Haedar Nashir: Tidak Perlu Haji Berkali-kali, Kemabruran yang Harus Dijaga

Dia menilai, haji mabrur merupakan tingkat tertinggi dan capaian ideal dalam haji.

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta seluruh jamaah Indonesia memanfaatkan momentum puncak ibadah haji untuk merawat kemabruran.

“Saatnya dalam suasana penuh pengabdian dan kepasrahan ini setiap jamaah dapat menjadikan prosesi ibadah haji ini menjadi haji yang mabrur,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

Haedar mengungkapkan proses wukuf di Arafah merupakan momentum segenap jiwa raga untuk menundukkan diri secara total di hadapan Allah SWT. Dia menilai, haji mabrur merupakan tingkat tertinggi dan capaian ideal dalam beribadah haji.

Ia menyampaikan, nabi bersabda tidak ada balasan yang lebih pantas dari haji yang mabrur selain surga. Dia juga menekankan, kemabruran itu tidak akan datang sendiri, manakala tanpa penghayatan yang berarti.

“Seluruh proses ibadah haji maupun segala rukun wajib dan sunahnya, jangan berhenti di ranah syariat atau formalitas semata, jadikan ibadah haji sebagai energi rohani dan pelaksanaan ibadah yang masuk ke jantung hakikat untuk membangun kesalehan diri yang optimal, kemabruran akan diukur dengan kemampuan kualitas diri sebagai insan mukmin,” ujar dia.

Menurut Haedar, haji mabrur harus menjadi sebuah kepribadian, di mana kemabruran identik dengan ketaqwaan dengan menjadi orang yang muhsin. Ia berpesan agar para jamaah menjadikan ibadah haji sebagai tonggak terpenting dalam hidup sebagai Muslim untuk naik tingkat menjadi ihsan yang muhsin, muttaqin, dan insan yang shaleh dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, berbuat segala macam kebajikan hidup, dan berbuat ihsan terhadap sesama dan lingkungan.

“Kemabruran itu harus dijaga terus menerus sepanjang hayat, tidak perlu haji berkali-kali manakala kemabruran itu datang dan pergi lepas kembali,” katanya. 

Haedar berpesan agar jamaah calon haji Indonesia dapat merawat nilai-nilai kemabruran untuk menjadi insan yang mabrur dalam kehidupan sehari-hari, sehingga di hadapan Allah SWT nanti dapat menjadi insan yang diberi jalan terbaik.

IHRAM

Diterjemahkan ke Berbagai Bahasa Khutbah Afarah Diharapkan Disimak 1 Miliar Orang

Khutbah Arafah yang disampaikan pada 9 Dzul Hijjah atau bertepatan pada hari Sabtu (15/6/2024) dari Masjid Namira dekat Makkah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dengan harapan dapat disimak oleh 1 miliar orang di dunia, lapor Saudi Press Agency.

Khutbah Arafah diterjemahkan secara langsung ke dalam 20 bahasa sebagai bagian dari inisiatif Raja Salman yang dimulai pada 2018. Khutbah juga diterjemahkan secara tidak simultan ke dalam 17 bahasa lainnya.

Ketika inisiatif itu pertama kali diluncurkan pada 2018, khutbah hanya diterjemahkan ke dalam lima bahasa asing.

Penerjemahan kemudian ditambah dari tahun ke tahun, dan disiarkan ke berbagai platform termasuk platform digital, radio FM, serta kanal-kanal televisi Islam.

“Berbagai upaya ini menunjukkan komitme teguh pihak Kerajaan untuk melayani Islam dam masyarakat Muslim global,” lapor SPA.

“Setelah melampaui 200 juta pendengar pada tahun 2020, proyek ini memenuhi tanggung jawab sakral Kerajaan untuk menjaga Dua Masjid Suci dan para pengunjungnya. Dengan penerjemahan khutbah Arafah, hal ini secara efektif menyebarkan pesan yang disampaikan dari tempat-tempat suci ini ke seluruh dunia Muslim,”

Khutbah Arafah 1445 H disampaikan oleh imam

 Masjidil Haram Maher al-Mu’aiqly.

Masjid Namira berada di Wadi Uranah dekat Makkah. Tempat tersebut merupakan persinggahan Nabi Muhammad sebelum menyampaikan khutbah Arafah.*

HIDAYATULLAH

Fatwa MUI Tentang Salam Lintas Agama dan Toleransi

Jika fatwa dianggap berpotensi merusak kemajemukan warga negara atau lebih-lebih dikatakan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa, ini terlalu didramatisir, bahkan bisa disebut lebay.

oleh: Ainul Yaqin

Beberapa waktu terakhir ini satu perbincangan yang muncul di media adalah menyoal Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang salam lintas agama. Fatwa ini merupakan salah satu dari keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI VIII yang diselenggarakan di Bangka Belitung 28-31 Mei 2024.

Sebenarnya sebelum masalah ini menjadi bahasan Ijtima Ulama komisi Fatwa, sudah pernah disampaikan oleh Dewan Pimpinan MUI Jawa Timur akhir 2019 yang lalu dalam bentuk taushiyah, dengan isi yang kurang lebih sama. Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-8 memberikan pendalaman pada pembahasannya.

Beberapa poin dari keputusan Ijtima tersebut di antaranya: (1) Penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan; (2) Dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah, karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain; (3) Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.

Keputusan Ijtima komisi Fatwa ini telah memantik tanggapan yang beragam, ada yang mendukung, ada yang menolaknya. Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Al Washliyah misalnya menyampaikan, “Tepat keputusan MUI, karena salam itu sakral.”

Komentar berbeda antara lain disampaikan Dirjen Bimas Islam, Kamarudin Amin. Menurutnya, salam lintas agama merupakan praktik yang dapat mendorong kerukunan umat. Menebar damai sebagai ajaran substantif semua agama, dapat dilakukan melalui salam lintas agama (https://www.kemenag.go.id).

Tanggapan keras datang dari Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam pengantarnya, BPIP menilai terbitnya hasil ijtima tersebut bisa berpotensi merusak kemajemukan warga negara. Kemudian pada poin pernyataan, antara lain disampaikan bahwa hasil ijtima tentang pelarangan ucapan salam lintas agama mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa (https://news.detik.com/).

Munculnya tangapan beragam menyikapi fatwa Ijtima Ulama MUI, hal yang wajar saja, lebih-lebih dalam iklim demokrasi yang memberikan ruang adanya perbedaan pendapat. Namun jika fatwa dianggap berpotensi merusak kemajemukan warga negara atau lebih-lebih dikatakan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa, ini terlalu didramatisir, bahkan bisa disebut lebay.

