Mendoakan Orang Tua yang Meninggal, Sampaikah?

Seorang anak sudah sepatutnya selalu mendoakan kedua orang tuanya saat ajal sudah menjemput mereka. Hal ini karena doa anak akan menjadi tumpuan orang tua saat berada di alam akhirat.

Dalam ajaran Islam telah dijelaskan bahwa terdapat tiga amal perbuatan yang tidak pernah terputus ketika ajal menjemput kedua orang tua kita. Hal ini sudah ditegaskan dalam sebuah hadis yang artinya,

“Bila manusia telah mati maka putuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu Shadaqah jariyah, ilmu pengetahuan yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akannya. (Shahih Muslim, IV, 71-72).

Hadis ini secara tersirat menjelaskan bahwa untaian doa seorang anak kepada orang tuanya menjadi sangat berarti bagi ketenangannya di alam barzah. Doa anak diibaratkan air yang bisa menyejukkan dan menyegarkan dahaga saat di padang tandus.

Namun, apakah doa anak shaleh tersebut sampai kepada orang tua yang telah meninggal? Padahal, Allah telah berfirman, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya“. (QS Al-Najam [53]: 39).

Terkait hal ini terjadi perbedaan pendapat dalam mazhab. Menurut mazhab Imam Syafi’i seseorang tidak bisa memberikan manfaat dalam bentuk apa pun kepada orang tua yang sudah meninggal. Sementara, mazhab Imam Hanafi, Imam Maliki, dan mazhab Hambali berpendapat bahwa doa itu pasti sampai dan sangat bermanfaat bagi orang yang telah mati.

Menyikapi perbedaan tersebut, ulama Al-Syawkani mencoba mengambil jalan tengah di antara kedua pendapat tersebut. Menurut dia, keberadaan anak tersebut juga termasuk dalam usaha yang dilakukan oleh orang tua, sehingga hal itu termasuk dalam bingkai makna ayat dalam surah Al-Najam tersebut. Dengan demikian, pahala doa seorang anak akan sampai kepada orang tuanya yang sudah meninggal.

 

sumber: Republika Online

Wanita Berziarah Kubur, Bolehkah?

Di Indonesia, sudah hal yang umum bagi kaum perempuan untuk ikut berziarah ke permakaman. Apalagi, yang akan dikebumikan adalah anggota keluarga atau kerabat. Kaum perempuan tak ingin ketinggalan pahala menyelenggarakan jenazah.

Apalagi jelang memasuki bulan Ramadhan, banyak masyarakat berbondong-bondong berziarah kubur. Seperti diketahui, tawaran pahala bagi yang menyelenggarakan jenazah hingga permakaman sangatlah besar, yakni dua qiradh (sebesar Gunung Uhud).

Berbeda halnya ketika jamaah haji atau umrah ingin memasuki permakaman Baqi’ yang letaknya bersebelahan dengan Masjid Nabawi, Madinah. Secara umum di Arab Saudi, kaum perempuan dilarang memasuki area permakaman. Saudi dan beberapa negara lainnya punya pemahaman fikih tersendiri.

Mereka mengharamkan kaum perempuan untuk masuk ke permakaman, walau yang dimakamkan adalah keluarganya sendiri. Mereka hanya berdiri di pagar dan pintu permakaman karena tidak diperbolehkan masuk.

Para ulama memang berbeda pendapat tentang hukum berziarah kubur bagi kaum perempuan. Ada ulama yang mengharamkan secara mutlak, haram dengan persyaratan, makruh, dan ada pula yang mubah (membolehkannya).

Ulama yang mengharamkannya seperti Mazhab Hanbali yang dipakai Arab Saudi berdalil dengan hadis Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas RA, “Rasulullah melaknat para wanita yang menziarahi kubur dan menjadikannya masjid dan memberikan penerangan di atasnya.” (HR Abu Daud). Kelompok ulama ini mengharamkan secara mutlak baik menimbulkan fitnah maupun kemudharatan atau tidak.

Selain hadis dari Ibnu Abbas RA, hadis dari jalan yang berbeda, yakni Abu Hurairah RA juga punya redaksi yang hampir sama, yaitu “Bahwa Nabi SAW telah melaknat para wanita yang berziarah kubur.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi). Kedua hadis ini dipercaya sahih dan bisa dijadikan hujah dalam menetapkan hukum.

Ulama lainnya dari mazhab yang sama membuat beberapa pengecualian dari keumuman hadis ini. Ziarah kubur bagi wanita diharamkan apabila menimbulkan fitnah. Mereka berdalil dengan hadis Abdullah bin Murroh dari Masruq dari Abdullah dari Nabi SAW bersabda, “Bukan dari kami orang yang menampar pipi, menyobek baju, dan mencaci dirinya dengan cacian jahiliyah.” (HR Bukhari).

