Viral Ajaran Dewa Matahari, Bagaimana Pandangan Syariah?

Viral Ajaran Dewa Matahari, Bagaimana Pandangan Syariah?

aru-baru ada seorang dari Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, bernama Natrom, mengaku sebagai Dewa Matahari. Selain itu kakek 62 tahun itu melarang pengikutnya untuk melakukan salat lima waktu agar cepat kaya, dan melarang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. 

Natrom mengaku kepada pengikutnya bahwa raganya telah bersatu dengan Allah SWT. Dia juga mengatakan, air zamzam tidak pernah habis karena berasal dari air kencing Suku Baduy di Arab Saudi. Bahkan “Dewa Matahari” menyebut Baginda Nabi Muhammad SAW dengan sebutan “Si Muhammad”.

Pada dasarnya, semua yang dikatakan Natrom tersebut tidak sesuai dengan ajaran syariat:

Kewajiban Salat Lima Waktu

Islam mewajibkan salat lima waktu sebagaimana difirmankan Allah SWT:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusuk.” (Q.S. Al-Baqarah [02] : 238).

Kewajiban Mengikuti Ajaran Nabi Muhammad

Islam memerintahkan pemeluknya untuk mengikuti ajaran Baginda Nabi Muhammad SAW, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)”. (Q.S. Al-Anfal [08] : 20)

Larangan Meyakini Tuhan Menyatu dengan Manusia

Keyakinan semacam itu disebut dengan hulul, yang dalam pengertian umum diartikan: “salah satu dari dua perkara bertempat pada yang lain”.

Kepercayaan hulul tidak dibenarkan karena Allah tidak membutuhkan tempat. Seandainya Allah membutuhkan tempat, berati Allah sama dengan mahkluknya, dan hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil.

Sifat Allah juga tidak mungkin berada dalam diri manusia. Karena seandainya itu terjadi, akan ada dua kemungkinan: pertama, sifat Allah masih ada pada Dzat-Nya. Kedua, sifat Allah akan berpindah pada manusia.

Jika yang terjadi adalah kemungkinan pertama, maka akan ada satu sifat yang berada dalam dua dzat. Dan jika yang terjadi adalah kemungkinan kedua, maka Allah tidak lagi memiliki sifat, karena sifatnya telah menyatu dengan diri manusia. Kedua kemungkinan di atas adalah salah. (Tafsir al-Lubab, j. 11, h. 67-69)

Terkait dengan kepercayaan ini, Imam Suyuthi, mengutip pendapat Syekh Izzuddin bin Abdus Salam dalam al-Qawaaid al-Qubra:

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْإِلَهَ يَحُلُّ فِي شَيْءٍ مِنْ أَجْسَادِ النَّاسِ أَوْ غَيْرِهِمْ فَهُوَ كَافِرٌ

Siapa saja yang meyakini bahwa Tuhan, bertempat dalam tubuh manusia atau yang lain, maka dia kafir”. (Al-Hawi lil Fatawa, j. 3, h. 193)

Fakta Sejarah tentang Zamzam

Pengakuan tentang air Zamzam yang berasal dari urine suku Baduy juga tidak benar, karena bertentangan dengan fakta sejarah yang menyebutkan bahwa air Zamzam berasal dari kisah Nabi Ibrahim yang menghijrahkan Hajar ke Makkah.

Ketika Hajar mengalami kehausan bersama Ismail, malaikat turun dan bertanya, “Apakah engkau haus?” maka Hajar menjawab, “Benar”. Kemudian malaikat mencari-cari dengan sayapnya, kemudian keluarlah air dari sumur Zamzam.

Hajar lantas mengumpulkan air tersebut dan meminumnya. Seandainya Hajar tidak melakukan itu, maka Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir. (Akhbaaru Makkah lil Fakihani, j. 3, h. 113.) 

