Guru Manshur: Pelindung dan Penyebar Islam di Betawi

Menurut budayawan Ridwan Saidi, sejarah penyebaran Islam di Jakarta dapat ditelusuri sejak abad ke-15, yakni dengan pendirian Pesantren Quro di Karawang pada 1418 oleh dai kelahiran Kamboja, Syekh Quro alias Hasanuddin. Murid-murid lembaga tersebut banyak yang berasal dari Jakarta sehingga merintis dakwah di sana(Republika, 4 Juni 2017). Dalam beberapa abad berikutnya, Jakarta merupakan salah satu pusat intelektual Islam di Nusantara.

Pada abad ke-19, Jakarta dan sekitarnya dapat dibagi menjadi 10 daerah dakwah Islam, yakni Pekojan, Mester, Paseban, Cipinang Muara, Kuningan, Menteng Atas, Gondangdia, Basmol, Cengkareng, dan Tenabang. Salah seorang dai asal Pekojan adalah Guru Manshur Jembatan Lima. Disebut demikian karena ulama tersebut tinggal di Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang kala itu masih termasuk area Pekojan.

Mengutip buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011),Guru Manshur lahir di Jakarta pada 1887 dan wafat pada 80 tahun kemudian. Nama lengkapnya adalah Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri. Tokoh yang juga dikenang sebagai pejuang kemerdekaan itu masih keturunan Tumenggung Cakra Jaya dari Mataram, Jawa. Sepanjang hidupnya,pakar ilmu falak ini telah menulis tidak kurang dari 19 buku. Sampai saat ini, beberapa karyanya masih dipakai sejumlah pesantren di Indonesia dan Malaysia.

Manshur menghabiskan masa kecilnya di bawah asuhan sang ayah, KH Abdul Hamid. Setelah ayah sekaligus guru pertamanya itu wafat, dia belajar pada KH Mahbub, yang tidak lain kakaknya sendiri. Selain itu, Manshur juga menimba ilmu dari KH Thabrani bin Abdul Mughni. Dia juga berguru pada Syekh Mujitaba, yang kemungkinan ditemuinya baik ketika bermukim di Tanah Suci maupun saat masih di Jakarta.

Saat berusia dewasa, Manshur menunaikan ibadah haji. Dia menggunakan kesempatan ini untuk bermukim di Tanah Suci demi melanjutkan belajar. Di sana, dia berguru pada sejumlah ulama besar, yang tidak sedikit berasal dari Nusantara. Di antaranya adalah Syekh Mukhtar Atharid al-Bughuri, Syekh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syekh Ali al-Maliki, Syekh Said al-Yamani, dan Syekh Umar Sumbawa. Seiring waktu, Manshur menekuni ilmu falak di bawah bimbingan ulama asal Mesir, Abdurrahman Misri, dan Ulugh Bek asal Samarkand.

Empat tahun kemudian, dia kembali ke Jakarta. Lekatlah gelar guru di depan namanya. Sebagaimana para ulama Nusantara yang lama di Haramain, Guru Manshur mendirikan majelis ilmu di Masjid Jembatan Lima. Di luar itu, dia juga mengajar di sejumlah tempat, antara lain Kenari dan Cikini. Selain ilmu-ilmu agama, dia juga mendidik para muridnya dengan sains, terutama ilmu falak yang memang sudah lama ditekuninya. Murid-muridnya berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Di antara mereka kemudian menjadi sejumlah ulama terkemuka asli Betawi, yakni KH Abdullah Syafii dan KH Abdul Rasyid Ramli. Selain itu, ada pula KH Abdul Khoir (Krendang, Jakarta Barat) dan KH Firdaus, yang kemudian diangkatnya menjadi mantu. Dari Bekasi, murid Guru Manshur antara lain KH Muhajirin Amsar ad-Dary. Mereka semua menjadi pakar ilmu falak terutama berkat bimbingan Guru Manshur.

Dari garis keturunannya, ada yang meneruskan kiprah di bidang ilmu falak. Misalnya, KH Ahmadi Muhammad, seorang cucu Guru Manshur, adalah penyusunkalender hisabal-Manshuriyah. Almanak ini disusun dengan berdasarkan perhitungan yang dibuatGuru Manshur.Sampai saat ini, al-Manshuriyah tetap dipakai sebagai kalender acuan oleh kaum Muslim di Indonesia dan Malaysia. Adapun yang lebih belakangan, dari silsilah Guru Manshur juga lahir seorang dai kondang Indonesia, Ustaz Yusuf Mansur, pendiri Pesantren Tahfizh Daarul Quran.

Salah satu karya Guru Manshur yang paling monumental adalah kitabSullam an-Nayrain. Buku ini membahas seluk beluk ilmu falak serta kalender yang dapat menentukan awal dan akhir bulan hijriah. Sullam an-Nayrain sampai sekarang masih dipakai sebagai sumber rujukan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia dan Malaysia, khususnya untuk melihat hilal sebagai penentuan awal bulan Ramadhan dan 1 Dzulhijjah tiap tahun. Kitab ini juga kerap diteliti paraastronom modern.

