Tingkatan Cinta Menurut Imam al-Ghazali dan Cinta Sejati Versi Plato

Manusia sebagai makhluk sosial tak pernah lepas dari hubungan pertemanan, kekeluargaan, dan cinta kasih. Antara satu individu dengan individu yang lain memilki hubungan dari yang telah disebutkan tadi. Namun, apakah sebenarnya yang membuat hubungan itu berjalan abadi? jawabannya tiada lain adalah cinta. Dengan cinta sesuatu tak pernah kering, tapi berjalan dengan kontinyu. Imam al-Ghazali mempunyai uraian mengenai tingkatan cinta.

Terlepas dari banyaknya definisi yang menjabarkan tentang cinta, penulis hanya akan memaparkan salah satu definisi yang ilmiah, obyektif dan logis yang dikemukakan oleh M Scott Peck dalam The Road Less Travelled. Ia mendefinisikan cinta sebagai “kemauan untuk mengembangkan diri sendiri dengan maksud memelihara pertumbuhan spiritual diri sendiri atau perkembangan spiritual orang lain”.

Perasaan cinta yang kita rasakan muncul karena di dalam tubuh diproduksi beberapa zat-zat tertentu yang sedikit membius otak dan efeknya bisa disamakan dengan efek narkoba. Salah satu zat ini dinamakan feromon. (Yoga P.W, Ilmu Pengetahuan Tentang Cinta, hal. 3)

Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang mencintai karena Allah dan hubungannya dengan cinta sejati, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai klasifikasi cinta menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Beliau membagi tingkatan cinta menjadi 4 macam kategori;

Pertama, cinta yang hadir karena faktor dzatiyyah yang melekat pada manusia. Misalnya mencintai karena kecantikan, lekuk tubuh, dan lain sebagainya. Percintaan semacam ini pada biasanya tidak bersifat langgeng, oleh karena itu cinta akan hilang bersamaan dengan kecantikan tersebut hilang lantaran sudah tua.

Kedua, cinta yang hadir di luar faktor dzatiyyah yang melekat pada manusia. Misalnya mencintai sebab kekayaan, keturunan, martabat, dan lain sebagainya. Percintaan semacam ini juga sama, tidak akan bersifat langgeng. Karena cinta tersebut tidak bersifat substansial yang hakiki, melainkan karena faktor lain.

Ketiga, cinta yang hadir lantaran orang yang dicintai dapat memberi kebahagiaan di akhirat. Misalnya mencintai Ulama, Ustadz, Syekh, dan lain sebagainya. Percintaan semacam ini baik lantaran hadirnya cinta disebabkan oleh faktor yang baik, namun masih belum masuk kategori cinta sejati atau hakiki.

Keempat, cinta yang hadir karena Allah dan untuk Allah. Cinta semacam ini tidak berkaitan dengan dunia dan akhirat, namun murni karena Allah. Sehingga apa saja yang berkaitan dengan Allah akan didekati, perkara yang dicintai oleh Allah akan dicintai juga, dan perkara yang dibenci oleh Allah akan dibenci pula. Misalnya mencintai seseorang sebab yang dicintainya adalah hamba Allah, bukan karena kecantikan dan lain sebagainya.

Dari macam-macam kategori tingkatan cinta di atas sudah dapat dibedakan antara mencintai karena Allah dan mencintai karena dunia atau selain Allah, yakni cinta karena Allah identik dengan mencintai juga terhadap apa-apa yang dicintai oleh yang dicintainya dan membenci apa-apa yang dibenci olehnya. Sementara mencintai karena dunia identik dengan tidak mencintai apa-apa yang dicintai oleh yang dicintainya dan tidak membenci apa-apa yang dibenci olehnya.

Untuk menguatkan pernyataannya tadi mengenai tingkatan cinta, Imam al-Ghazali memberi perumpamaan dengan syair yang dilantunkan oleh Qais dari kalangan bani ‘Amir;

أمر على الديار ديار ليلى … أقبل ذا الجدار وذا الجدارا

وما حب الديار شغفن قلبي … ولكن حب من سكن الديارا

“Aku berjalan menuju rumah, yakni rumahnya Layla. Kuciumi dinding demi dindingnya, namun bukanlah dinding yang telah melunakkan hatiku, akan tetapi seseorang yang bersemayam di dalam dinding.”

