Tetap Istiqomah Bersama Islam

PERGAULAN adalah sebuah keniscayaan, itulah fitrah sebagai insan yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala kelengkapannya. Pergaulan selalu harus dimaknai adanya interaksi, dari mulai hal yang paling sederhana semisal senyum, saling sapa, sampai bentuk-bentuk komunikasi lainnya dalam persahabatan, keluarga, usaha, sejawat serta berbangsa dan bernegara.

Ini tentang cara pandang. Sesuatu jika sejak awal dipandang sebagai masalah dan mengandung kerumitan, maka apa yang kemudian ditemukan dan dijalani selalu bermuara pada kumpulan soal tak berjawab dan benang kusut.

Maka, mulailah segala sesuatu dengan pikiran jernih dan harapan yang penuh kebaikan. Tak semua yang kita temui akan sesuai harapan, tetapi banyak kemungkinan dan hal-hal baik di luar sana.

Bukankah ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam Alaihi Salam, DIA pula Yang Maha Mengetahui tentang kebutuhannya pada sosok yang memungkinkan dia maksimal menggunakan fungsi indrawinya.

Sebagai Khalifah di muka bumi, hendaklah ia mengenal tentang segala potensi yang melekat pada dirinya, menggunakan sesuai dengan amanah yang diembannya. Pada akhirnya tak lain akan membuktikan bahwa dia tak merendahkan dirinya, yaitu karena mampu menunaikan kewajiban sesuai tugas dan kewenangan.

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلٰۤىِٕفَ الْاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْۗ اِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ الْعِقَابِۖ وَاِنَّهٗ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di Bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman, dan sungguh Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS: Al An-Aam, ayat 165)

Maka sesuatu yang semestinya tak terbantahkan adalah, bahwa kehidupan manusia dengan segala pernak-perniknya hanya akan mampu menciptakan keseimbangan, harmoni dan keadilan jika bersandarkan pada syariat-NYA.

Apa yang sering kita saksikan dan kita tengarai sebagai ketimpangan dalam pergaulan sehari-hari justru terjadi karena ulah manusia. Ia merasa jumawa dengan menganggap dirinya serba tau dan serba bisa semata dengan mengandalkan akal pikiran serta hawa nafsunya.

Bagaimana mungkin mereka bisa merasa dan meyakini demikian, padahal pada apa-apa yang ada pada dirinya pun mereka tak mampu mengendalikan sepenuhnya, mampukah ia mengatur detak jantungnya, atau bulu alis mata dan rambut hidungnya agar tumbuh terus?

Ego-ego seperti inilah yang pada gilirannya akan menumbuhkan pribadi yang gagal memahami sesama karena tak mampu bahkan untuk memahami dirinya sendiri.
Pergaulan bagi pribadi-pribadi hipokrit seperti ini cuma dipandang satu arah. Yang terpenting menghadirkan dirinya, dan karenanya pengakuan dan penghargaan pun dimaknai sangat sumir, yaitu ketaatan dan kepatuhan total, tanpa kesempatan untuk berdialog atau bahkan sekedar bertanya.

Dapatkah dibayangkan jika dari pribadi-pribadi demikian terlahir seorang pemimpin? Bukan pemimpin yang sadar betul tentang hakekat kehalifahan, bahwa dia mengelola alam semesta seperti yang dikehendaki pemilik alam semesta ini.

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS: An-Nisaa, ayat 58).

Jangan jadikan mereka sahabat, apalagi pemimpin

Pemimpin itu bukan mengatur manusia dan menata alam demi kepentingan dirinya. Namun seharusnya dari pikiran dan tangannya terlahir hukum dan aturan yang bukan saja tidak bersandar pada aturan-NYA, bahkan harus berusaha menggiring manusia semakin taat pada agama.

Anehnya yang banyak terjadi saat ini, hukum yang seharusnya menciptakan kepastian, malah memihak kepentingan penguasa dan segelintir orang saja.

Pergaulan antar sesama bukan lagi agar semakin mengangkat harkat kemanusiaan sebagai mahluk yang dilengkapi dengan akalnya, tetapi justru memanjakan dan menjadikan akal dan hawa nafsu sebagai ukuran kepuasan serta kenikmatan. Akal dipaksakan untuk mencerna apapun dan menolak apapun yang tak masuk akalnya, padahal pada batas tertentu cuma Iman yang mampu menyelesaikan.

Lalu tata pergaulan apakah yang membedakan kita sebagai manusia dengan hewan? Bukankah akal yang menolak dikendalikan Wahyu hanya akan menempatkan kita sederajat dengan hewan? Bahkan lebih sesat dari hewan?

Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan;

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

“Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS: Al-A’raaf, ayat 179).

Maka sebagai seorang Muslim yang telah dikaruniai rahmat yang amat luar biasa yaitu hidayah Islam, tempatkanlah syariat sebagai sumber hukum tertinggi. Dan janganlah kita menukar dan menggadaikannya demi apapun.

Islamlah yang menjadikan kita manusia dan memanusiakan manusia. Ini penting, karena saat ini banyak bertebaran manusia yang bahkan secara lahir selayaknya tak pantas disebut sebagai Muslim, tapi dia begitu membenci syariat, dalam ucapan dan perbuatan.

Mereka para pengusung konsep liberal amat berharap suatu saat kita menjadi ragu pada kebenaran Dienul Islam, padahal mereka tidak memegang apapun kecuali kumpulan prasangka. Karenanya, tinggalkan dan janganlah pernah bergaul dengan mereka, karena mereka seburuk-buruknya manusia, sebab mereka menjadikan agama sebagai permainan.*/ Hamid Abud Attamimi

HIDAYATULLAH