Teori Gravitasi: Belajar Santun Walau Berkuasa

TERINGATLAH saya pada pelajaran fisika dasar saat sekolah dasar dahulu setelah mampu membaca “ini budi, ini bapak budi.” Isaac Newton adalah nama yang dikenalkan Pak Guru kepada kami untuk memahami teori gaya tarik bumi.

Saat sekolah di SMP, dikenalkanlah lebih lanjut tentang kaidah teori ini bahwa Gaya=Massa X Percepatan Grafikasi. Saat sekolah SMA, pelajaran teori meningkat sampai pada titik penghitungan angka-angka. Tak lebih dari itu.

Saat sudah menginjak dewasa, guru batin saya meminta saya memperhatikan beberapa jenis bebatuan dari berbagai ukuran yang dilemparkannya ke udara kemudian jatuh kembali ke bumi. Tak ada penjelasan selain senyum dan batuk kecil yang biasa menghiasi wajah kesehariannya. Sebagai santri saya hanya menunggu penjelasan saja, tak berani bertanya karena takut beliau tak berkenan.

Tepat pada malam Jum’at Legi (Jum’at Manis) beliau mengajak saya menemani malam beliau. Duduk saja di teras pondoknya. Beliau berbincang dengan para tamu, tapi tidak dengan saya. Baru saat jam dinding menunjukkan pukul 02.00 WIB, saat tamu-tamu sudah pamit pulang, beliau berkata: “Tahukah kamu pada teori gravitasi Sir Isaac Newton?” Saya tersentak kaget karena guru saya yang tak pernah sekolah selain belajar di langgar/mushalla ini menyebut teori fisika. Saya jawab: “iya.”

Beliau menjelaskan makna teori gravitasi itu dalam perspektif etika spiritual: “Tetaplah santun bagai bumi, bagai tanah. Jangan bangga dan gembira melampai batas sampai melompat tinggi kegirangan dengan penuh kesombongan. Ingatlah bahwa setinggi apapun kah melompat, kau akan menginjakkan kakimu di tanah kembali. Ini makna hakiki teori gravitasi itu. Pahami dan pulanglah.” Sayapun pulang dengan menunduk dan merenung.

Tetap santun, tetap merendah, meski hidup bertabur prestasi bermakna pelakunya itu telah menyesuaikan diri dengan hukum alam, sunnatullah. Orang semacam inilah yang namanya akan diabadikan alam, bahagianya dijaminkan oleh Sang Pencipta alam.

 

INILAH MOZAIK