengarlah dan ikuti arahan ulama rabbani yang bijak dan ilmuwan yang cakap, serta jadikanlah kondisi masa-masa sulit seperti ini untuk mendulang kemanfaatan dan membuka pintu-pintu kebaikan bagi sesamanya.

Sungguh terasa sampai pada kedalaman jiwa, apa yang disampaikan manusia terbaik sepanjang zaman kepada ummatnya

إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ، مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ، وَإِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ

“Sesungguhnya ada di antara manusia yang menjadi pembuka pintu-pintu kebaikan, dan menjadi penutup pintu-pintu keburukan. Ada pula di antara manusia yang menjadi pembuka pintu-pintu keburukan, dan penutup pintu-pintu kebaikan. Alangkah bahagianya mereka yang telah Allah ‘azza wa jalla jadikan sebagai pembuka pintu-pintu kebaikan melalui tangannya, dan alangkah celakanya mereka yang Allah ‘azza wa jalla jadikan sebagai pembuka pintu-pintu keburukan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah)

Teruslah berdo’a pada Allah, lanjutkan ikhtiar sesama manusia dengan ilmu dan amal, dan jangan lupa senyum bahagia!!! … Lillaahi hammii wa linnaasi ibtisaamaatii; Segala beban pikiran, aku serahkan permohonan jalan keluarnya kepada Allah. Dan semua senyuman bahagia, aku berikan untuk semua …”.*/ Teten Romly Qomaruddien

HIDAYATULLAH