Membantah Argumen Ustadz Alfian Tanjung Terkait Anti Vaksinasi

 Kita tidak bervaksin, karena vaksinansi secara sejarahnya selalu hanya dialamatkan kepada orang-orang lemah yang multi player efek.  Untuk vaksin Covid-19, masih sangat kontroversial, masih sangat polemik. ,” Itulah ungkapan yang dikatakan oleh Ustadz Alfian Tanjung, dalam kanal Youtube dengan nama yang sama dengan beliau. Ia mengambil judul bahasan “Dilema Vaksinasi”.

Tema Dilema Vaksinasi sengaja dibahas oleh Ustadz Alfian Tanjung (Selanjutnya akan ditulis dengan UAT)  sebagai kritik terhadap pemerintah yang mendatangkan vaksin Sinovac dari China. Pasalnya, UAT dalam pelbagai forum dan kesempatan selalu menunjukkan sikap anti terhadap RRC. Terlebih pada paham komunis yang dianut negera ini.

Persoalan kedua, UAT dalam akaun Youtube tersebut sempat menyetir bahaya vaksinasi. Ia menduga gerakan vaksinansi sebagai bagian dari depopulasi umat manusia. Hal itu menurut UAT tergambar dalam sidang Persirakatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1992. Dalam sidang ini ujungnya membahas depopulasi umat manusia. Dalam sidang, katanya, orang Yahudi mengklaim bahwa yang berhak hidup di muka bumi ini hanya 500 juta jiwa.

Berdasarkan asumsi tadi, menurut UAT sudah saatnya umat Islam bergerak  untuk menyelamatkan generasi Indonesia.  Tentu dengan cara; tidak ikut dalam vaksinasi. Pasalnya vaksinasi secara sejarahnya selalu hanya dialamatkan pada orang lemah. Dan sebagai upaya depopulasi umat manusia. Vaksin Sinovac pun buatan China. Lebih lanjut, vaksin  memiliki efek yang belum tentu dapat menyembuhkan.

Yang sangat menggelitik dari pendapat UAT adalah cara untuk menyelamatkan generasi Indonesia di era Pandemi. Solusinya dengan tidak ikut vaksin. Untuk mendukung argumennya, UAT pun mengutip firman Tuhan, Q.S an-Nisa ayat 9. Dalam ayat ini menurutnya menyelamatkan generasi penerus Islam sesuai dengan perintah Allah.

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya; Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Gerakan Anti Vaksin

Tak bisa dipungkiri, isu vaksin sebagai cara depopulasi umat manusia sudah ada sejak dahulu. Gerakan anti vaksin pun sudah eksis di dunia sejak dahulu—jauh hari sebelum Covid-19 muncul—, bukan isu baru. Perjalanan gerakan ini cukup panjang dan lama. Yang menarik, para sound maker gerakan ini selalu membumbui dengan teori konspirasi. Seolah dunia dikendalikan oleh elit global, dan bla bla bla.

Menurut Windu Yusuf dalam artikel Bagaimana Gerakan Anti Vaksin Mendunia? Dengan mengutip karya ilmiah Robert M. Wolfe Anti-vaccinationists Past and Presen, mencatat bahwa London, Inggris pernah menjadi pusat anti vaksin dunia. Pada 1867, Anti-Vaccionation League pun resmi berdiri.

Dalam catatan Robert Wolfe, dari Inggris gerakan vaksin pun meluas ke Swedia. Pelbagai aksi demontrasi digelar dalam rangka menolak vaksinasi yang dicanangkan pemerintah. Gerakan ini berdalih, vaksin adalah sebuah bukti nyata pemerintah gagal memberikan jaminan kesehatan yang baik bagi warga negara.

Pun di Amerika, dalam artikel Windu Yusuf tertulis William Tebb melancong ke New York, Amerika Serikat. Aktivis anti vaksin dari London itu sengaja berkunjung ke negeri Paman Sam untuk menyebarkan gagasan menolak pelbagai vaksin. Dekade 1880-an, terbentuklah gerakan anti vaksin di Amerika Serikat. Gerakan anti vaksin ini berhasil menancapkan hegemoninya, dan sukses membatalkan UU wajib vaksin di beberapa negara bagian; Indiana, Illinois, dan California

Membedah Tafsir Q.S an-Nisa; ayat 9

UAT dalam kanal Youtube bernama Ustadz Alfian Tanjung, menyebutkan bahwa upaya menyelamatkan generasi Islam, yaitu dengan tidak vaksin. Ia mengutip Q.S an Nisa ayat 9 sebagaimana diterangkan di atas.

Lantas bagaimana tafsir Q.S  an Nisa  ayat 9 di atas?

Bila kita merujuk pada kitab Tafsir Ibnu Katsir karya mad ad-Din Abu al-Fida Ismail Ibn Amar Ibn Katsir Ibn Zara’ al-Bushra al-Dimasiqy, menyebutkan bahwa ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki yang sedang sakit dan menunggu ajalnya. Lelaki tersebut meninggalkan wasiat yang memberatkan terhadap ahli warisnya.

Mendengar wasiat lelaki tersebut, Allah menurunkan ayat ini, agar orang yang mendengar wasiat lelaki tersebut segera bertakwa pada Allah dan yang hadir untuk membimbing si sakit dan meluruskan terhadap jalan yang benar, berupa meninggalkan wasiat yang tak memberatkan bagi ahli warisnya.

قال علي بن أبي طلحة ، عن ابن عباس : هذا في الرجل يحضره الموت ، فيسمعه الرجل يوصي بوصية تضر بورثته ، فأمر الله تعالى الذي يسمعه أن يتقي الله ، ويوفقه ويسدده للصواب ، ولينظر لورثته كما كان يحب أن يصنع بورثته إذا خشي عليهم الضيعة

Artinya; berkata Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ini menceritakan seorang lelaki yang datang menjenguk orang meninggal, maka lelaki itu mendengar seorang laki-laki (yang ia jenguk) berwasiat dengan suatu wasiat yang memberatkan bagi ahli warisnya.  Maka Allah menyuruh kepada orang yang mendengar wasiat tersebut, hendaknya ia bertakwa kepada Allah , membimbing si sakit, memandang kepada ahli warisnya , sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu , bila dikhawatirkan mereka terlunta-lunta.

Lebih lanjut, ayat ini menegaskan terkait wasiat harta waris orang yang hendak meninggal. Al-Qur’an menyuruh si pewasiat hendaknya memikirkan ahli warisnya kelak tidak lemah secara finansial. Bila orang yang punya harta ingin menyedekahkan hartanya, harus juga memikirkan ahli warisnya.

Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dalam hadis ini diceritakan bahwa Rasulullah masuk ke rumah sahabat Nabi, Saad bin Abi Waqash. Ketika itu, Saad bertanya kepada Nabi, ia ingin menyedekahkan hartanya 2/3. Maka Nabi melarangnya. Takut meninggalkan mudharat bagi anak dan keturunannya.

وثبت في الصحيحين : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما دخل على سعد بن أبي وقاص يعوده قال : يا رسول الله ، إني ذو مال ولا يرثني إلا ابنة ، أفأتصدق بثلثي مالي ؟ قال : ” لا ” . قال : فالشطر ؟ قال : ” لا ” . قال : فالثلث ؟ قال : ” الثلث ، والثلث كثير ” . ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” إنك إن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس

Artinya;  Wahai Rasulullah aku mempunyai harta, sedangkan tak ada yang mewarisinya kecuali seorang anak perempuan ku, maka bolehkah aku menyedekahkan 2/3 dari hartaku? Rasulullah menjawab, “tidak boleh,”, kemudian Saad bertanya lagi, “Bagaimana kalau setengahnya?,”. Nabi mengatakan, “ Jangan,”. Saad bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya saja?,” Rasulullah menjawab,”sepertiganya sudah cukup banyak,”.

Kemudian nabi melanjutkan sabdanya, “sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli waris mu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik, daripadakamu membiarkan merekadala keadaan miskin dan meminta-minta pada orang lain.

Penafsiran serupa diungkapkan oleh Husein bin Mas’ud al Baghawi dalam kitab Maa’lim al Tanzil atau populer dengan Tafsir Baghawi. Imam Baghawi mengatakan bahwa Q.S an Nisa ayat 9, menerangkan larangan wasiat menyedekahkan harta secara berlebihan, sehingga memberatkan ahli warisnya kelak. Al  Baghawi berkata;

وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا ) أولادا ، خافوا عليهم ، الفقر , الخ.. فنهاهم الله تعالى عن ذلك ، وأمرهم أن يأمروه أن ينظر لولده ولا يزيد في وصيته على الثلث ، ولا يجحف بورثته

Artinya: ( hedaklah takut orang yang meninggalkan dibelakang mereka, keturunan yang lemah), artinya anak kecil, mereka takut menjadi orang yang fakir… Maka Allah melarang dengan demikian, dan Allah menyuruh mereka, untuk memandang anak-anakanya dan tidak menambah wasiatnya lebihdari sepertiga, dan jangan merugikan bagi ahli warisnya.

Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbah menafsirkan bahwa Q.S an Nisa ayat 9, menjelaskan terkait larangan melakukan perbuatan zalim terhadap anak-anak yatim. Hendaklah mereka merasa takut terhadap keturunannya yang lemah akan menerima perlakuan zalim sebagaimana yang dirasakan oleh anak-anak yatim.