Pancasila telah disahkan sebagai dasar negara sejak 18 Agustus 1945. Khususnya dalam kaitan dengan kemajemukan agama telah terimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat pun sudah biasa dengan perbedaan dari masing-masing pemeluk agama.

Sementara itu, muculnya fenomena pengucapan sederet salam dengan redaksi agama-agama merupakan hal yang baru yang dulu tak pernah ada. Mungkin bisa dibilang baru dalam waktu tak lebih dari sepuluh tahun terakhir ini.

Justru munculnya fenomena inilah yang memantik adanya pertanyaan atau bahkan kegelisahan dari beberapa warga masyarakat ketika harus mengucapkan kalimat yang dipandangnya sebagai hal yang khusus di suatu agama tertentu lalu harus diucapkan pula oleh orang yang berbeda keyakinannya. Inilah yang sebenarnya melatarbelakangi MUI mengkajinya dari sudut pandang ajaran Islam dan kemudian menerbitkan fatwa.

Kata fatwa atau disebut al-futyaa, secara bahasa yang artinya penjelasan, atau penerangan. Secara istilah, misalnya merujuk pada Abd Karim Zaidan yang mendefinisikan bahwa fatwa adalah hukum syara’ yang disampaikan mufti (sebagai jawaban kepada orang yang bertanya kepadanya).(Ushuul al-Da’wah, hlm. 166). Sedangkan Syeikh Yusuf al-Qardlawi mendefinisikan, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ terhadap suatu masalah sebagai jawaban terhadap pertanyaan penanya, baik dikenal atau pun tidak, secara perseorangan maupun kolektif. (al-Fatwaa baina al-Indlibaath wa al-Tasayyub, hlm. 11)

Dari definisi di atas bisa dikatakan bahwa fatwa bersifat responsif, karena muncul untuk menjawab masalah atau menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh mustafti (pihak penanya). Pihak yang meminta fatwa atau mustaftibisa perorangan, bisa pula lembaga atau badan. Permasalahan yang dijawab dengan fatwa bisa berupa pertanyaan langsung yang disampaikan oleh penanya (mustafti) ataubisa pula berupa permasalahan yang muncul di tengah-tengan masyarakat yang membutuhkan penjelasan dari sudut pandang agama.

Dari sisi keberlakuannya, seperti definisi dari Syeikh Musthafa al-Ruhaibaani yang menyebutkan tambahan bahwa fatwa bersifat tidak mengikat (Mathaalibu Ulii al-Nuhaa fii Syarh al-Ghaayah al-Muntahaa, hlm. 405). Di sinilah memang, fatwa berbeda dengan hukum positif yang mengikat kepada warga negara. Atau berbeda pula dengan putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang berperkara.

Meskipun demikian, kedudukan fatwa di tengah masyarakat khususnya umat Islam adalah penting. Adanya jawaban atas berbagai permasalahan keagamaan merupakan kebutuhan. Sebaliknya membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan suatu yang tidak semestinya terjadi. Fatwa akan terus dibutuhkan untuk memberikan jawaban terhadap berbagai masalah yang muncul seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang terus berlangsung.

Fenomena pengucapan sederet salam dari masing-masing agama yang dipraktikkan akhir-akhir ini wajar jika memantik adanya pertanyaan. Bagi umat Islam kata salam meskipun sifatnya tegur sapa, tapi mengandung makna do’a atau permintaan yang ditujukan kepada Allah Swt Sang Pencipta. Jika demikian, bisa masuk pada ranah ubudiyah, bukankah doa itu disebut inti ibadah.

Lalu bagaimana dengan adanya redaksi-redaksi khusus dari masing-masing agama yang memberti nuansa khusus dari sisi pemaknaannya. Misalnya ungkapan dari umat Hindu, “Om Swastiastu” yang bisa diartikan “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia  Sang Hyang Widhi”.  Demikian pula ungkapan Namo Budhaya, yang artinya terpujilah Sang Budha. Dalam kasus ini wajar jika ada pertanyaan dari umat Islam, bagaimana mengucapkan seperti ini jika yang melakukan orang  Islam. Di sinilah karena salah satu peran MUI adalah sebagai lembaga fatwa, maka MUI memberikan jawaban itu.

Fatwa MUI memperlihatkan sikap kehati-hatian memberikan jawaban kepada umat Islam, karena hal ini berkaitan dengan doktrin ajaran. Dapat dikatakan hal ini bersifat privat dan eksklisif bagi pemeluk agama Islam. Karena itu jawaban MUI cenderung pada tidak memperbolehkan, atau dengan kata lain haram. Lalu apakah hal itu disebut mencederai keragaman, atau bahkan dikatakan mengancap Pancasila. Maka perlu dicermati lagi makna tolerasi dalam keragaman.

Kata tolerasi berasal dari dari bahasa latin “tolerare”, yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu, menerima dengan sabar, atau menanggung. Toleransi juga bermakna daya tahan dan kelapangan dada. Kata toleransi digunakan dalam berbagai disiplin, menunjukkan adanya penerimaan terhadap kondisi yang berbeda atau yang bahkan tidak dikendaki, tetapi bisa diterima artinya bisa ditoleransi. Pada disiplin mikrobiologi misalnya ada istilah tolerensi mikroba terhadap antibiotik. Artinya meskipun antibiotik sesuatu yang dapat membunuh mikroba, pada dosis tertentu mikroba mempunyai daya tahan sehingga tetap hidup, sehingga dikatakan mikroba bisa menoleransi.

Dalam ranah sosiologis istilah toleransi merujuk pada situasi kompromi atas berbagai keadaan yang berbeda-beda, suatu kondisi kemajemukan, atau bahkan saling berhadapan atau berkonfrontasi. Kondisi kemajemukan itu disikapi dengan saling bergandeng, mengambil titik-titik kesamaan sebagai pengikatnya, dengan maksud untuk kepentingan yang lebih besar.

Maka hal-hal pebedaan yang bersifat privasi atau ekslusif dibiarkan berbeda, tidak dipaksa sama. Prinsinya adalah saling menghormati pihak-pihak yang berbeda. Dalam soal keyakinan misalnya, atau praktik menjalankan agama, toleransi artiinya masing-masing pemeluk agama dibiarkan melakukan sesuai dengan yang diyakini, tidak dihalang-halangi, tidak ada paksaan dalam agama.