Sepanjang hayatnya, Guru Manshur telah menulis 19 buku. Cakupannya bukan hanya ilmu falak, melainkan juga soal puasa, ilmu waris, dan tata bahasa Arab. SelainSullam an-Nayrain, berikut ini daftar karya ulama masyhur Jakarta ini.

1.Khulashoh al-Jadawil

2.Kaifiyah al-Amal Ijtima

3.Mizan al-`Itidal

4.Washilah Ath-Thulab

5.Jadwal Dawair Al-Falakiyah

6.Majmu` Arba` Rasail fi Mas`alah Hilal

7.Rub`u al-Mujayyab

8.Mukhtashar Ijtima` an-Nairain

9.Tajkirotun Nafi`ah fi Shihah `Amal ash-Shaum wa al-Fithr

10.Tudih al-Adillah fi Shihah ash-Shaum wa al-Fithr

11.Jadwal Faraid

12.Al-Lu`lu al-Mankhum fi Khulashoh Mabahits Sittah `Ulum

13.`Irobul Jurumiyah an-Nafi` Lil Mubtadi

14.Silsilah as-Sanad Fi ad-Din wa Ittisholuha Sayyid al-Musalin

15.Tashrif al-Abwab

16.Limatan Bina

17.Jadwal Kiblah

18.Jadwal aw Khut ash-Sholah Tathbiq Amal al-Ijitma` wa al-Khusuf wa al-Kusuf.

Guru Manshur juga ikut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Sikap ini memang jamak diambil para ulama Jakarta sejak berabad-abad silam. Bahkan, menurut budayawan Ridwan Saidi,Syekh Quro sang perintis dakwah di Jakarta memperkenalkan bendera Merah Putih, yang pada akhirnya menjadi bendera kebangsaan Indonesia.

Satu riwayat menyebutkan kisah heroik Guru Manshur. Di awal abad ke-20, nasionalisme menyebar luas di tengah masyarakat pribumi. Guru Manshur suatu kalimemasangbenderaMerah Putih di atas menaraMasjid Jembatan Lima.Meskipun digertak para tentara kolonial, ulama besar ini menolak menurunkan simbol kebangsaan itu. Akhirnya, mereka menembaki masjid ini secara membabi-buta. Guru Manshur tetap bertahan beserta para pengikutnya.

Dia lantas berseru, Betawi, rempug! Artinya, Betawi, bersatulah! Demikianlah, di samping sebagai dai dan intelektual, Guru Manshur juga memiliki semangat juang seorang pahlawan.

Nama Guru Manshur disejajarkan dengan lima guru utama lainnya asal Betawi, yakni Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Madjid Pekojan, Guru Mughni Kuningan, Guru Khalid Gondangdia, dan Guru Mahmud Romli. Secara keilmuan, mereka bermuara pada sang poros ulama Betawi, Syekh Junaid al-Batawi.

(Hasanul Rizqa)

REPUBLIKA

Tokoh Berikut Menjadi Poros Ilmu Ulama Betawi dan Dunia

Satu-satunya ulama Betawi yang memiliki pengaruh di dunia Islam pada awal ke-19 serta menjadi pangkal, poros atau ujung puncak utama silsilah ulama Betawi masa kini adalah Syekh Junaid al-Betawi.

Ridwan Saidi dalam Peran Ulama Betawi dari Abad ke-14 Sampai Orde Baru menjelaskan Junaid Al-Betawi adalah ulama Betawi yang lahir di Pekojan yang berpengaruh di Makkah walau hanya enam tahun bermukim di sana. Ia imam Masjid al-Haram, guru para guru yang terkenal se-antero dunia Islam sunni dan mazhab Syafi`i sepanjang abad ke-18 dan 19.

Menurut Ridwan Saidi, Syekh Junaid mempunyai banyak murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di tanah air bahkan di dunia Islam. Misalnya, Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi pengarang Tafsir Al-Munir dan 37 kitab lainnya yang masih diajarkan di berbagai pesantren di Indonesia dan di luar negeri.

 

Ada pula muridnya yang lain, yaitu Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, imam, khatib dan guru besar di Masjid al-Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 serta pengarang banyak kitab.

Menurut Rakhmad Zailani Kiki dalam Genealogi Intelektual Ulama Betawi, khusus mengenai murid-murid Betawinya yang kemudian menjadi ulama terkemuka, belum banyak diketahui kecuali Syekh Mujitaba (Syekh Mujitaba bin Ahmad al-Betawi) dari Kampung Mester yang dinikahkan dengan putri Syekh Junaid. Muridnya yang lain adalah Guru Mirshod, Ayah dari Guru Marzuki Cipinang Muara.

Kiprah Syaikh Junaid Al-Betawi sedikit banyak terungkap dari catatan perjalanan Snouck Hurgronje, seorang orientalis terkemuka asal Belanda saat menyusup ke kota Makkah yang perjalanannya ditulis dan dibukukan dengan judul Mecca in the latter part of 19th Century. 

Saat Snouck Hurgronje ingin bertemu dengan Syaikh Junaid ia ditolak oleh Syaikh Junaid. Menurut Hurgronje, saat ia menyusup ke Makkah diketahui bahwa Syekh Junaid telah bermukim di Makkah selama 60 (enam puluh) tahun, tepatnya sejak 1834.

