perbedaan 4 madzhab

Teladan Imam asy-Syafi‘i untuk Mengukuhkan Toleransi Bermazhab

Syekh ‘Abd al-Fattah al-Yafi‘i membahas masalah tabarrukan dalam Islam secara komprehensif dan komparatif dalam at-Tabarruk bi ashShalihin bain al-Mujizin wa al-Mani‘in (2010). Beliau meneliti secara akademis masalah tabarrukan dengan orang-orang saleh dan atribut-atributnya (seperti bajunya, peluhnya, rambutnya, ludahnya, sisa-sisa makanan dan minumannya dan lain sebagainya) menurut ulama yang membolehkan dan ulama yang melarang dan menyajikan dalil-dalil mereka masing-masing secara runtut (sistematis).

Dalam penelitian ini, sebagaimana disebutkan secara ringkas di bagian cover belakang, beliau menyajikan sekitar tiga ratus dalil para ulama yang membolehkan tabarrukan dengan orang-orang saleh dan bekas-bekasnya. Beberapa dalil tersebut meliputi hadis, atsar (perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada selain Rasulullah saw., seperti para sahabat dan tabi‘in), pendapat para ulama, dan praktik-praktik tabarrukan. Bahkan masih terdapat beberapa atsar dan pendapat para ulama lain yang sengaja tidak disebutkan dalam penelitian tersebut karena khawatir terlalu panjang. (Baca: Hukum Minum Bekas Air Wudhu Kiai dan Orang Saleh)

Melalui penelitian ini, beliau menegaskan bahwa tabarrukan dengan orang-orang saleh dan bekas-bekasnya adalah masalah furu‘ (cabang), bukan ushul al-i‘tiqa(keyakinan dasar Islam yang pokok). Menurutnya, masalah furu‘ seperti tabarrukan selama-lamanya tidak bisa dijadikan landasan dan legitimasi untuk saling mengafirkan, membid‘ahkan, dan bercerai-berai di antara sesama Muslim.

Beliau menegaskan bahwa di zaman modern sekarang ini umat Islam seharusnya sama-sama bergandengan tangan, menjalin persatuan yang kokoh, dan menghindarkan diri dari perpecahan (bukan perbedaan). Meminjam istilah Sayyid Muhammad Rasyid Ridh: nata‘awanu fima ittafaqna ‘alaih wa ya‘dziru ba‘dhuna ba‘dhan fima ikhtalafna fihi (kita saling bantu-membantu dalam masalah yang kita sepakati dan saling menghormati terhadap masalah yang kita perselisihkan).

Oleh kerena itu, Syekh ‘Abd al-Fattah al-Yafi‘i menyayangkan sebagian orang yang membesar-besarkan masalah tabarrukan dan menempatkan masalah tersebut di luar tempatnya. Bahkan mereka menganggap masalah tersebut sebagai bagian dari ushul al-i‘tiqad. Sehingga mereka mengafirkan orang-orang yang memiliki tradisi atau kebiasaan tabarrukan dengan orang-orang saleh dan bekas-bekasnya. Sebab, hal ini pada gilirannya akan menyulut konflik dan perpecahan di antara sesama Muslim yang sejatinya bersaudara.

Dalam konteks Indonesia, kalangan Nahdlatul Ulama (NU) seringkali berhadapan dengan kalangan Salafi, baik dari segi wacana maupun aksi. Hal ini berkaitan dengan tuduhan kalangan Salafi-Wahhabi yang menganggap beberapa amaliah masyarakat NU sebagai sesat, bid‘ah, syirik, dan murtad (Achmad Syahid, Islam Nusantara: Relasi Agama-Budaya dan Tendensi Kuasa Ulama, 2019: 121).

Hal senada juga diungkapkan oleh Achmad Suchaimi dalam pengantar buku KH Ali Maksum Membela Kebenaran Amaliah Nahdhiyyin. Menurutnya, masyarakat NU (Nahdliyin) seringkali berhadapan dengan kalangan Kaum Modernis, Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), dan Salafi-Wahhabi.

Sebab, mereka sering menuduh beberapa praktik keagamaan kalangan Nahdliyin sebagai bid‘ah, sesat, kufur, dan syirik. Sehingga hal ini tidak jarang menimbulkan keresahan, perpecahan, dan bentrok fisik antara sesama Muslim. Padahal praktik keagamaan yang dipersoalkan tersebut hanyalah bersifat furû‘iyyah (cabang-cabang agama), bukan uṣûliyyah (pokok-pokok agama).

