Ketika Wanita Hadir di Masjid (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Ketika Wanita Hadir di Masjid (Bag. 1)

Syarat-Syarat Jika Wanita Pergi ke Masjid

Wanita yang hendak pergi ke masjid, hendaklah memenuhi syarat-syarat berikut ini, selain syarat yang telah kami sebutkan di seri sebelumnya (yaitu meminta izin suami):

Pertama, tidak memakai minyak wangi

Dari Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami,

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا

“Apabila salah seorang dari kalian kaum wanita hendak menghadiri shalat di masjid, maka janganlah kalian memakai wangi-wangian.” (HR. Muslim no. 443)

Artinya, jika kalian para wanita ingin pergi ke masjid, janganlah memakai minyak wangi. Minyak wangi adalah di antara sebab fitnah karena bisa membangkitkan syahwat para lelaki. Seorang wanita yang ingin pergi ke masjid hendaklah berada dalam kondisi menutupi diri sebaik-baiknya, dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang bisa membangkitkan syahwat para lelaki. 

Kedua, menundukkan pandangan.

Hendaklah para wanita menundukkan pandangannya dari laki-laki ajnabi (laki-laki asing, yaitu lelaki non-mahram). Allah Ta’ala berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS. An-Nuur [24]: 31) 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya, dari melihat yang haram, yaitu selain suami mereka. Oleh karena itu, banyak ulama berpendapat bahwa tidak boleh atas seorang wanita untuk melihat lelaki ajnabi (yaitu, lelaki yang bukan mahram, pent.) baik dengan syahwat ataupun tanpa syahwat … “ (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 46)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang shahih yang menjadi pendapat jumhur ulama dan mayoritas shahabat adalah diharamkan atas wanita untuk melihat lelaki ajnabi, sebagaimana kaum lelaki juga diharamkan memandang kaum wanita.” (Syarh Shahih Muslim, 10: 353)

Tidak diragukan lagi bahwa fitnahnya sama. Sebagaimana lelaki memandang wanita merupakan sebab terfitnahnya kaum lelaki, demikian pula sebaliknya. 

Ketiga, jalan menuju masjid adalah jalan yang aman.

Jika jalan dari rumah menuju masjid itu tidak aman, misalnya dikhawatirkan adanya orang-orang bermoral bejat yang mungkin akan mengganggu, maka tidak boleh bagi wanita untuk pergi menuju masjid. Karena memungkinkan akan timbul bahaya dan kerusakan. 

Keempat, memakai hijab syar’i.

Syarat berikutnya adalah memakai hijab syar’i yang menutupi seluruh badannya. Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir, pergi ke masjid dalam kondisi tidak memakai hijab syar’i. Dia pergi dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala, padahal beribadah di rumahnya itu lebh afdhal, akan tetapi dia kembali dengan membawa dosa yang besar karena fitnah yang dia timbulkan baik bagi dirinya sendiri atau orang lain, yaitu menggerakkan dan membangkitkan syahwat para lelaki. 

Kelima, tidak bercampur baur dengan kaum lelaki. 

Seorang wanita tidak boleh bercampur baur dengan kaum lelaki, baik ketika di jalan menuju masjid atau ketika berada di masjid. Dia tidak boleh maju menuju shaf kaum lelaki atau menuju tempat kaum lelaki. Akan tetapi, dia shalat di belakang kaum lelaki dan menjauh dari mereka. 

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf bagi kaum laki-laki adalah shaf di depan, dan sejelek-jelek shaf adalah shaf di belakang. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf di belakang, dan sejelek-jelek shaf adalah shaf di depan.” (HR. Muslim no. 440)

Keenam, tidak meninggikan suara.

Yaitu, tidak meninggikan suara sehingga bisa didengar oleh kaum lelaki, baik ketika membaca bacaan shalat, mengucapkan “aamiin”, atau ketika mengingatkan imam yang lupa (namun cukup dengan tepuk tangan). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ، وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ

“Ucapan tasbih hanyalah buat laki-laki, sedangkan bertepuk tangan buat wanita.” (HR. Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422)

Ketujuh, pulang dari masjid sebelum kaum lelaki.

