Antara Ilmu yang Diamalkan dan yang Tidak Diamalkan

Antara Ilmu yang Diamalkan dan yang Tidak Diamalkan

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسوله، نبينا محمد وآله وصحبه

Ilmu memiliki kedudukan yang mulia dalam agama Islam. Ilmu merupakan cahaya yang menerangi seseorang dalam menjalani kehidupan ini. Dengan ilmu, seseorang menjadi jelas dalam menapaki jalan kebenaran yang mengantarkannya ke surga Allah Ta’ala. Menjadi jelas jalan-jalan kesesatan yang patutnya ia hindari. Seseorang dapat meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat juga karena ilmu. Dan peribadatan kepada Allah Ta’ala tidak akan tegak, kecuali dengan ilmu. Oleh karenanya, Allah Ta’ala menuntut kita mendahulukan ilmu sebelum beramal,

فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ ࣖ

Ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu.” (QS Muhammad: 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syekh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majahno. 224)

Ilmu yang dimaksud dalam hadis di atas adalah ilmu agama, ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala.

Demikian pula, tujuan penciptaan langit dan bumi ini adalah agar seseorang dapat mengenal Allah Ta’ala,

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ

Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 12)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah berdoa untuk meminta tambahan sesuatu, kecuali ilmu,

وَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا

Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” (QS. Thaha: 114)

Dalil-dali di atas menunjukkan keutamaan ilmu dan keagungannya.

Tujuan ilmu adalah amal

Ilmu yang dipelajari tidak akan bermanfaat jika seseorang tidak mengamalkannya. Tujuan mempelajari ilmu bukan sekedar pengetahuan dan wawasan saja, melainkan amal saleh.

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk meminta jalan yang lurus dan berlindung dari 2 penyimpangan sikap terhadap ilmu. Yang pertama adalah beramal tanpa ilmu. Yang kedua adalah berilmu, namun tidak beramal. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 7)

“Barangsiapa yang berilmu namun tidak beramal, maka mereka adalah yang dimurkai, berhak mendapat murka Allah Ta’ala, disebabkan oleh kelalaian mereka dalam mewujudkan tujuan dari ilmu, yaitu amal saleh. Dan barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka mereka adalah orang yang tersesat dari jalan Allah Ta’ala dan jalan yang lurus.” (Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu, Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 13)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang rusak dari kalangan para ulama kita, maka pada dirinya ada keserupaan dengan orang Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita, maka pada dirinya ada keserupaan dengan orang Nasrani.” (Iqtidha Sirathil Mustaqim, dikutip dari Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 14)

Orang Yahudi, mereka mengetahui dan mengenal Allah Ta’ala dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, namun tidak mau tunduk dan mengikuti. Sedangkan orang Nasrani adalah orang yang bersemangat dalam beramal, namun mereka tersesat karena tidak membangun amal tersebut di atas ilmu yang haq.

Seseorang tidak dapat menegakkan agama, kecuali dengan ilmu dan amal saleh. Karena dengan kedua hal itu, Allah Ta’ala utus Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At-Taubah: 33)

Al-huda yakni ilmu yang bermanfaat, diinul haq yakni amal saleh. (Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 11)

Sebab kita dimasukkan ke surga bukan sekedar karena ilmu yang kita ketahui, tetapi karena amal saleh,

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 82)

Allah Ta’ala sebutkan iman dan amal saleh sebagai sebab masuk surga. Firman lainnya,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Akibat ilmu yang tidak diamalkan

Di antara balasan yang diberikan Allah Ta’ala bagi yang tidak mengamalkan ilmu yang telah diamanahkan kepada seseorang adalah Allah Ta’ala hilangkan keberkahan dan Allah Ta’ala jadikan hatinya keras tidak dapat menerima hidayah. Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ لَعَنّٰهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قٰسِيَةً ۚ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلٰى خَاۤىِٕنَةٍ مِّنْهُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka, kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah: 13)

“Disebabkan oleh pelanggaran janji yang mereka (bani Israil) lakukan, mereka dilaknat”, yakni dijauhkan dari kebenaran dan petunjuk. “Hati mereka menjadi keras”, maknanya yaitu tidak mampu mengambil pelajaran dari peringatan. وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ  maknanya, yaitu mereka meninggalkan beramal atas pesan dan peringatan  yang telah diberikan.” (Tafsir Ibnu Katsir)