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyajikan sejarah dan teladan Imam asy-Syafi‘i ra. yang biasa tabarrukan dengan Imam Abu Ḥanîfah ra. (tokoh utama mazhab Ḥanafî). Padahal beliau seringkali bersebrangan dengan Imam Abu Ḥanifah ra. dalam masalah fikih. Bahkan beliau pernah mengkritik secara keras konsep istiḥsan yang dikembangkan dan dijadikan sebagai salah satu metode penemuan hukum Islam oleh Imam Abu Ḥanifah ra. dan para pengikutnya (Muḥammad Abu Zahrah, asy-Syafi‘i: Ḥayatuhu wa ‘Aṣruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu, 1978: 300-308).

Namun demikian, perbedaan masalah fikih dan ushul fikih ini tidak membuat Imam asy-Syâfi‘î ra. jemawa dan benci kepada Imam Abu Ḥanîfah ra. Beliau tetap rendah hati (tawaduk) dan bahkan “berguru” secara ruhani kepada Imam Abu Ḥanifah ra.

Disebutkan bahwa Imam asy-Syâfi‘î ra. setiap hari ziarah ke makam Imam Abû Ḥanîfah ra. dalam rangka tabarrukan dengannya. Ketika beliau memiliki hajat tertentu, maka beliau melaksanakan salat sunat dua rakaat dan kemudian menghampiri makam Imam Abu Ḥanîfah ra. Beliau berdoa kepada Allah atas hajat yang diinginkan tersebut di samping makam Imam Abu Ḥanifah ra. Tidak lama setelah itu, Allah mengabulkan permintaan Imam asy-Syâfi‘î ra. tersebut (at-Tabarruk bi aṣ-Ṣâliḥîn, hlm. 83).

Dalam hal ini, tidak heran apabila ulama sekelas Imam asy-Syâfi‘î ra. tabarrukan dengan Imam Abû Ḥanîfah ra. Sebab, Imam Abû Ḥanîfah ra. sewaktu masih hidup selain dikenal sebagai ahli fikih ternama, juga dikenal sebagai ulama yang wara dan hebat secara spiritual. Habib Zain bin Smith menyebutkan bahwa Imam Abû Ḥanîfah ra. menghidupkan malam-malamnya dengan salat satu rakaat yang diisi dengan membaca al-Qur’an.

Ketika bulan Ramadan, beliau khatam al-Qur’an sebanyak 120 kali dengan rincian: siang khatam 60 kali (sehari khatam 2 kali) dan dan malam khatam 60 kali (semalam khatam 2 kali) selama bulan Ramadan. Bahkan beliau pernah mengkhatamkan al-Qur’an di tempat wafatnya kelak sebanyak 7000 kali (al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 186-187).

Selain itu, Imam asy-Syâfi‘î ra. pernah tabarrukan dengan baju santrinya, Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. (tokoh utama mazhab Ḥanbalî). Disebutkan bahwa Imam asy-Syâfi‘î ra. bermimpi Rasulullah saw. dan menyuruh sang Imam seraya berkata: “tulislah sebuah surat dan sampaikan salamku kepada Aḥmad bin Ḥanbal. Katakan kepadanya bahwa kamu (Aḥmad bin Ḥanbal) akan mengalami ujian berat. Kamu akan dipaksa agar mengakui pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Namun, kamu jangan sekali-kali melayani kemauan mereka, maka Allah akan mengangkat derajat ilmumu sampai hari kiamat (at-Tabarruk bi aṣ-Ṣâliḥîn, hlm. 81).”

Imam asy-Syâfi‘î ra. pun menulis surat tersebut dan menyuruh ar-Rabî‘ mengantarkannya kepada Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. Setelah diterima, Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. menangis membaca isi surat tersebut. Bahagia atas kedatangan surat tersebut, akhirnya Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. melepaskan bajunya dan menyerahkannya kepada ar-Rabî‘ agar diberikan kepada Imam asy-Syâfi‘î ra. (hlm. 81).

Setelah diterima, maka Imam asy-Syâfi‘î ra. mencium dan mengusapkan baju tersebut kepada kedua matanya. Kemudian, beliau merendam baju tersebut dan memerasnya. Beliau menyimpan air perasan tersebut dalam sebuah botol. Hal ini dilakukan dalam rangka tabarrukan dengan Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra.

Oleh karena itu, Imam asy-Syâfi‘î ra. setiap hari membasuh wajahnya dengan air yang berada dalam botol tersebut. Dalam kesempatan lain, ketika ada sahabatnya yang sakit, maka Imam asy-Syâfi‘î ra. memberikan sebagian air tersebut kepada si sakit. Ketika si sakit mengusapkan air tersebut kepada tubuhnya, maka Allah menyembuhkannya seketika itu melalui air perasan baju Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. tersebut (al-Fawâ’id al-Mukhtârah, hlm. 569-570 dan at-Tabarruk bi aṣ-Ṣâliḥîn, hlm. 82). Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

BINCANG SYARIAH