Hadis ini mengindikasikan perangai kaum perempuan di masa itu yang suka meratap dan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik. Wanita sangat mudah terpancing secara emosional, apalagi ketika menyaksikan keluarganya dimasukkan ke liang lahat. Dikhawatirkan mereka akan meratap atau merusak psikologisnya. Namun, jika illah (halangan) ini bisa ditiadakan, para ulama tersebut bisa memperbolehkannya.

Ulama lainnya menghukum makruh bagi wanita berziarah kubur. Ulama yang memakruhkan di antaranya Ahmad dan Mazhab Syafi’iyah. Mereka mengambil jalan tengah dari dua hadis yang mengharamkan dan membolehkan. Hadis yang melaknat wanita berziarah kubur sahih, sedangkan hadis dari Aisyah RA tentang pembolehan wanita berziarah kubur juga sahih. Jadi, jalan tengahnya adalah makruh.

Di samping itu, ulama kelompok ini berdalil dengan hadis dari Ummu ‘Athiyah yang mengatakan, “Kami dahulu dilarang untuk mengikuti jenazah, namun hal itu tidak dipastikan kepada kami.” (HR Bukhari Muslim).

Ulama lainnya yang berpendapat serupa, Ishaq bin Rohuyah, dalam Fathul Barri (juz XXIV hal 196–198) mengatakan, pelaknatan menggunakan lafaz az Zuwaroot (peziarah kubur wanita) maknanya adalah para wanita yang banyak berziarah. Jika hanya sekali berziarah dalam seumur hidupnya, hal ini tidaklah bisa dikategorikan az Zuwaroot. Hal ini juga dikuatkan dengan perbuatan Aisyah RA yang hanya berziarah sekali sehingga ia tidak disebut Az Zuwaroot.

Selain mengharamkan secara mutlak, haram bi asy-Syarth, dan makruh, ada juga ulama yang membolehkannya. Pendapat ini seperti dinukilkan Ibnu Buraidah yang berpendapat bahwa pelarangan tersebut hanya ada di awal-awal keislaman. Tujuannya agar umat Islam bisa menjaga akidah yang benar.

Pada masa jahiliyah, banyak sekali kurafat dan tahayul seputar kuburan. Bahkan, ada yang menyembah atau mengagung-agungkan kuburan. Inilah alasannya mengapa ziarah kubur dilarang.

Ketika keimanan umat Islam sudah kuat, pelarangan ziarah kubur di mansukh (dihapus) oleh hadis Rasulullah SAW, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur maka ziarahilah.” (HR Muslim). Para ulama berpendapat, kebolehan hadis ini menghukum semua jenis baik laki-laki maupun perempuan.

Pendapat ulama yang terkuat dan bisa dijadikan hujah adalah jalan tengah, seperti hukum yang dipakai Mazhab Syafi’i dan Ahmad. Hukum bagi wanita untuk berziarah kubur adalah makruh  karena di samping ada manfaatnya, juga terdapat mudharat bagi kaum perempuan.

Dari aspek manfaatnya, ziarah kubur bisa mengingatkan pada kematian. Suatu saat nanti, si peziarah juga akan bernasib sama dengan mayit yang diziarahi. Untuk itulah, si peziarah bisa mempersiapkan diri di dunia agar bisa khusnul khatimah ketika dicabut nyawanya. Ia punya kesadaran bahwa dunia tidak kekal. Suatu saat nanti dia akan melewati fase alam kubur, seperti yang ia lihat di depan matanya.

Aspek mudharatnya, wanita dikenal sebagai makhluk yang mudah terbawa perasaan. Dikhawatirkan wanita yang larut dalam kesedihan akan mengeluarkan kata-kata ratapan atau ucapan yang menentang takdir.

Sekurang-kurangnya akan tertanam dalam hatinya ratapan dan pengingkaran akan takdir. Adalah sahih dalam fikih Islam bahwa meratap dan mengingkari takdir adalah perbuatan haram dan berkaitan dengan keimanan dan akidah.

Wanita hendaknya mempertimbangkan manakah yang lebih kuat aspek maslahat atau mudharat bagi dirinya.

Dalam Aunul Ma’bud (juz V hal 43) disebutkan, syariat pengharaman suatu perbuatan apabila kemudharatannya lebih kuat daripada kemaslahatannya. Karena kuatnya kemudharatan ketika kaum perempuan berziarah kubur inilah, banyak para ulama yang memakruhkan bahkan sampai mengharamkannya. Allahu A’lam.

 

sumber: Republika Online