Inilah justru yang menjadi pengejawantahan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Lebih-lebih lagi hak menjalankan agama menjadi hak kebebasan yang tidak bisa dibatasi. Maka justru menjadi aneh, demi tolerasi lalu seakan-akan memaksakankan hal yang sebenarnya berbeda untuk menjadi seragam. kemudian pihak yang tidak mau seakan-akan dibilang tidak toleransi, bahkan dianggap sebagai ancaman. Padalah dalam konteks salam, justru lebih elok jika dibiarkan masing-masing pemeluk agama mengucapkan sesuai dengan keyakinan yang dimilik. Di sinilah yang justru menunjukkan adanya kedewasaan menyikapi keragaman.*/Penulis merupakan peneliti Inpas

HIDAYATULLAH

3 Bacaan Talbiyah Haji dari Para Sahabat Nabi

Artikel ini akan mengungkapkan 3 macam bacaan talbiyah haji dari para sahabat Nabi. Padahal sebagaimana maklum, dalam talbiyah, lafal-lafalnya sesungguhnya sudah dapat langsung dari Nabi Muhammad saat melakukan haji seraya mengajarkan para sahabat kala itu. 

Namun tak bisa memungkiri, tidak sedikit para sahabat yang melakukan kreasi dalam talbiyah ini. Di antara sahabat yang kreatif dalam talbiyah ini adalah 3 sahabat yang cukup populer, yaitu Sayyidina Umar, Abdullah ibnu Umar, dan sahabat Anas bin Malik.

Bacaan Talbiyah Rasulullah

Dalam kitab Syarah Shahih al-Bukhari [4/244] Ibnu Batthal mencantumkan riwayat tersebut, pun dalam kitab-kitab fikih salah satunya Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni-nya. Adapun lafal talbiyah yang Rasulullah saw dawamkan dan ulang-ulang serta diajarkan yaitu sebagai berikut:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إنَّ الْحَمْدَ والنِّعْمَةَ لَكَ، والْمُلْكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ

Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mula la syarika lak.

Artinya; “Aku datang memenuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memnuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memnuhi panggilan-Mu, sungguh segala puji, nikmat dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu”.

Bacaan Talbiyahnya Sayyidina Umar

Sementara bacaan talbiyah dari Sayyidina Umar yang sedikit memodifikasi bacaan yang diterima dari Nabi yaitu sebagai berikut:

لَبَّيْكَ ذا النَّعْمَاءِ والفَضْلِ، لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ مَرْهُوبًا ومَرْغُوبًا إلَيْكَ لبَّيْكَ

Labbaik Dza al-Na’ma’ wa al-Fadl labbaik, labbaika marhuban wa marhghuban Ilaika Labbaik.

“Aku datang menghadap Mu wahai dzat yang memiliki nikat-nikmat dan keutamaan. Aku datang menghadap Mu yang ditakutkan dan juga dicintai. Hanya kepadamu, aku memenuhi panggilan Mu”.

Bacaan Talbiyah Abdullah ibnu Umar

Tak mau kalah dengan sang ayah, Abdullah Ibnu Umar juga melakukan sedikit penambahan dalam talbiyahnya sebagaimana di bawah ini.

لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ وسَعْدَيْكَ، والخيرُ بِيَدَيْكَ، والرَّغْبَاءُ إلَيْكَ والعَمَلُ

Labbaika-labbaika-labbaika wa sa’daika wa al-Khairu Baina yadaika wa al-Ru’ba’ ilaika wa ala-amal

“Selamat datang-selamat datang-selamat kedua bahagiaan Mu dan kebaikanmu antara kedua kekuasaan Mu dan harapan-harapan hanya berharap padamu”

Bacaan Talbiyah Anas bin Malik

Selain dua sahabat Nabi di atas yang masih anak-ayah, Anas sahabat yang pernah didoakan Nabi juga terpotret memiliki bacaan talbiyah yang khusus hasil ijtihadnya sebagai berikut.

لبَّيْكَ حَقًّا حَقًّا، تَعَبُّدًا ورِقَّا

Labbaika haqqan, haqqan, ta’abbudan wa riqqan

“Aku menghadap Mu, jujur, tulus, dan untuk beribadah dan menghamba”.

Di luar itu, rupanya salah seorang ponakan sahabat Sa’ad juga sempat kepergok menambah dan mengkodifikasi bacaan talbiyahnya dengan amat ringkas.

ياذا المعَارِجِ

Ya Dza al-Ma’arij

Untuk kisah yang terakhir, katanya, Sahabat Sa’d bin Waqqas langsung menegur ponakannya tersebut dengan alasan di zaman Rasulullah talbiyahnya tidak demikian. Sayang tak ada kisah lanjutan.

Kendatipun para sahabat telah berinovasi dan memodifikasi bacaan talbiyah dari hasil kreasinya sendiri, bukan berarti mengabaikan bacaan talbiyah yang diperoleh dari Nabi. Sebab, mereka tetap membaca talbiyah dari Nabi setelah itu baru membaca bacaannya sendiri. Inikah yang dikatakan “Melestarikan yang lama dan mengunduh yang baru”?

Dari fenomena itu lalu orang-orang sibuk menanyakan status hukum dalam menambah talbiyah tersebut. Maka sejak semula mayoritas ulama membolehkanya. Sebagaimana Syekh Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mugni (5/103) bahwa tidak sunah menambah sebagaimana juga tidak makruh.

فصل: ولا تُسْتَحَبُّ الزِّيادَةُ على تَلْبِيَةِ رسولِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، ولا تُكْرَهُ ونحوَ ذلك قال الشَّافِعِىُّ، وابنُ المُنْذِرِ؛ وذلك لِقَوْلِ جابِرٍ: فأهَلَّ رسولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِالتَّوْحِيدِ: ” وأهَلَّ النّاسُ بهذا الذى يُهِلُّونَ، ولَزِمَ رسولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تَلْبِيَتَه

“Tidak sunah menambah bacaan talbiyah melebihi bacaan Rasulumkah sebagaimana juga tidak makruh menambhahkannya. Dan Imam Syafi’i Ibnu al-Mundzir berpendapat demikian sebab riwayat Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah bertalbiyah dengan tauhid dan manusia banyak mempraktekkannya”. 