Dalam syair yang telah dilantunkan tadi menjelaskan bahwa Qais tidak hanya mencintai Layla, melainkan juga mencintai apa-apa yang berkaitan dengannya. Dia juga membenci apa-apa yang dibenci oleh Layla, lantaran cinta yang hadir dalam dirinya benar-benar murni yang bersifat substansi sekaligus hakiki.

Para sufi secara umum juga memberikan perbedaan terhadap dua kategori itu, menurut mereka mencintai karena Allah tergolong cinta sejati. Alasannya adalah apabila seseorang mencintai karena Allah tidak akan pernah sakit hati, sebab Allah selalu hadir kapanpun dia dibutuhkan dan selalu satu hati dengan seorang hamba yang mencintainya. Hal ini tentu berbeda dengan mencintai karena faktor yang selain Allah, sehingga akibatnya hanya yang mencintai karena Allah lah yang tergolong cinta sejati.

Pada intinya dari penjelasan para sufi tadi, cinta sejati mampu membuat pengidapnya untuk berbuat positif. Cinta sejati tak pernah mengharapkan balasan dari apa yang telah dilakukannya, sehingga tak pernah sakit hati sekalipun tak ada timbal balik. Keindahan, kemuliaan, serta keagungan yang ada dalam dirinya diletakkan pada porsi yang sepadan. Hal ini sesuai dengan pernyataannya plato yang mengklasifikasikan cinta menjadi 3 macam;

Pertama, cinta yang bersifat jasmaniah. Cinta semacam ini adalah keinginan untuk memiliki dan mencari suatu objek keindahan atau kebajikan demi kesenangan atau kepuasan.

Kedua, cinta persahabatan. Cinta semacam ini adalah perasaan yang ditujukan terhadap semua orang tanpa terkecuali, didorong oleh ketulusan hati, semata-mata demi kebahagiaan dan kesenangan orang lain.

Ketiga, cinta yang bersifat ketuhanan. Cinta semacam ini merupakan bentuk manifestasi dari karunia Tuhan dan cinta-Nya kepada manusia.

Untuk mengetahui perihal yang manakah yang dinamakan cinta sejati, kita bisa mengetahuinya melewati kisah tentang Plato yang berdialog mengenai cinta sejati dengan muridnya Aristoteles. Kurang lebih kisahnya sebagai berikut;

Dimulai dari Aristoles yang bertanya mengenai cinta sejati terhadap gurunya, akhirnya sang guru menyuruh muridnya untuk memetik bunga paling indah di taman bunga yang luas. Namun dengan syarat tidak boleh memundurkan perjalanan yang ditempuh atau dengan kata lain ketika memilih bunga yang dianggap sudah terbaik tidak boleh dibatalkan lagi. Berjalanlah sang murid mematuhi perintah gurunya.

Di tengah perjalanan sang murid bingung menentukan bunga yang paling indah, karena bisa saja di perjalanan ke depan yang masih akan ditempuhnya masih ada bunga yang lebih indah. Singkat cerita sang murid kembali kepada gurunya dengan tangan kosong, sehingga membuat sang guru menanyakan perihal itu. Sang murid menjawab bahwa sebenarnya dia telah menemukan bunga terindah, namun sayang ia tak bisa kembali menjemputnya lantaran syarat yang ditentukan sang guru.

Akhirnya, sang guru mengatakan bahwa itulah yang dinamakan cinta sejati. Semakin kamu mencari yang terbaik, maka kamu tidak akan menemukannya.

Dari klasifikasi dan pernyataan yang telah disebutkan oleh Plato, Imam al-Ghazali, dan pernyataan para sufi tadi dapat diambil kesimpulan bahwa apa yang dinamakan cinta sejati dan mencintai karena Allah tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Yakni, suatu cinta yang dialami oleh individu yang mana ia tak mengharapkan balasan apapun dari apa yang telah ia lakukan. Cinta sejati identik dengan mencintai apa-apa yang dicintai oleh yang dicintainya. Ini tentu berbeda dari cinta yang tidak substansial yang sifatnya tidak hakiki.

Penutup, persamaan perspektif dari apa yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, sufisme, serta Plato adalah terletak di cinta yang tak terikat oleh emosinal. Artinya cinta yang disandarkan pada kesempurnaan dan totalitas, tidak pernah cacat. Seseorang yang mengidap cinta jenis ini tidak pernah sakit hati apabila cintanya bertepuk sebelah tangan, karena dengan cinta yang hadir dalam dirinya saja sudah dianggap anugerah luar biasa dari tuhan. Wallahua’lam.

BINCANG SYRAIAH