Sebagai pedoman kehidupan, memahami ayat-ayat dari al-Qur’an adalah suatu hal yang penting. Sebab, selain menjadi bukti kebenaran Islam, dalam ayat-ayat tersebut mengandung nilai-nilai kehidupan yang universal. Dalam setiap ayatnya, terkandung hikmah dan panduan yang relevan dengan beragam konteks kehidupan, mengajarkan prinsip-prinsip moral, etika, dan tata cara hidup yang islami. Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya membantu memperkuat keyakinan umat, tetapi juga memberikan landasan kuat untuk menjalani kehidupan dengan penuh makna dan nilai-nilai yang luhur.
Salah satu upaya dalam memahami dan mendalami makna al-Qur’an adalah melalui penafsiran. Muhammad Ahmad Khalafullah adalah salah satu sarjana Muslim yang naik daun berkat pemikiran dan penafsirannya yang kontroversial terhadap ayat-ayat al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat kisah. Hal ini muncul ketika Khalafullah mengajukan proposal disertasi berjudul al-Fann al-Qashasi fi al-Qur’an al-Kariim. Disertasi tersebut membahas mengenai gagasannya tentang metode sastra sebagai langkah relevan untuk memahami al-Qur’an di abad ini.
Menurut Khalafullah, penafsiran-penafsiran yang ada saat itu terlalu banyak disibukkan dengan unsur-unsur untuk mencari fakta sejarah. Padahal ada hal yang lebih penting dari sekedar mengetahui kebenaran peristiwa yang diceritakan al-Qur’an yaitu hikmah dan pesan yang terkandung. Khalafullah berargumen bahwa kisah yang diulang dengan menggunakan redaksi ayat yang berbeda tidak mungkin dimaksudkan hanya untuk diketahui fakta sejarahnya. Atas dasar itulah, ia kemudian mulai menelisik makna al-Qur’an dari jalan sastra.
Khalafullah mencontohkan perbedaan penggunaan redaksi ular dalam al-Qur’an yang digunakan untuk menggambarkan mukjizat Nabi Musa. Dalam al-Qashash ayat 31 redaksi yang digunakan adalah al-jann. Sedangkan dalam Thaha ayat 30 digunakan kata hayyah. Adapun dalam as-Syu’ara ayat 32 kata tsu’ban digunakan untuk menggambarkan tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular.
Perbedaan redaksi yang digunakan dalam tiga ayat tersebut menurut Khalafullah bukan digunakan untuk mengetahui fakta sejarah bahwa itu terjadi. Penggunaan kata al-Jann adalah untuk menimbulkan perasaan takut Nabi Musa yang pernah membunuh bangsa Qibti yang sampai membuatnya lari dari bukit. Dalam konteks manusia sekarang, kata itu digunakan untuk menimbulkan ketakutan dalam hati pembaca.
Sedangkan penggunaan kata Hayyah dalam konteks Thaha ayat 30 adalah untuk menghibur Nabi Muhammad dan menghilangkan perasaan sedihnya yang digambarkan dalam awal surah ini. Kisah ini ditampilkan untuk menghibur Nabi Muhammad yang sedih sebab perilaku orang-orang kafir, sehingga redaksi yang lebih halus dipilih untuk menggambarkan peristiwa tersebut.
Adapun penggunaan kata tsu’ban menurut Khalafullah adalah sebab kondisi pada saat itu. Dalam surah ini diceritakan kisah Nabi Musa yang berdakwah kepada Fir’aun. Fir’aun dan golongannya sedang diliputi keraguan akan ajaran yang dibawa Nabi Musa. Maka kata tsu’ban dipakai untuk menggambarkan bahwa ular Nabi Musa harus menjadi ular besar yang benar-benar nyata. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepuasan kepada lawan sebab keraguannya.
Dalam merumuskan metode penafsiran dengan pendekatan sastra, Khalafullah menyusun lima langkah dalam menafsirkan ayat-ayat kisah. Pertama, mengumpulkan ayat-ayat yang memiliki tema serupa. Kedua, menyusun kronologi kisah. Pada langkah kedua ini, Khalafullah memakai Qur’an Maliki untuk mempermudah penyusunan kronologi kisah. Ketiga, interpretasi teks. Pada tahap ini, dibutuhkan pemahaman tekstual dan sastra sekaligus. Pemahaman tekstual berkaitan dengan pemahaman kata, bentuk kalimat, dan hubungan antar kata maupun kalimat. Sedangkan pemahaman sastra berkaitan dengan kemampuan penafsir dalam mengapresiasi sisi psikologis, seni, dan logika yang dimiliki teks.
Adapun langkah keempat yaitu membagi dan menyusun bab yang sesuai dengan tujuan kisah tersebut. Hal ini diperlukan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi kandungan. Langkah terakhir yaitu orisinalitas dan taqlid. Pada langkah kelima ini dilakukan agar dapat diketahui dari mana asal teks serta unsur mana saja yang merupakan hasil adopsi dari karya lain.