Hal ini agar mereka tidak berdesak-desakan dengan kaum lelaki di jalan-jalan atau pintu keluar masjid. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَلَّمَ يَمْكُثُ فِي مَكَانِهِ يَسِيرًا قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَنُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ لِكَيْ يَنْفُذَ مَنْ يَنْصَرِفُ مِنَ النِّسَاءِ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai salam, beliau tetap berdiam di tempatnya sejenak.” Ibnu Syihab berkata, “Menurut kami -dan Allah yang lebih tahu-, hal itu agar wanita yang akan pergi punya kesempatan.” (HR. Bukhari no. 802)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terkandung faidah bahwa seorang imam itu memperhatikan keadaan makmumnya, berhati-hati dengan menjauhi perkara yang bisa mendatangkan kejelekan. Di dalamnya juga terkandung faidah menjauhi tempat-tempat yang mengkhawatirkan (akan timbul fitnah), dan haramnya campur baur antara lelaki dan perempuan di jalan-jalan, lebih-lebih di dalam rumah.” (Fathul Baari, 2: 336)

Oleh karena itu, wanita harus menghindarkan diri dari berdesak-desakan dengan kaum lelaki di pintu-pintu masjid, lebih-lebih ketika selesai shalat. Agar terhindar dari itu, bisa jadi dengan: (1) menunggu sampai mayoritas jamaah lelaki sudah meninggalkan masjid; atau (2) segera pergi dari masjid setelah imam mengucapkan salam sebelum kaum lelaki meninggalkan masjid.

Telah diketahui bahwa dianjurkan bagi kaum lelaki untuk memastikan bahwa jamaah wanita telah keluar dari masjid, sebelum mereka pergi meninggalkan masjid. Akan tetapi, mayoritas orang belum memahami masalah ini.

Kesimpulan

Ringkasnya, seorang wanita diperintahkan untuk menutupi diri dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang bisa membangkitkan syahwat kaum lelaki ketika keluar dari rumahnya secara umum, dan ketika pergi ke masjid secara khusus. 

Oleh karena itu, kami nasihatkan kepada para wanita, agar memperhatikan batasan-batasan yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Hendaklah dia mengetahui dengan yakin bahwa Dzat yang memerintahkan dia shalat dan membolehkan dia pergi ke masjid, itu juga Dzat yang memerintahkan dia untuk berhijab, berhias diri dengan rasa malu dan kesederhanaan. Bagaimana mungkin dia hanya menaati Allah Ta’ala dalam perkara yang pertama, namun durhaka pada perkara yang kedua?

Bagaimana mungkin dia mendapatkan pahala dengan menerjang larangan-Nya? Bagaimana mungkin dia melakukan perkara yang mubah (pergi ke masjid) sedangkan sarananya adalah sarana yang haram?

Tidaklah jauh kemungkinan bahwa shalat wanita tersebut adalah shalat yang berkurang nilai pahalanya. Karena perbuatan maksiat, jika tidak membatalkan pahala suatu amal ibadah, minimal bisa mengurangi pahala amal ibadah tersebut. 

[Selesai]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55646-ketika-wanita-hadir-di-masjid-bag-2.html

Ketika Wanita Hadir di Masjid (Bag. 1)

Syariat telah membolehkan bagi para wanita untuk pergi ke masjid dan shalat bersama kaum muslimin di masjid. Namun bersamaan dengan hal itu, syariat juga memotivasi kaum wanita untuk shalat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya, dan tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain.

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Dawud no. 567, shahih)

Dari Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ

“Wahai Rasulullah, aku senang shalat bersamamu.” 

Kemudian  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ 

“Sungguh aku sudah tahu. Namun shalatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Shalatmu di kamar itu lebih baik daripada shalatmu di ruang tengah rumahmu. Shalatmu di rumahmu itu lebih baik daripada shalatmu di masjid kampungmu. Dan shalatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini.” 

Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat shalat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan biasa melakukan shalat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (yaitu hingga beliau wafat). (HR. Ahmad 37: 45, dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Alasan bahwa shalat wanita di tempat yang tertutup (tersembunyi) itu lebih afdhal adalah karena terwujudnya rasa aman dari adanya fitnah. Hal ini dikuatkan lagi setelah apa yang ditampakkan oleh wanita baik berupa tabarruj maupun menampakkan perhiasan.” (Fathul Baari, 2: 350)

Jika Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan yang demikian itu di abad kesembilan, lalu bagaimana lagi jika beliau dan ulama lainnya melihat para wanita di zaman kita sekarang ini, yang keluar rumah dalam keadaan ber-tabarruj, memakai minyak wangi, dan memakai pakaian namun hakikatnya telanjang? 

Tidak diragukan lagi bahwa dalam kondisi yang demikian itu, terlarang bagi mereka keluar menuju masjid atau selain menuju masjid. Wajib atas walinya untuk melarang dan tidak memberikan izin baginya. Akan tetapi, di manakah kecemburuan para wali yang mengawasi mereka? Bahkan mayoritas mereka tidaklah peduli sama sekali.

Pen-syarah Musnad Imam Ahmad rahimahullah berkata,

“Diambil faidah dari hadits ini -yaitu hadits Ummu Humaid- disyariatkannya seorang wanita untuk menutupi diri dalam segala sesuatu sampai-sampai ketika shalat dan ketika beribadah kepada Rabb-nya. Dan setiap kali dia beibadah di tempat yang lebih tertutup, maka pahalanya lebih besar dan lebih banyak. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk untuk shalat di tempat yang paling tertutup di rumahnya dan di tempat yang paling jauh dari manusia. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memberikan petunjuk kecuali untuk meraih kebaikan. Maka Ummu Humaid pun bersegera untuk beramal sesuai dengan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebutUmmu Humaid pun meminta untuk dibuatkan tempat shalat untuknya di sisi rumahnya yang paling jauh dan paling gelap. Dan beliau terus-menerus beribadah kepada Allah Ta’ala sampai meninggal dunia, semoga Allah Ta’ala merahmatinya.” (Buluughul Amaani, 5: 199)

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً بِالْعِشَاءِ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَفْشُوَ الْإِسْلَامُ فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى قَالَ عُمَرُ نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَخَرَجَ فَقَالَ لِأَهْلِ الْمَسْجِدِ مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرَكُمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat ‘isya ketika malam telah masuk sepertiga akhir malam (‘atamah), dan itu terjadi ketika Islam belum luas tersebar. Beliau tidak juga keluar hingga ‘Umar berkata, “Para wanita dan anak-anak sudah tidur!” Maka beliau pun keluar dan bersabda kepada orang-orang yang ada di masjid, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian.” (HR. Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)

Hadits ini menunjukkan adanya wanita yang hadir di masjid di zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka menghadiri shalat jama’ah di masjid. Hal itu tidaklah wajib atas mereka. 

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Adapun wanita, tidak ada perbedaan pendapat bahwa kehadiran mereka untuk shalat jama’ah tidaklah wajib. Telah terdapat riwayat yang shahih bahwa wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di kamar mereka, tidak keluar menuju masjid.” (Al-Muhalla, 4: 196)

Jika seorang wanita meminta izin hendak menuju masjid, baik meminta izin kepada suami atau kepada walinya, maka hendaknya mereka para wanita memiliki komitmen untuk berpegang dengan persyaratan-persyaratan yang ada. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ

“Jika istri-istri kalian minta izin ke masjid di waktu malam, maka berilah mereka izin.” (HR. Bukhari no. 865 dan Muslim no. 442)

Juga dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ

“Janganlah kalian menghalangi kaum wanita untuk pergi ke masjid Allah.” (HR. Muslim no. 442)

Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang wanita yang hendak pergi ke masjid, hendaklah meminta izin dari suami. Sebagai konsekuensi dari meminta izin, suami boleh saja melarang istri ke masjid jika suami melihat ada maslahat jika istri shalat di rumah dan tidak ke masjid. Jika suami dituntut “harus” mengizinkan, maka redaksi hadits di atas menjadi sia-sia. Karena hal itu artinya bukan meminta izin, tetapi sekedar pemberitahuan kepada suami.

Syarat-syarat untuk para wanita yang akan pergi ke masjid akan kami bahas di seri selanjutnya dari tulisan ini.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55629-ketika-wanita-hadir-di-masjid-bag-1.html