 

 

REPUBLIKA

KH M Syafi’i Hadzami, Guru Para Ulama (2-habis)

Tokoh yang tersohor dengan karya risalah-risalah keagamaan itu mengutip hadis bahwa tiap seratus tahun akan muncul seorang pembaru (mujadid), yakni orang-orang yang memperbarui pandangan-pandangan agama. Jadi, yang diperbarui bukan agamanya, tetapi pandangannya.

Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila memakai kacamata, apa yang dipandang akan menjadi lebih jelas. Padahal, objek pandangannya sama saja. Jadi, bukan objeknya yang diubah melainkan alat untuk memandangnya yang perlu diperbarui. Itulah tugas seorang mujadid.

Puncak intelektual
Selain aktif berdakwah dan mendidik umat, Syafi’i menyempatkan diri menulis beragam karya. Karya-karya tersebut didominasi risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia yang bertuliskan Arab Melayu.

Sebagian besar ditulis pada 1980-an, sebagai puncak intelektual sang kiai. Sedangkan, pada tahun-tahun berikutnya, produktivitas menulisnya sudah mulai berkurang.

Di antara buah pemikirannya yang terdokumentasikan, yaitu buku Tawdhih al-Adillah. Buku ini merupakan dokumentasi hasil tanya jawab saat on air di radio. Buku ini terbit tujuh jilid yang beredar tidak hanya di Indonesia, tetapi juga Malaysia.

Ia juga menulis risalah berjudul Qabliyah Jum’at, Risalah Shalat Tarawih, Sullamu al-Arsy fi Qira’at Warsy, Qiyas adalah Hujjah Syar’iyyah, Ujalah Fidyah Shalat, dan Mathmah al Rubi fi Ma’rifah al Riba.

Pada Ahad pagi, 7 Mei 2006, KH M Syafi’i Hadzami tutup usia. Ia wafat seusai  mengajar di Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan, karena mendapatkan serangan jantung. Umat Islam di Jakarta kehilangan salah satu lentera yang senantiasa menerangi mereka.

 

REPUBLIKA

 

———————————-
Download-lah Aplikasi CEK PORSI HAJI dari Smartphone Android Anda agar Anda juga bisa menerima artikel keislaman ( termasuk bisa cek Porsi Haji dan Status Visa Umrah Anda) setiap hari!

 

KH M Syafi’i Hadzami, Guru Para Ulama (1)

Kehidupannya didedikasikan untuk mendidik umat dan menjadi guru dari sejumlah ulama terkemuka di Jakarta.

Nama KH M Syafi’i Hadzami begitu lekat di hati umat Islam, terutama masyarakat Betawi. Kepakarannya di bidang ilmu agama sangat tersohor ketika itu. Ilmu agama yang ia miliki disebarluaskan kepada masyarakat, ibarat lentera yang tak henti-hentinya berbagi cahaya terang.

Kepiawaian dalam agama tokoh yang lahir di Batu Tulis, Kebayoran, Jakarta Selatan, itu diwarisi dari sang kakek. Sejak kecil ia dititipkan oleh sang ayah agar tinggal bersama kakeknya untuk mendalami agama, seperti ilmu Alquran.

Bahkan, ia berhasil mengkhatamkan Alquran pada usia sembilan tahun dan mengajarkan kitab suci tersebut kepada kawan-kawannya.

Bakat ulama yang lahir dengan nama kecil Muhammad Syafi’i bin M Sholeh Raidi itu sebagai pendidik, terus terasah hingga dewasa. Banyak tokoh yang belakangan menjadi ulama terkemuka Betawi, belajar langsung kepada Syafi’i. Di antaranya, Ali bin Abd Rohman al-Habsyi atau dikenal dengan Habib Ali Kwitang dan Ali bin Husein al-Athas atau dikenal dengan Habib Ali Bungur.

Majelis taklim ulama yang lahir pada 31 Januari 1931 atau 12 Ramadhan 1349 Hijriah itu tersebar di lima wilayah ibu kota, bahkan sampai merambah ke daerah Jawa Barat. Setidaknya, 30 majelis taklim yang berada di bawah asuhannya. Atas keluasan cakrawala keilmuan yang ia miliki, ia kerap disanjung dengan pujian “Sumur yang tak pernah kering”.

Pembaruan

Meski tumbuh dan berkembang di lingkungan Islam tradisionalis, Syafi’i tak antipati terhadap perubahan. Ia sangat terbuka dengan pembaruan. Di tengah-tengah kehidupan yang dinamis, perlu penafsiran teks-teks agama yang selaras dengan tuntutan zaman.

Syafi’i meyakini pembaruan tersebut merupakan bentuk kontekstualisasi keagamaan. Di satu sisi, ia bersikap luwes dan tidak kaku, di saat yang sama ia tetap terbuka dari proses modernisasi. Asalkan tidak keluar dari relnya dan ditangani oleh orang yang memiliki persyaratan-persyaratan untuk itu.

 

REPUBLIKA