Demikian penjelasan tentang 3 bacaan Talbiyah haji dari para Sahabat Nabi. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Keutamaan dan Keistimewaan Hari Arafah

Sepuluh hari pertama bulan Zulhijah memiliki keutamaan yang sangat besar dalam Islam. Pada hari-hari ini, segala amal ibadah yang dilakukan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan hari-hari lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ” (يعني أَيَّامَ الْعَشْرِ). قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: “وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ”

Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini (yakni, hari-hari sepuluh pertama Zulhijah).” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatu apa pun dari itu.” (HR. Bukhari)

Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa amal ibadah yang dilakukan pada hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah Ta’ala dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Al-Tibi menjelaskan bahwa amal saleh dalam sepuluh hari pertama Zulhijah ini adalah yang paling dicintai Allah karena waktu tersebut adalah waktu yang paling mulia, termasuk di dalamnya adalah hari Arafah, yang disebut sebagai hari terbaik sepanjang tahun[1].

Al-Sayyid menambahkan bahwa meskipun ada perbedaan pendapat mengenai keutamaan sepuluh hari Zulhijah dibandingkan sepuluh hari terakhir Ramadan, yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa siang hari sepuluh Zulhijah lebih utama karena adanya hari Arafah. Sedangkan malam hari sepuluh terakhir Ramadan lebih utama karena adanya Lailatulqadar[2].

Sebagaimana disebutkan dalam hadis lain dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ما من أيام أفضل عند الله من أيام عشر ذي الحجة

Tidak ada hari-hari yang lebih utama di sisi Allah daripada hari-hari sepuluh pertama Zulhijah.” (Lihat Kitab Da’if Al-Targhib wa Al-Tarhib, hal. 735)

Para ulama sepakat bahwa memanfaatkan sepuluh hari pertama Zulhijah dengan memperbanyak amal saleh adalah kesempatan emas bagi setiap muslim untuk meraih pahala yang besar dan mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan, jihad di jalan Allah tidak lebih utama, kecuali bagi seseorang yang berkorban dengan jiwa dan hartanya tanpa kembali dengan apa pun. Hal ini menegaskan betapa agungnya nilai amal ibadah dalam sepuluh hari ini. Oleh karena itu, kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal kebaikan, berpuasa, berdoa, dan melakukan berbagai bentuk ibadah lainnya selama hari-hari ini untuk mendapatkan keridaan Allah dan keberkahan yang melimpah. (Tuhfatul Ahwadzi, 3: 385)

Keutamaan dan kedudukan hari Arafah

Hari Arafah adalah hari kesembilan dari bulan Zulhijah. Pada hari ini, jemaah haji melaksanakan wukuf di padang Arafah, yang merupakan puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji. Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan haji, mereka dianjurkan untuk berpuasa pada hari ini. Sebagaimana hadis berikut,

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ: “يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari Arafah. Maka, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.’” (HR. Muslim no. 1162)

Puasa ini memiliki keutamaan besar karena dapat menghapus dosa dua tahun, yakni tahun sebelumnya dan tahun yang akan datang.

Untuk lebih lengkapnya, berikut beberapa keutamaan hari Arafah yang penting untuk kita ketahui dan amalkan sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

Wasilah untuk bebas dari api neraka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa pada hari ini, Allah Ta’ala membebaskan lebih banyak hamba dari api neraka dibandingkan hari-hari lainnya. Beliau bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba dari neraka, selain hari Arafah.” (HR. Muslim no. 1348 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

ما مِن يَومٍ أَكْثَرَ مِن أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فيه عَبْدًا مِنَ النَّارِ، مِن يَومِ عَرَفَةَ، وإنَّه لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بهِمُ المَلَائِكَةَ، فيَقولُ: ما أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟

“Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba dari neraka, selain hari Arafah. Sesungguhnya Allah mendekat dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat seraya berfirman, ‘Apa yang mereka inginkan?‘” (HR. Muslim no. 1348, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Momen doa-doa mustajab

Munajat seorang hamba yang dipanjatkan pada hari ini memiliki keutamaan khusus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi no. 3585, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Pada hari ini, doa-doa yang dipanjatkan lebih mudah dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memanfaatkan waktu di hari Arafah untuk berdoa dan memohon ampunan.

Dosa-dosa diampuni

Hari Arafah juga dikenal sebagai hari pengampunan dosa. Pada hari ini, Allah Ta’ala membebaskan banyak hamba-Nya dari api neraka. Ini adalah hari di mana Allah Ta’ala turun ke langit dunia dan membanggakan para hamba-Nya yang sedang berwukuf di hadapan para malaikat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba dari api neraka, selain hari Arafah. Sesungguhnya Allah mendekat dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat seraya berfirman, ‘Apa yang mereka inginkan?’” (HR. Muslim no. 1348, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Hadis lain yang mendukung keutamaan ini adalah riwayat dari Ibnu Umar yang menyebutkan,

وأما وقوفك بعرفة، فإن الله تبارك وتعالى ينـزل إلى سماء الدنيا، فيباهي بهم الملائكة، فيقول: هؤلاء عبادي جاؤوا شعثًا غبرًا من كل فج عميق، يرجون رحمتي، ويخافون عذابي، ولم يروني، فكيف لو رأوني، فلو كان عليك مثل رمل عالج، أو مثل أيام الدنيا، أو مثل قطر السماء ذنوبًا، غسلها الله عنك

Adapun wukuf di Arafah yang engkau lakukan, sesungguhnya pada hari itu Allah turun ke langit bumi, dan Dia membanggakan orang-orang yang sedang wukuf di Arafah di hadapan para malaikat-Nya, dengan berkata, ‘Ini adalah hamba-hamba-Ku yang datang dengan rambut kusut dan berdebu dari setiap penjuru yang jauh, mengharapkan rahmat-Ku, dan takut akan azab-Ku, padahal mereka belum pernah melihat-Ku. Maka, bagaimana seandainya mereka melihat-Ku?’ Jika dosa-dosamu sebanyak butiran pasir atau sebanyak hari-hari di dunia, atau sebanyak tetesan hujan di langit, niscaya Allah akan menghapus semuanya darimu.[3]

Amalan-amalan di hari Arafah

Puasa Arafah

Puasa Arafah adalah puasa sunah yang dilakukan pada tanggal 9 Zulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Salah satu keutamaannya adalah diampuni dosa-dosa selama dua tahun, satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Hal ini berdasarkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده

Puasa Arafah itu menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبداً من النار من يوم عرفة

Tidak ada hari di mana Allah membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah” (HR. Muslim no. 1348)

Hadis ini menunjukkan betapa besar keutamaan puasa Arafah sebagai salah satu cara untuk meraih ampunan Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

Zikir dan doa

Pada hari Arafah, sangat dianjurkan untuk memperbanyak zikir, termasuk takbir, tahlil, dan tahmid. Contoh zikir yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:

Takbir: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Lailahaillallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamd.”