“Melupakan janji kepada Allah Ta’ala yang telah diambil oleh para Nabi atas mereka untuk beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Al-Qurthubi)

Ayat ini menunjukkan bahwa meninggalkan amal akan mendatangkan laknat dari Allah Ta’ala. Selain itu, hati juga akan menjadi keras, tidak mampu menerima peringatan dan nasihat. Ketika hati keras dan tidak mendapat petunjuk, maka akan semakin menjauhkan seseorang dari Allah Ta’ala. Dan itu merupakan seburuk-buruk balasan di dunia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ لِمَ تُؤْذُوْنَنِيْ وَقَدْ تَّعْلَمُوْنَ اَنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْۗ فَلَمَّا زَاغُوْٓا اَزَاغَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku! Mengapa kamu menyakitiku, padahal kamu sungguh mengetahui bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu?’ Maka, ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. As-Saff: 5)

Jika ilmu diamalkan

Allah Ta’ala akan menambahkan petunjuk bagi yang mengamalkan ilmunya. Dan Allah Ta’ala juga akan memberikan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰىهُمْ تَقْوٰىهُمْ

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” (QS. Muhammad: 17)

“Orang yang mendapat petunjuk adalah orang yang Allah Ta’ala anugerahi kepada mereka untuk mengikuti petunjuk. Hati mereka lapang dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Mereka menjadi orang yang senantiasa mendengarkan (petunjuk) Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Ath-Thabari)

“Maka, Allah akan زَادَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰىهُمْ تَقْوٰىهُمْ yakni tambahkan keimanan atas iman mereka. Allah Ta’ala berikan ketakwaan kepada para muhtadin (orang yang mengikuti petunjuk).” (Tafsir Ath-Thabari)

Ayat ini berkenaan dengan orang munafik yang disebutkan pada surah Muhammad ayat 16, di mana kaum munafik tersebut hadir dalam khotbah-khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di hari Jumat. Namun, ketika mereka keluar dari majelis tersebut, mereka bertanya kepada para sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Apa yang telah dikatakan Muhammad?” Mereka adalah orang yang mendengar, namun tidak dapat memahami. Hati mereka telah ditutup sehingga tidak mampu memahaminya.

Adapun orang beriman dan bertakwa, Allah Ta’ala tambahkan ketakwaan dan Allah Ta’ala ilhamkan petunjuk ke jalan yang lurus.

Imam Al-Fakhr rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang munafik itu mendengar (seruan Rasul), namun tidak memberi manfaat. Menyimak, namun tidak mendapat faedah. Adapun orang beriman al-muhtadi (yang mendapat petunjuk), mereka mendengarkan dan memahaminya, kemudian beramal dengannya. Sehingga hal ini membantah uzur orang munafik yang mendengar, namun tidak memahami apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Shafwah Tafasir)

Ditambahkannya petunjuk, maksudnya antara lain (Tafsir Qurthubi),

Pertama: Allah Ta’ala tambahkan petunjuk (pendapat Rabi’ bin Anas).

Kedua: Mereka mengetahui apa yang mereka dengar dan mengamalkan apa yang mereka ketahui (pendapat Adh-Dhahak).

Ketiga: Allah Ta’ala tambahkan ilmu agama dan tunduk kepada perintah Nabinya (pendapat Al-Kalbi).

Keempat: Allah Ta’ala lapangkan hati mereka atas keimanan yang mereka yakini.

Ditambahkannya ketakwaan, maksudnya antara lain (Tafsir Qurthubi),

Pertama: Allah Ta’ala hadirkan rasa takut (pendapat Ar-Rabi’).

Kedua: Balasan ketakwaan di akhirat kelak (pendapat As-Suddi).

Ketiga: Allah Ta’ala beri taufik untuk beramal dengan amalan yang diwajibkan (pendapat Muqatil).

Keempat: Allah Ta’ala jelaskan kepada mereka apa yang perlu mereka jauhi (pendapat Ibnu Ziyad dan As-Suddi).

Kelima: Meninggalkan mansukh dan beramal dengan an-nasikh (pendapat ‘Athiyah dan Al-Mawardi).

Keenam: Meninggalkan kemudahan dan beramal dengan sungguh-sungguh.

Demikian. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP, FIHA

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85666-antara-ilmu-yang-diamalkan-dan-tidak-diamalkan.html