Benarkah Menggunakan Uang Kertas Termasuk Riba?

Uang kertas sering juga dikenal dengan istilah al-auraq al-maliyah, merupakan sebuah mata uang yang digunakan oleh banyak negara modern dewasa ini.

Di awal kemunculannya, mata uang ini merupakan yang dianggap lebih praktis dibanding mata uang logam seiring ketersediaan bahan baku pembuat mata uang yang bersifat melimpah di alam dan bersifat bisa diperbarui.

Lain halnya dengan bahan baku emas, perak, tembaga, kuningan, atau aluminium, seluruhnya bersifat terbatas dan tidak bisa diperbarui (unrenewable resources).

Unsur Penyusun Mata Uang Kertas

Berbeda dengan mata uang logam yang sebelumnya telah lama diperkenalkan dan telah banyak digunakan secara meluas oleh masyarakat, maka untuk mata uang kertas diawali  dengan perdebatan mengenai keterpenuhannya sebagai alat tukar suatu barang.

Diawali dari perdebatan mengenai nilai bahan, maka mata uang logam, satuan nilai tukarnya terletak pada kandungan nilai bahannya. Misalnya, untuk mata uang logam senilai 1 dinar, terdiri dari 22 karat emas seberat 2.4 gram. Satuan berat dan kadar ini menjadi faktor penentu nilai  tukar dari dinar tersebut. (Baca: Hukum Jual Beli Uang Logam yang Masih Laku di Pasaran)

Bagaimana dengan nilai tukar mata uang kertas? Satuan nilai tukar itu terletak di mana? Apakah cukup dengan ditulis nominal angkanya, kemudian ia sudah bisa diberlakukann sebagai besaran satuan nilai tukar?

Di sini kemudian muncul jawaban, bahwa mata uang kertas merupakan yang berjamin emas dan awalnya tersimpan di tukang pandai emas. Di era modern, jaminan bagi uang kertas (fiat) ini, kemudian ditaruh di bank-bank sentral suatu negara.

Nah, keberadaan uang kertas dengan jaminan emas inilah perdebatan mengenai status ribawinya mata uang kertas itu awal kalinya diperdebatkan. Perdebatan itu diawali dari pengkajian kaidah sharf (pertukaran barang ribawi sejenis) yang berlaku atas emas dan perak.

Kaidah Sharf dalam Islam

Konsepsi sharf diawali dengan sajian sebuah hadits yang menyatakan bahwa emas dan perak merupakan dua jenis aset yang menjadi wasilah pertukaran secara muktabar. Hal ini bukan berangkat dari tanpa dasar, yaitu karena adanya hadits yang menyatakan secara tegas bahwa kedua aset emas dan perak merupakan yang tauamani ‘kembar’.

Selanjutnya, kaidah tersebut ditambah dengan penjelasan bahwa pertukaran emas dengan emas, atau perak dengan perak, wajib memenuhi konsepsi matsalan bi matsalin (sepadan dengan sepadan) dan harus yadan bi yadin (saling serah terima) di majelis akad. Adapun pertukaran yang tidak sejenis (misalnya emas dengan perak), maka disyaratkan boleh tidak sepadan, akan tetapi tetap wajib yadan bi yadin (saling serah terima).

Kedua batasan syariat akan wajibnya matsalan bi matsalin dan yadan bi yadin inilah, yang melatarbelakangi mengapa kemudian muncul pendapat bahwa penggunaan mata uang kertas sebagai wasilah pertukaran / perdagangan adalah sebagai yang memenuhi transaksi ribawi, sehingga dipandang haram.

Mengapa? Sebab di dalam perturannya, tidak terpenuhi syarat ketentuan minimal yang manshush (dinyatakan oleh nash) bahwa dalam pertukaran barang ribawi adalah wajib berlaku ketentuan yadan bi yadin yang dimaknai sebagai wajibnya qabdlu al-haqiqi (penerimaan barang secara riel) berupa emas atau perak, sebelum perpisahan majelis itu terjadi (al-taqabudl qabla tafarruq al-majlis).

Lantas, bagaimana Konsep Mata Uang Kertas itu diterima?

Konsepsi penerimaan mata uang kertas bukan tanpa dasar. Pendekatan tidak hanya terjadi pada hal yang bersifat manshush, namun juga berlaku lewat pendekatan yang berbasis qiyasi (analogi) dan manhajy (metodologi). Sudah barang tentu, agar langkah itu diaku sebagai sah, maka harus ada cantolan hukum bahwa hal tersebut pernah diterima. Di dalam sebuah sirah, dinyatakan bahwa Sayyidina Umar pernah hendak menerbitkan mata uang yang terbuat dari kulit onta. Di sinilah penggunaan mata uang kertas itu kemudian memiliki dasar cantolan hukum.

Adanya pertimbangan Sayyidina Umar hendak menerbitkan mata uang yang terbuat dari kulit onta untuk dijadikan mata uang bukanlah sebagai suatu pendapat yang berdiri tanpa adanya illat hukum. Salah satu illat hukum yang dibenarkan adalah tentu kulit onta tersebut dinilai bukan karena faktor bahan bakunya, akan tetapi lebih dikarenakan adanya bahan penjamin di balik penggunaannya.

Bahan penjamin itu adalah berupa cadangan emas hasil rampasan perang yang tersimpan di Baitul Mal. Alhasil, secara fikih, konsepsi itu menjadi bisa diterima, sebab kulit onta itu kedudukannya menjadi sebagai aset yang berjamin emas (ma fi al-dzimmah). Mengapa hal itu tidak jadi diwujudkan? Pertimbangan dasar Sayyidina Umar dibaca oleh fuqaha’ sebagai 2, yaitu:

  1. Karena kalau kulit onta itu dijadikan mata uang, maka lama-lama onta akan banyak yang terbunuh sehingga punah, dan
  2. Penggunaan kulit onta untuk dijadikan mata uang dinilai sebagai yang tidak praktis, sebab terlalu lebar dan mudah rusak. Padahal, yang dinamakan sebagai uang, adalah harus memenuhi kaidah bisanya dipergunakan sebagai unit penyimpan harta.

Nah, di era modern ini, permasalahan yang ditemui oleh Sayyidina Umar ibn Khathab tersebut bisa diminimalisir, seiring ditemukannya mesin pencetak kertas dan teknologi mesin cetak. Konsepsi cadangan emasnya tetap dipertahankan, namun bahan baku uangnya terbuat dari kertas.

Status Mata Uang Kertas dan Aspek Ribawi

Menyimak dari status mata uang kertas sebagai yang berjamin emas, secara tidak langsung mendudukkan mata uang kertas tersebut sebagai ma fi al-dzimmah (harta berjamin emas). Istilah lain dari ma fi al-dzimmah ini adalah mal duyun (harta utang)

Ketika mata uang kertas tersebut ditransaksikan dalam bentuk pertukaran, maka seolah telah terjadi pengalihan utang terhadap utang. Istilah lain dari pengalihan utang terhadap utang, adalah bai’ al-dain bi al-dain (jual beli utang  terhadap utang) atau bai’u ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah.

Bagi pihak yang berpedoman teguh pada kaidah manshush, maka ia menggunakan hadits larangan jual beli utang dengan utang ini dipandang sebagai riba. Mengapa? Sebab, seolah telah terjadi serah terima emas dengan emas tanpa adanya wujud fisik emas yang dijadikan wasilah.

Adapun para ulama yang berpendapat bahwa tidak selamanya yang dinamakan dengan bai’ al-dain bi al-dain (jual beli utang dengan utang) itu sebagai yang diharamkan, maka mereka memberi catatan yaitu wajibnya kesepadanan antara utang yang ditukar atau dialihkan.

Jika utang tersebut sepadan (tamatsul), maka tidak ada illat riba di dalamnya. Sebab yang dinamakan dengan riba adalah bila di salah satu utang yang ditukar, mensyaratkan adanya kelebihan di sisi utang yang lain.

Kesimpulan

Pertukaran yang terjadi pada aset berjamin (ma fi al-dzimmah / maal duyun), secara tidak langsung menjadi wajibnya berlaku kaidah kesamaan utang. Akad yang berlaku dalam transaksi adalah akad hiwalah (oper tanggungan). Dan di dalam oper tanggungan, yang dibutuhkan hanyalah ridha pihak yang berakad, dan bukan bergantung pada penerimaan fisik barang yang dipertukarkan.

Alhasil, karena mata uang kertas merupakan ma fi al-dzimmah, maka pertukarannya tidak menduduki pertukaran barang ribawi yang dilarang, sebab adanya kesepadanan. Ketiadaan kesepadanan, mendudukkan pertukarannya sebagai transaksi riba.

Jadi, selama kaidah kesepadanan itu dipegang erat, maka penggunaan mata uang kertas dalam ruang transaksi, bukanlah termasuk perilaku riba. Wallahu a’lam bi al-shawab

BINCANG SYARIAH