Lebih lanjut, manusia diperintahkan Allah dalam mendidik dan bergaul dengan baik dan sopan santun. Berbicara kepada anak yatim dengan ucapan yang mengarah kepada kebenaran tanpa berlaku zalim kepada siapa pun. Itulah panduan dari Al-Qur’an untuk memuliakan anak yatim.

Tak dapat diragukan lagi, ayat ini memang memiliki beragam penafsiran. Tetapi yang palin kuat adalah larangan wasiat yang memberatkan bagi anak keturunan dalam soal harta warisan. Lebih lanjut, kehidupan tak berhenti pada kita generasi hari ini, namun akan terus berlanjut, untuk generasi berikutnya.

Nah terkait, adakah ayat ini mendukung upaya anti vaksinasi ala UAT seperti tercantum dlalam kanal Youtube itu? Tentu saja tak ada korelasi. Ayat ini sudah jelas mengingatkan generasi hari ini, untuk tak melupakan generasi mendatang. Artinya, untuk terus menyebarkan kehidupan. Justru ayat ini menekankan pentingnya merawat generasi ke mendatang.

Saat ini, terkait dengan penyebaran Covid-19, upaya terbaik dari pemerintah adalah vaksinasi. Menghadapi Covid-19, vaksin adalah cara terbaik hingga saat ini.  Kita boleh tak sepakat dengan pemerintah. Boleh saja memosikan diri sebagai oposisi pemerintah. Hal itu lumrah dalam demokrasi.

Tetapi penting diungkapkan—terutama publik figur, agamawan, tokoh masyarakat, politisi dan manusia yang memiliki pengaruh—, edukasi publik itu penting. Jangan justru membuat narasi negatif, yang bisa membuat dampak buruk terhadap masyarakat luas.

Bagaimana Syariat Islam dalam Persoalan Vaksinasi

Menurut Imam Al Ghazali, ada lima hal tujuan syariah. Dalam kitab Al-Mustashfa, Imam Ghazali berkata sebagai berikut:

ومقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة، ودفعها مصلحة

Artinya; Tujuan syariat yang berlaku atas makhluk ini ada 5, yaitu menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya. Segala kebijakanyang berorientasi pada penjaminan terhadap kelima dasar pokok ini disebut juga sebagai maslahah. Sebaliknya, kebijakan yang meninggalkan kelima asas dasar ini, maka termasuk mafsadah. Oleh karena itu, menolaknya, adalah tindakan yang maslahah.

Tak bisa dipungkiri, vaksinasi Covid-19 sejatinya merupakan ikhtiar untuk mengakhiri pandemi. Vaksin Covid-19 digalakkan untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Dan juga sebagai bentuk kebijakan pemerintah agar terhindar dari risiko terinfeksi virus corona. Pendek kata; Vaksin adalah usaha mujarab (hingga saat  ini) untuk menekan laju Covid-19.

Ulama dunia juga telah menganjurkan masyarakat Islam untuk ikut andil dalam vaksinasi. Sebut saja Dar Ifta Mesir, Lajnah Daimah, Saudi Arabia, Lembaga Fatwa Uni Emirat Arab, dan juga pelbagai negara muslim lain. Vaksinasi adalah upaya untuk menyembuhkan bumi yang sedang tidak baik-baik saja.

Sementara itu, tertuang dalam kitab Nihayatul Muhtaj, karya seorang ulama besar, Syamsuddin Muhammad bin Abul Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin al Ramli al Manufi al Mishri al Anshori, menyebutkan bila seseorang tertimpa penyakit, maka ia dianjurkan syariat untuk berobat. Perintah untuk berobat adalah sunat hukumnya.

ويسن للمريض التداوي لحديث إن الله لم يضع داء إلا وضع له دواء غير الهرم. وروى ابن حبان والحاكم عن ابن مسعود ما أنزل الله داء إلا وأنزل له دواء ، جهله من جهله وعلمه من علمه

Artinya; Sunat hukumnya orang yang sakit untuk berobat. Pendapat ini berdasarkan hadis Nabi; ‘Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Allah pun telah menurunkan obat bagi penyakit tersebut, kecuali penyakit pikun.

Sekali lagi, UAT menurut saya keliru dengan statment terkait mengutip an Nisa ayat 9 sebagai usaha melegitimasi tidak vaksin. Ayat ini justru mendukung upaya menyelamakan dan menciptakan generasi terbaik ke depan. Generasi yang tidak lemah, secara ekonomi, sosial, dan politik. Dan dalam konsisi Covid-19, vaksin adalah upaya terbaik untuk memutus penyebarannya.

BINCANG SYARIAH