PERNAHKAH terbayang dalam benak kita, bagaimana perasaan Muhammad kecil kala hidup tanpa ayah dan saat enam tahun beliau sudah terpisah dari ibunda tercintanya. Saat ada kesempatan berlari-lari bersama teman sebayanya, kemudian beliau terjatuh, kepada siapa beliau merintih memanggil?
Teman-temannya yang memiliki ayah dan ibu dengan sigap akan memanggil, “Ayah, Ibu, aku jatuh.” Tetapi tidak demikian dengan putra Abdullah itu.
Andai itu dialami maka hatinya pasti bergetar, tenggorokannya terasa sempit dan kelopak matanya akan tergenangi ari mata yang terus ia tahan agar tak tumpah menjadi ari mata, meeski itu sangat sulit. Dan, tentu saja beliau harus bisa membesarkan hatinya sendiri.
Sejak kecil Rasulullah Muhammad Shallallahu alayhi wasallam sudah akrab dengan kesusahan demi kesusahan. Tetapi, itulah yang nantinya membentuk kekuatan kepribadian di dalam hatinya. Jadi, menjalani hidup dengan tahap suka-dukanya, jangan pernah membuat diri kita lemah iman dan lemah semangat.
“Pada awalnya, kesulitan bisa mengecilkan hati, tetapi setiap kesulitan pasti akan berlalu. Setiap keputusasaan diikuti harapan; setiap kegelapan diikuiti sinar matahari,” demikian gubah Rumi dalam salah satu bait puisinya.
Oleh karena itu, apapun fase hidup yang kita alami atau hadapi, fokuslah kepada iman, sebab itulah satu-satunya diri terbebas dari mental negatif yang merusak diri.
وَلَاتَهِنُواوَلَاتَحْزَنُواوَأَنْتُمُالْأَعْلَوْنَإِنْكُنْتُمْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali-Imran [3]: 139).
Allah memuji orang-orang yang mau memelihara, menjaga dan menguatkan imannya, “…Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah [2]: 5).
Sedemikian pentingnya iman, Sayyidina Ali radhiyallahu anhu berkata, “Barangsiapa menginginkan kemuliaan tanpa kehinaan, wibawa tanpa kekuasaan, kecukupan tanpa harta, kedudukan tanpa dukungan nasab, maka hendaknya ia mengeluarkan nafsunya dari hinanya kemaksiatan menuju mulianya ketaatan (iman).”
إِنَّٱلَّذِينَءَامَنُواْوَعَمِلُواْٱلصَّـٰلِحَـٰتِيَہۡدِيهِمۡرَبُّہُمبِإِيمَـٰنِہِمۡۖ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya.” (QS. Yunus [10]: 9).
Fakhruddin Ar-Razi dalam bukunya “Ajaibul Qur’an” menuliskan bahwa ada empat tanda orang yang beriman. Yaitu; 1) tidak mengeluh ketika mendapat musibah; 2) beramal tidak untuk dilihat (dipuji) orang); 3) bersabar atas tindakan buruk manusia dan tidak membalas; 4) tetap lembut kepada para hamba-Nya meskipun sikap mereka beragam.
Demikianlah yang ditauladankan oleh Rasulullah bersama kaum Muslimin dalam Perang Badar. Secara kalkulasi rasio, umat Islam tidak akan pernah bisa melawan, apalagi menang. Tetapi, kekuatan iman kepada Allah menjadikan keadaan 180 derajat berbalik. Umat Islam yang hanya 300 orang bisa mengalahkan 1000 orang kafir.
وَلَقَدْنَصَرَكُمُاللَّهُبِبَدْرٍوَأَنْتُمْأَذِلَّةٌ ۖ فَاتَّقُوااللَّهَلَعَلَّكُمْتَشْكُرُونَ
“Dan sungguh, Allah telah menolong kalian dalam Perang Badar, padahal kalian dalam keadaan lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, agar kalian mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran [3]: 123).
Seperti itu pula yang sebelumnya juga dialami oleh Nabi Nuh dan kaumnya yang beriman. Intimidasi dan kebiadaban yang dilakukan kaum kafir terhadap Nabi Nuh dan pengikutnya yang beriman pada akhirnya tergantikan oleh kemenangan dari-Nya.
فَكَذَّبُوهُ فَنَجَّيۡنَـٰهُ وَمَن مَّعَهُ ۥ فِى ٱلۡفُلۡكِ وَجَعَلۡنَـٰهُمۡ خَلَـٰٓٮِٕفَ وَأَغۡرَقۡنَا ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَـٰتِنَاۖ فَٱنظُرۡ كَيۡفَ كَانَ عَـٰقِبَةُ ٱلۡمُنذَرِينَ (٧٣)
“Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.” (QS. Yunus [10]: 73).
Oleh karena itu, sesulit apapun, atau sebahagia apapun hidup ini, jangan pernah sengsarakan iman di dalam dada. Sebab, tanpa iman, kita tak berarti apa-apa. Sebaliknya, dengan iman, seberat apapun ujian hidup, semua pasti berlalu dengan pertolongan-Nya.
Rumi menulis, “Tenanglah, hanya tangan Tuhan yang dapat mengangkat beban di hatimu.”Wallahu a’lam.*