Kiai Asep

Air Sumur Kiai Asep

Di Jawa Timur siapa yang tidak mengenalnya, terutama kalangan Nahdliyyin. Nama panggilannya Kiai Asep. Nama lengkapnya Prof. Dr. KH Asep Syaifuddin Chalim, MA. Pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Surabaya dan Pacet, Mojokerto.

Soal pendidikan dengan gelar berderet dan menawan dari Kiai Asep itu didapatnya darimana, tidaklah penting untuk dibahas. Tapi ada yang lebih penting dari itu semua, yakni sikapnya yang royal pada yang beraroma amal jariah.

Pada puasa Ramadhan kali ini, ia keluarkan Rp 8 milyar untuk fuqara’. Banyak banget fulus kiai Asep ini, soal darimana sumber keuangannya pun tidak perlu dibahas. In Syaa Allah uang itu didapatnya dari berbisnis dengan Allah.

Memang itulah kiat Kiai Asep, seperti ia ibaratkan air sumur yang ditimba dan tidak akan habis-habis, akan nyumber terus. Justru jika air sumur itu didiamkan, tidak ditimba airnya, maka airnya akan beraroma kurang sedap.

Maka itu ia bersemangat membelanjakan hartanya itu untuk hal-hal yang dianjurkan, seperti air sumur yang terus ditimba airnya dan dipakai untuk kepentingan umat.

Tentu nilai Rp 8 milyar bukanlah nilai yang kecil, tapi tidak bagi Kiai Asep. Ia punya keasyikan tersendiri jika bisa berbagi. Itu seolah yang dikesankannya, dan kiat air sumur itu lalu jadi jalan hidupnya untuk terus berbagi.

Uang Rp 8 milyar itu, ia belikan beras 200 ton, dan katanya, itu nilainya sudah Rp 2 milyar. Lalu Rp 2 milyar lagi ia belanjakan untuk pengadaan sarung. Setiap orang diberinya beras 5 kg, sarung, dan amplop minimal Rp 100 ribu. Ada pula yang dapat Rp 1 juta, bahkan lebih.

Tentu tidak sedikit yang melihat laku Kiai Asep lalu nyinyir dengan mengatakan, beramal aja disiar-siarkan. Ya biar sajalah. Apa memang beramal itu mesti sirr atau rahasia, kan tidak juga. Yang sirr itu cuma puasa, karena yang tahu hanya diri sendiri dan Allah.

Karenanya, beramal dengan sirr atau terbuka, seperti pilihan Kiai Asep itu tidak ada larangan. Bisa jadi apa yang diikhtiarkan Kiai Asep, itu agar lakunya diikuti yang lain untuk gemar beramal, itu jika rezeki ingin bertambah.

“Itulah nikmatnya orang beriman”, katanya. Beramal itu memang uang jadi berkurang. Tapi beramal itu tidak matematik, bisa dikalkulasi dengan ilmu manusia. Ini ilmu Tuhan, siapa yang memberi akan diganti berlipat. Seperti air sumur yang ditimba yang tidak akan kering.

Tiap sore selama Ramadhan, berkumpul ratusan orang di Masjid Kampus Institut Pesantren KH Abdul Chalim, Pacet, Mojokerto, diajaknya istighosah sampai berbuka puasa bersama. Lalu berjamaah maghriban. Suasana itu dibangunnya sebulan penuh bersama para fuqara’.

Ikhlas Mengantar Hubungan pada Sesama

Panggilan sosial macam apa yang dibangunnya itu? Tentu ini hanya bisa mewujud pada satu kata: ikhlas. Watak ikhlas saat berhubungan dengan Allah, dengan ilmu “matematika” Allah, yang sulit dirasionalkan.

Pada saatnya, pada gilirannya ikhlas itu diwujudkan dalam hubungan antarsesama, guna membangun sebuah dunia sosial yang lebih baik. Dunia yang berbagi dari yang berpunya pada yang membutuhkan.

Memang semua tidak ada yang tahu niat seseorang berbagi itu ikhlas, atau sebaliknya untuk pamrih. Tapi apa urusan kita dengan menilai ikhlas-tidak ihlasnya seseorang. Sudah mau berbagi dan mencontohkan laku terpujinya, bukankah itu hal kebaikan.

Jika ada yang berbagi dengan memilih metode sirr, sebagaimana anjuran, “beri dengan tangan kanan, yang bahkan tangan kiri pun tidak mengetahui”, itu pun juga baik, tidak masalah. Silahkan saja. Itu sebuah pilihan baik.

Tapi memilih model Kiai Asep, yang sampai besaran nilai nominalnya diketahui, itu pun tidak masalah. Suka-sukanyalah, tidak ada yang dilanggar. Semuanya baik, jika itu menyangkut laku kebaikan.

Maka, para Sahabat Radhiyallahu Anhu yang diamanati rezeki berlebih pun, seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dan lainnya, banyak amalan-amalannya yang diketahui umum, dan bahkan jadi ibrah buat umat yang datang belakangan.

Jika amalan para Sahabat Radhiyallahu Anhu itu tidak  publish, lalu darimana kita bisa mengetahui laku amalannya. Darimana kita bisa mendengar kisah Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu yang membeli sumur dan mewakafkan pada muslimin, Sumur Raumah.

Bisa jadi Kiai Asep mengambil ibrah dari kisah-kisah keteladanan para Sababat Radhiyallahu Anhu, yang kebetulan diberi amanah kecukupan rezeki oleh-Nya. Dan kita pun dituntut berprasangka baik atas laku kebaikannya.

Kiat “air sumur yang ditimba tidak habis-habis”, dari Kiai Asep ini, mengajarkan banyak hal tentang ilmu Allah yang tidak matematik dalam pandangan kaum rasionalistik. Ini ilmu tingkat tinggi, dengan basic ikhlas. Memang tidak semua bisa memasukinya… Wallahu a’lam. (*)

Kolumnis, tinggal di Surabaya

HIDAYATULLAH