Tahlil: “Lailahaillallah.”

Tahmid: “Alhamdulillah.”

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

خيرُ الدعاءِ دعاءُ يومِ عرفةَ وخيرُ ما قلتُ أنا والنبيونَ من قبلي لا إله إلا اللهُ وحدهُ لا شريكَ لهُ له الملكُ وله الحمدُ وهو على كلِّ شيء قديرٍ

Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang aku dan para nabi sebelumku katakan adalah ‘Lailahaillallah, wahdahu laa syarikalah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syai’in qadir‘.”[4]

Meskipun hadis ini memiliki kelemahan dalam sanadnya, banyak ulama yang tetap menganjurkan untuk memperbanyak zikir dan doa pada hari Arafah karena keutamaannya yang besar. Doa yang bisa diamalkan termasuk memohon ampunan, rahmat, dan perlindungan dari segala keburukan. Tidak ada doa khusus yang wajib diucapkan, tetapi memperbanyak doa dan memohon dengan sungguh-sungguh sangat dianjurkan.

Ibadah haji di Arafah

Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling utama, dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah. Pada hari ini, jemaah haji berkumpul di Padang Arafah untuk melaksanakan ibadah wukuf, yang berarti berdiam diri dengan penuh khidmat sambil memperbanyak doa, zikir, dan permohonan ampun kepada Allah  Ta’ala.

Ibadah mulia ini adalah puncak dari ibadah haji karena pada hari ini Allah Ta’ala banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من النار من يوم عرفة، وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة فيقول: ما أراد هؤلاء؟

“Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan seseorang dari neraka, selain hari Arafah. Dia akan mendekati mereka, lalu menampakkan keutamaan mereka kepada para malaikat seraya berkata, ‘Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)

Wukuf di Arafah juga menjadi momentum penting bagi jemaah haji untuk ber-taqarrub dengan Allah Ta’ala. Jemaah haji yang sedang melaksanakan ibadah ini berada dalam suasana yang penuh khidmat dan kekhusyukan, merendahkan diri di hadapan Allah Ta’ala, mengakui segala dosa dan kesalahan, serta memohon ampunan dan rahmat-Nya.

Keutamaan hari Arafah ini juga tercermin dalam anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagi umat Islam yang tidak berhaji untuk berpuasa pada hari tersebut, yang mana puasa Arafah diampuni dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Hal ini menunjukkan betapa besar rahmat dan ampunan Allah Ta’ala yang diberikan pada hari yang mulia ini, menjadikan wukuf di Arafah sebagai bagian dari momen puncak peribadatan seorang muslim.

Semoga Allah Ta’ala memberikan limpahan rezeki kepada kita dan memudahkan kita untuk mampu melaksanakan ibadah haji. Allahumma Amin. Wallahua’lam

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/95589-keutamaan-dan-keistimewaan-hari-arafah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi

Di antara syariat yang turun terakhir kali menjelang wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah perintah untuk melaksanakan ibadah haji. Pada tahun kesembilan hijriyah, Allah menurunkan perintah tersebut. Dan pada tahun kesepuluh, beliau mengumumkan diri untuk berangkat haji. Mendengar kabar tersebut, berkumpullah manusia dari segala penjuru di kota Madinah. Di mana jumlah mereka tidak kurang dari 100 ribu orang. Mereka berangkat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melaksanakan haji pertama dan haji terakhir beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ke kota Makkah.

Hadis yang paling masyhur yang menggambarkan dan menceritakan dengan detail kisah perjalanan haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hadis riwayat sahabat yang mulia, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Hadis yang sarat akan ilmu, pelajaran, dan ibrah bagi seluruh kaum muslimin.

Pada artikel kali ini, setidaknya akan kita sebutkan tiga pelajaran penting yang bisa kita petik dan kita amalkan, sehingga diri kita termasuk mukmin yang pandai mengambil ibrah dan pelajaran.

Pertama, Semangat sahabat dalam bertanya dan menuntut ilmu

Sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum merupakan teladan dan panutan kita dalam hal belajar dan menuntut ilmu. Bukan hanya laki-laki saja, para sahabat perempuan pun tidak kalah semangatnya untuk terus belajar dan mendalami ilmu agama Islam. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَثَ تِسْعَ سِنِينَ لَمْ يَحُجَّ ثُمَّ أَذَّنَ فِي النَّاسِ فِي الْعَاشِرَةِ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجٌّ ، فَقَدِمَ الْمَدِينَةَ بَشَرٌ كَثِيرٌ ، كُلُّهُمْ يَلْتَمِسُ أَنْ يَأْتَمَّ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَيَعْمَلَ مِثْلَ عَمَلِهِ ، فَخَرَجْنَا مَعَهُ ، حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ ، فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : ( اغْتَسِلِي ، وَاسْتَثْفِرِي بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِي )

“Sembilan tahun lamanya beliau menetap di Madinah, namun beliau belum haji. Kemudian beliau memberitahukan bahwa pada tahun kesepuluh, beliau akan naik haji. Karena itu, berbondong-bondonglah orang datang ke Madinah, hendak ikut bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk beramal seperti amalan beliau. Lalu, kami berangkat bersama-sama dengan beliau. Ketika sampai di Dzulhulaifah, Asma` binti Humais melahirkan puteranya, Muhammad bin Abu Bakar. Dia menyuruh untuk menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apa yang harus dilakukannya (karena melahirkan itu). Maka, beliau pun bersabda, ‘Mandi dan pakai kain pembalutmu. Kemudian pakai pakaian ihrammu kembali.’” (HR. Muslim no. 1218)

Lihatlah bagaimana semangat para sahabat untuk belajar dan mencontoh amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka rela menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer menuju kota Madinah demi membersamai haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mempelajari tuntunan-tuntunan haji yang sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepadanya.

Lihat juga bagaimana semangat sahabiyah Asma’ binti Humais tatkala dirinya mendapati satu permasalahan fikih yang belum diketahui hukumnya, maka beliau langsung bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga menjadi jelaslah bagi dirinya permasalahan tersebut. Dan beliau pun dapat melanjutkan rangkaian amal ibadah hajinya dengan perasaan tenang dan tanpa ada keraguan.

Kedua, Ibadah haji adalah bukti ketauhidan dan ketundukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala

Mereka yang sedang berangkat haji atau siapa pun yang hendak melaksanakan haji, hendaknya meluruskan niat di dalam hatinya. Tujuan perginya adalah semata-mata untuk menjawab panggilan dan seruan Allah kepada diri-Nya. Tidaklah ia berangkat haji hanya untuk gengsi, ingin dipanggil dengan gelar haji, ataupun niat-niat tidak ikhlas lainnya, karena Allah Ta’ala berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)

Beberapa ahli tafsir mengatakan,

“Ketika Nabi Ibrahim telah selesai membangun Baitullah, malaikat Jibril mendatanginya, kemudian ia memerintahkan Ibrahim untuk menyeru manusia untuk melaksanakan ibadah haji. Maka, Ibrahim menaiki maqam dan berseru, ‘Wahai manusia sekalian, diwajibkan atas kalian ibadah haji di Baitullah, maka penuhilah panggilan Tuhan kalian, ‘Laabbaik Allahumma Labbaik.’” (Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, karya Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar)

Panggilan tersebut kita sambut dengan kalimat talbiyah, kalimat yang penuh ketauhidan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. ‘Abdullah bin ‘Umar menuturkan kepada kita bahwa talbiyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah,

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).” (HR. Bukhari no. 1549 dan Muslim no. 1184)

Sungguh, sebuah ucapan yang sangat mulia, ucapan yang sarat akan makna ketauhidan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Di dalamnya, seorang hamba mengakui bahwa tidak ada sekutu dan sesembahan selain Allah Ta’ala dan sesungguhnya segala kenikmatan datangnya dari Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, seorang jemaah haji hendaknya mengamalkan ikrar tersebut. Baik di dalam ibadah hajinya, maupun tatkala telah selesai dan pulang ke negerinya. Tidaklah ia beribadah, kecuali kepada Allah Ta’ala. Dan tidaklah ia meminta apa pun, kecuali kepada-Nya.

Ketiga, Khotbah perpisahan beliau yang sarat akan ilmu nasihat

Haji merupakan salah satu momen kebersamaan terakhir Nabi dengan para sahabatnya dan kaum muslimin, tidak berselang lama darinya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat meninggalkan kita.

Pada hari Arafah, hari puncak pelaksanaan ibadah haji dan hari ketika seluruh kaum muslimin berkumpul, beliau berkhotbah dengan khotbah yang ringkas, namun cukup untuk menjelaskan pokok-pokok ajaran Islam yang telah beliau dakwahkan selama ini.

Di antara yang beliau sampaikan adalah:

Pertama: Kehormatan darah dan harta seorang muslim.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan,

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya menumpahkan darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini.”

Kedua: Penekanan akan keharaman riba, baik di masa jahiliah maupun dalam syariat Islam.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

“Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah. Yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya, riba itu kuhapuskan semuanya.”

Ketiga: Perintah untuk saling menyayangi dan menghormati antara suami dan istri. Serta memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Kemudian jagalah dirimu terhadap wanita. Kamu boleh mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu dengan mematuhi peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu/kasurmu. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya, mereka pun punya hak atasmu. Yaitu, nafkah dan pakaian yang pantas.”

Keempat: Wasiat untuk senantiasa berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ ، كِتَابُ اللهِ

“Kuwariskan kepadamu sekalian suatu pedoman hidup, yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, maka kalian tidak akan tersesat setelahnya, yaitu Al Qur’an.” (HR. Muslim no. 1218)

Itulah tiga pelajaran penting yang dapat kita ambil dari kisah haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga kita semua dapat mengambil ibrah dan pelajaran darinya dan semoga Allah pertemukan kita semua dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam di surga-Nya kelak. Amin.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc. 

Sumber: https://muslim.or.id/95626-tiga-pelajaran-penting-dari-haji-nabi.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Di Tempat Inilah Pipi Rasulullah Pernah Menempel di Ka’bah

Multazam adalah tempat di mana doa diterima.

Begitu tiba di Makkah pada Ahad (19/5/2024) lalu, saya langsung menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan ibadah umroh wajib. Saat itu, kawasan Masjidil Haram belum dipenuhi jamaah haji.

Saya bersama rombongan tiba di Masjidil Haram setelah waktu Subuh. Setelah berjalan melewati Pintu King Fahd, kami masuk masjid melalui Pintu King Abdul Azis, yang berada tak jauh dari Zam-Zam Tower.

Sebelum masuk masjid, saya mencopot sandal dan menaruhnya di tote bag. Tak lupa kami juga berdoa:

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ فَحَيْنَا رَبَّنَا بِالسَّلَامِ وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ دَارَ السَّلَامِ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ. اَللّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَمَغْفِرَتِكَ وَأَدْخِلْنى فِيْهَا بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ

Artinya: “Ya Allah, Engkaulah sumber keselamatan, dari-Mu-lah datangnya keselamatan, dan kepada-Mu kembalinya semua keselamatan. Maka bangkitkanlah kami, wahai Tuhan, dengan selamat sejahtera, dan masukkanlah ke dalam surga, negeri keselamatan serta kebahagiaan. Maha banyak anugerah- Mu dan Maha Tinggi Engkau, wahai Tuhan yang memiliki keagungan dan kehormatan. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu rahmat-Mu. Aku masuk masjid ini dengan nama Allah disertai dengan segala puji bagi Allah serta shalawat dan salam untuk Rasulullah.”

Usai membaca doa, kami langsung menuju mathaf, yakni tempat thawaf. Di situlah saya pertama kali melihat Ka’bah secara langsung. Perasaan pun bercampur aduk, gembira, merinding, dan takjub.

Kami pun memulai thawaf dari tempat yang sejajar dengan Hajar Aswad, yang ada di salah satu sudut Ka’bah. Di dekat batu hitam itu, tampak seorang askar berseragam loreng-loreng biru berdiri. Ia mengawasi jamaah yang ingin mencium batu surga.

Begitu melewati Hajar Aswad, mata pun langsung tertuju pada sebuah pintu berwarna emas. Pintu itu ditutup dengan Kiswah bertuliskan ayat-ayat Alquran, di antaranya Surat Al-Fatihah dan Surat Al Imran ayat 133. Bagian Kiswah yang menutupi pintu Ka’bah ini disebut dengan Al-Barqaf.

Tangan-tangan jamaah banyak yang menyentuh pintu Ka’bah itu sambil menyebut-nyebut nama Allah dan berdoa. Namun, bukan di depan pintu Ka’bah tempat yang mustajab untuk berdoa.

Tempat yang dianjurkan Nabi untuk berdoa justru berada di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah itu yang disebut dengan Multazam. Dinding Multazam lebarnya kira-kira dua meter. Di area Muktazam inilah askar yang tadi berdiri.

Multazam adalah tempat di mana doa diterima. Disunnahkan berpegangan pada dinding Ka’bah sedemikian rupa sehingga pipi, dada, dan tangan menempel pada dinding. Tindakan ini dikenal sebagai Iltizam.

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah menyelesaikan Tawaf, menunaikan shalat dan kemudian mencium Hajar Aswad. Setelah itu, ia berdiri di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah sedemikian rupa sehingga pipi, dada, dan tangan menempel ke dinding. Dia kemudian berkata, “Inilah yang saya lihat dilakukan oleh Rasulullah SAW”.

Konsultan Ibadah Haji Daker  Makkah, Mohammad Adnan mengatakan, Abdullah bibn Umar termasuk sahabat yang paling sering menelaah jejak Rasulullah SAW.

IHRAM

5 Perbedaan Laki-laki dan Perempuan dalam Shalat

Apa perbedaan laki-laki dan perempuan dalam shalat? Shalat diwajibkan bagi seluruh umat Islam, baik laki-laki dan perempuan, bila memenuhi syarat wajib shalat, seperti baligh dan berakal. Sehingga shalat tidak diwajibkan bagi anak kecil yang belum baligh ataupun orang gila.

Namun dalam beberapa hal, ada perbedaan pria dan perempuan dalam shalat. Di antara perbedaan itu adalah sebagai berikut. [Baca juga; Apakah Qodho Dulu Atau Shalat Wajib?].

Perbedaan Laki-laki dan Perempuan dalam Shalat

Pertama, pria membentangkan siku tangannya saat ruku’ dan sujud, sedangkan perempuan menyempitkannya.

Kedua, perempuan dianjurkan untuk selalu memelankan suaranya saat shalat.

Ketiga, pria mengingatkan imam yang lupa dengan bacaan subhanallah, sedangkan perempuan dengan bertepuk. Cara bertepuknya adalah memukulkan telapak luar tangan kanan ke telapak dalam tangan kiri. Teknik bertepuk ini dilakukan dengan cara memukulkan telapak luar tangan kanan ke telapak dalam tangan kiri, menunjukkan kesopanan dalam mengingatkan tanpa mengganggu jalannya ibadah.

Keempat, sekujur tubuh wanita kecuali wajah dan kedua telapak tangan adalah aurat, sedangkan lelaki hanya sebatas antara pusar hingga lutut.

Kelima, tidak disunnahkan adzan bagi perempuan, hanya disunnahkan iqamah.

Terakhir, dalam aspek adzan dan iqamah, terdapat perbedaan di antara kedua jenis kelamin. Bagi perempuan, tidak disunnahkan untuk memberikan adzan, hanya iqamah yang disunnahkan bagi mereka sebelum memulai shalat. Ini menunjukkan kesederhanaan dalam tata cara ibadah yang disesuaikan dengan kebutuhan dan posisi sosial masing-masing gender dalam masyarakat Islam.

Sejatinya, perbedaan-perbedaan ini merupakan bagian dari kekayaan dan kelengkapan syariat Islam. Dengan memahami perbedaan-perbedaan ini, diharapkan umat Islam dapat melaksanakan shalat dengan lebih sempurna dan sesuai dengan tuntunan agama.

Perlu diingat bahwa perbedaan-perbedaan dalam shalat antara laki-laki dan perempuan ini tidak mengurangi nilai ibadah shalat bagi laki-laki maupun perempuan. Shalat tetaplah kewajiban yang harus dijalankan dengan penuh khusyuk dan ketulusan oleh seluruh umat Islam yang telah memenuhi syarat.

Semoga penjelasan ini bermanfaat dan dapat membantu umat Islam dalam memahami dan melaksanakan shalat dengan lebih sempurna. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri)

Di antara ibadah yang agung adalah muhasabah an-nafs, yaitu seorang hamba senantiasa menghisab jiwa, mengintrospeksi, mengoreksi, dan mengevaluasi dirinya tentang apa yang telah dia perbuat dalam keseharian sebagai persiapan untuk hari esok di akhirat. Karena kita menyadari bahwa dunia yang kita tinggali ini hanya bersifat sementara, kita pasti akan mati, kemudian mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di akhirat.

Kita harus menyadari bahwa saat ini, kita hidup di suatu zaman yang sangat memungkinkan kita berbuat maksiat setiap harinya. Ketika kita membuka media sosial, semacam facebook, instagram, X (twiter), atau menonton youtube, sadar atau tidak sadar kita telah mengumbar pandangan. Keseharian kita mungkin dipenuhi dengan ghibah dan namimah, membicarakan dan mengorek aib si fulan dan si fulan.

Oleh karena itu, di zaman ini kita sangat butuh muhasabah an-nafs. Caranya, kita berusaha menyisihkan menyisihkan waktu untuk menghisab dan mengevaluasi diri kita. Karena kalau tidak, kita akan lepas kontrol dan semakin jauh terperosok ke dalam kubangan maksiat. Lalu tanpa sadar, tiba-tiba kita dipanggil oleh Allah Ta’ala. Ini yang hendaknya selalu kita khawatirkan atas diri kita sendiri.

Dalil pokok dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga. Penghuni-penghuni surga, itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 18-20)

Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa ayat mulia ini merupakan dalil agar seorang hamba melakukan introspeksi diri, sehingga hendaknya dia senantiasa mengoreksi dan mengevaluasi jiwanya. Apabila terdapat kesalahan, maka dia kemudian memperbaiki dengan meninggalkan kesalahan tersebut, lalu bertobat dengan sungguh-sungguh, serta berpaling dari berbagai sebab yang bisa mendorongnya untuk melakukan kesalahan yang sama.

Apabila ternyata dia melalaikan salah satu perintah Allah Ta’ala, maka dia berupaya keras dan memohon pertolongan Allah Ta’ala untuk menyempurnakannya. Dia bandingkan antara kebaikan dan kenikmatan yang diperolehnya dengan kelalaian yang telah dilakukannya. Karena tanpa diragukan lagi, hal itu akan melahirkan rasa malu kepada Allah Ta’ala.

Sungguh suatu kerugian yang teramat nyata, ketika seorang hamba lalai dan tidak berinstropeksi diri, sehingga dia pun serupa dengan golongan yang lupa kepada Allah, lalai dari berdzikir kepada-Nya, dan menunaikan hak-Nya. Mereka justru lebih mendahulukan kepentingan jiwa dan syahwatnya. Mereka itu hanya akan memperoleh kesia-siaan. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala akan membuat mereka lupa terhadap segala sesuatu yang membawa manfaat bagi jiwa mereka. Dengan begitu, urusan mereka pun menjadi berantakan. Mereka mengalami kegagalan yang tidak mungkin lagi diperbaiki. Karena mereka orang-orang fasik, yang mengeluarkan diri mereka sendiri dari rel ketaatan, lalu menjerumuskan diri ke dalam jurang kemaksiatan.

Apakah orang yang senantiasa menjaga diri dalam bingkai ketakwaan dan memperhatikan dampak dari apa yang telah diperbuatnya di hari esok akan sama kedudukannya dengan orang yang lalai mengingat Allah dan melupakan hak-Nya? Tentu orang yang pertama berhak memperoleh kenikmatan surga dan kehidupan yang tenteram bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Sedangkan orang yang kedua justru akan celaka di dunia dan berhak memperoleh siksa di akhirat. Orang yang pertama adalah orang yang sukses, sedangkan orang yang kedua adalah orang yang gagal. (Lihat Taisir Karimir Rahman dalam penjelasan beliau terhadap ayat ini)

Sederhananya, kalau dalam urusan dunia kita senantiasa melakukan evaluasi agar kegiatan atau aktivitas selanjutnya bisa lebih baik, mengapa hal yang sama tidak kita lakukan untuk urusan akhirat? Yang bisa melakukan muhasabah an-nafs adalah diri kita sendiri, bukan orang lain, karena orang lain tidak tahu apa yang kita lakukan saat kita bersendirian dan apa yang terbesit dalam hati kita. Sehingga yang paling tahu kondisi kita, setelah Allah Ta’ala, adalah diri kita sendiri.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menuturkan,

الْمُؤْمِنُ قَوَّامٌ عَلَى نَفْسِهِ يُحَاسِبُ نَفْسَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنَّمَا خَفَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ حَاسَبُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَإِنَّمَا شَقَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ أَخَذُوا هَذَا الْأَمْرَ مِنْ غَيْرِ مُحَاسَبَةٍ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَفْجَأَهُ الشَّيْءُ وَيُعْجِبُهُ، فَيَقُولُ وَاللَّهِ أَنِّي لَأَشْتَهِيكَ وَإِنَّكَ لَمِنْ حَاجَتِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ، مَا صِلَةٌ إِلَيْكَ هَيْهَاتَ، حِيلَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ وَيُفْرَطُ مِنْهُ الشَّيْءُ فَيَرْجِعُ إِلَى نَفْسِهِ فَيَقُولُ: هَيْهَاتَ مَا أَرَدْتُ إِلَى هَذَا وَمَا لِي وَلِهَذَا وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَمَالِي وَلِهَذَا، وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ، إِنَّ الْمُؤْمِنِينَ قَوْمٌ أَوْقَفَهُمُ الْقُرْآنُ وَحَالَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ هَلَكَتِهِمْ أَنَّ الْمُؤْمِنَ أَسِيرٌ فِي الدُّنْيَا يَسْعَى فِي فِكَاكِ رَقَبَتِهِ لَا يَأْمَنُ شَيْئًا حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ يَعْلَمُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي سَمْعِهِ، وَفِي بَصَرِهِ، وَفِي لِسَانِهِ، وَفِي جَوَارِحِهِ، مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ

“Orang beriman itu pemimpin bagi jiwanya. Dia mengevaluasi jiwa karena Allah ‘Azza wa Jalla. Evaluasi (hisab) di hari kiamat akan lebih ringan bagi mereka yang mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Sebaliknya, evaluasi di hari kiamat akan lebih berat bagi mereka yang memeluk agama ini dan tidak mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Ketika suatu maksiat menggoda dan mengajak orang beriman, dia pun berkata kepada jiwanya. ‘Demi Allah, sungguh saya menginginkanmu dan membutuhkanmu. Akan tetapi, demi Allah, tidak ada hubungan denganmu yang bisa menghalangi diriku denganmu.’ Kemudian ia kembali berkata kepada jiwanya, “Betapa jauh dari kebenaran. Saya tidak ingin melakukannya. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Demi Allah, saya tidak akan dimaafkan jika melakukannya. Demi Allah, saya tidak akan kembali melakukan kemaksiatan itu selamanya, insya Allah. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Sungguh, orang beriman adalah golongan yang dihentikan dan dihalangi oleh Al-Quran dari kemaksiatan yang membinasakannya. Sungguh, orang beriman adalah tawanan di dunia yang berusaha untuk melepaskan kekangannya dan merasa khawatir kalau dia menjumpai Allah Ta’ala dalam kondisi disiksa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota tubuhnya. Semua itu disiksa akibat kemaksiatan yang dilakukannya.” (Diriwayatkan Ibnu al-Mubarak dalam Az-Zuhd wa Ar-Raqaiq no. 307)

Hal utama yang mampu membantu seorang hamba melakukan muhasabah an-nafs adalah merenungkan apa yang akan dia panen di hari kiamat kelak, hari ketika dia berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Ketika itu, Allah akan mengevaluasi segala yang dilakukannya selama hidup di dunia ini. Dengan muhasabah an-nafs, dia bisa membentengi diri dari bisikan nafsu yang buruk. Apabila jiwa mengajaknya untuk berbuat sesuatu yang berpotensi mengundang kemurkaan Allah Ta’ala, maka dia pun mengingatkan jiwanya bahwa dia akan berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Sehingga jiwanya pun berhenti mengajak untuk berbuat kemaksiatan dan dosa.

Muhasabah an-nafs juga bisa dilakukan sebelum melakukan suatu amal atau perbuatan. Misalnya, ketika kita ingin posting sesuatu di media sosial, kita muhasabah jiwa kita, apakah ada manfaatnya? Apakah niat kita sudah benar? Apabila ternyata menimbulkan keburukan, kita batalkan niat kita untuk posting di media sosial tersebut.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengevalusi diri kita setiap harinya. Apakah hari ini kita menyempatkan untuk berdzikir pagi-petang? Atau, apakah hari ini kita salat lima waktu berjamaah di masjid? Atau, pada waktu antara azan dan ikamah, apakah kita memanfaatkannya untuk berdoa kepada Allah, atau kita hanya ngobrol dengan orang lain? Demikianlah seterusnya untuk perkara-perkara yang lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

“Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.”

@BA, 1 Dzulqa’dah 1445/ 10 Mei 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/95003-sediakan-waktu-untuk-muhasabah-an-nafs-introspeksi-dan-evaluasi-diri.html
Copyright © 2024 muslim.or.id