Tidak Boleh Memanggil Rasulullah dengan Namanya

Allah mewajibkan kita untuk memuliakan dan mengagungkan Rasulullah, sehingga tidak boleh memanggil nama beliau secara langsung, semisal “Wahai Muhammad”, atau julukannya, semisal “Wahai Abul Qasim”. Bahkan kita harus memanggil dengan panggilan memuliakan, semisal “Ya Nabiyallah” atau “Ya Rasulallah”.

Allah berfirman:

لا تَجْعَلُواْ دُعَاءَ الرسول بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُمْ بَعْضاً…

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)…” (Q.S. An-Nur [24] : 63).

Mengaku Sebagai Dewa Matahari

Islam tidak mengenal istilah dewa, melainkan istilah tersebut dikenal dari agama-agama non-islam.

Dikutip dari Wikipedia, Dewa adalah entitas supra natural yang menguasai unsur-unsur alam, atau aspek-aspek tertentu dalam kehidupan manusia. Para dewa tersebut disembah, dianggap suci, dikeramatkan, dan dihormati oleh manusia. Mereka yang berjenis kelamin pria disebut “Dewa”, sedangkan yang berjenis kelamin wanita disebut “Dewi”. 

Secara etimologi, biasanya istilah “Dewa” dipakai sebagai kata sandang untuk menyebut penguasa alam semesta yang jamak, bisa dibayangkan, dan dilukiskan secara nyata. Sedangkan istilah “Tuhan” untuk penguasa alam semesta yang maha tunggal dan abstrak, tidak bisa dilukiskan, dan tidak bisa dibayangkan. 

Dalam aliran politeisme menyebut adanya Tuhan, tetapi dalam bahasa Indonesia yang dipakai adalah istilah “Dewa”, semisal “Dewa Zeus”, bukan “Tuhan Zeus”.

Sedangkan dalam agama monoteisme, sebutan yang umum dan layak digunakan adalah “Tuhan”.

Agama Hindu dan Budha meyakini satu Tuhan, kemudian Dewa adalah makhluk yang diyakini berada di bawah derajat Tuhan.

Dalam filsafat Hindu, para Dewa tunduk pada sesuatu yang Maha Kuasa, yang Maha Esa. Dan yang menciptakan mereka disebut Brahman.

Sementara dalam filsafat agama Budha, para Dewa bukanlah makhluk sempurna dan memiliki wewenang mengatur umat manusia. Para Dewa terikat dengan hukum mistik, berupa karma dan samsara.

Dengan demikian istilah “Dewa” dalam agama yang memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, dianggap sebagai makhluk suci dan tidak sederajat dengan Tuhan. (Dewa, id.m.wikipedia.org).

Kemudian terkait dengan Dewa Matahari, Dewa satu ini memiliki nama yang berbeda-beda di setiap mitologi. Dalam mitologi Afrika disebut dengan Anyanwu, dalam mitologi Arab disebut dengan Malak Bel, dalam mitologi Mesir disebut Ra, dalam mitologi Yunani disebut Apollo, dalam mitologi Hindu disebut Surya, dan lain sebagainya. (Dewa Matahari, (id.m.wikipedia.org).

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “Dewa” dalam kepercayaan politeisme setara dengan “Tuhan” yang disembah. Sementara dalam agama yang menganut konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, “Dewa” adalah makhluk yang derajatnya di bawah Tuhan, akan tetapi mereka juga disembah. 

Jadi, istilah “Dewa” adalah untuk menyebut sesuatu yang disembah selain Allah, termasuk Dewa Matahari. 

Islam melarang seseorang menyebut dirinya sebagai Dewa Matahari, karena dalam pandangan Islam, tidak ada yang berhak disembah kecuali hanya Allah, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:

مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (Q.S. al-Mu’minun [23] : 91)

Allah juga berfirman dalam al-Qur’an:

وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ

dan Barangsiapa di antara mereka, mengatakan: “Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain daripada Allah”, Maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim.” (Q.S. Al-Anbiya [21] : 29)

Demikian penjelasan terkait viral ajaran dewa matahari, bagaimana pandangan syariah?  Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH