Antara Ilmu yang Diamalkan dan yang Tidak Diamalkan

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسوله، نبينا محمد وآله وصحبه

Ilmu memiliki kedudukan yang mulia dalam agama Islam. Ilmu merupakan cahaya yang menerangi seseorang dalam menjalani kehidupan ini. Dengan ilmu, seseorang menjadi jelas dalam menapaki jalan kebenaran yang mengantarkannya ke surga Allah Ta’ala. Menjadi jelas jalan-jalan kesesatan yang patutnya ia hindari. Seseorang dapat meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat juga karena ilmu. Dan peribadatan kepada Allah Ta’ala tidak akan tegak, kecuali dengan ilmu. Oleh karenanya, Allah Ta’ala menuntut kita mendahulukan ilmu sebelum beramal,

فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ ࣖ

Ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu.” (QS Muhammad: 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syekh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majahno. 224)

Ilmu yang dimaksud dalam hadis di atas adalah ilmu agama, ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala.

Demikian pula, tujuan penciptaan langit dan bumi ini adalah agar seseorang dapat mengenal Allah Ta’ala,

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ

Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 12)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah berdoa untuk meminta tambahan sesuatu, kecuali ilmu,

وَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا

Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” (QS. Thaha: 114)

Dalil-dali di atas menunjukkan keutamaan ilmu dan keagungannya.

Tujuan ilmu adalah amal

Ilmu yang dipelajari tidak akan bermanfaat jika seseorang tidak mengamalkannya. Tujuan mempelajari ilmu bukan sekedar pengetahuan dan wawasan saja, melainkan amal saleh.

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk meminta jalan yang lurus dan berlindung dari 2 penyimpangan sikap terhadap ilmu. Yang pertama adalah beramal tanpa ilmu. Yang kedua adalah berilmu, namun tidak beramal. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 7)

“Barangsiapa yang berilmu namun tidak beramal, maka mereka adalah yang dimurkai, berhak mendapat murka Allah Ta’ala, disebabkan oleh kelalaian mereka dalam mewujudkan tujuan dari ilmu, yaitu amal saleh. Dan barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka mereka adalah orang yang tersesat dari jalan Allah Ta’ala dan jalan yang lurus.” (Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu, Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 13)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang rusak dari kalangan para ulama kita, maka pada dirinya ada keserupaan dengan orang Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita, maka pada dirinya ada keserupaan dengan orang Nasrani.” (Iqtidha Sirathil Mustaqim, dikutip dari Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 14)

Orang Yahudi, mereka mengetahui dan mengenal Allah Ta’ala dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, namun tidak mau tunduk dan mengikuti. Sedangkan orang Nasrani adalah orang yang bersemangat dalam beramal, namun mereka tersesat karena tidak membangun amal tersebut di atas ilmu yang haq.

Seseorang tidak dapat menegakkan agama, kecuali dengan ilmu dan amal saleh. Karena dengan kedua hal itu, Allah Ta’ala utus Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At-Taubah: 33)

Al-huda yakni ilmu yang bermanfaat, diinul haq yakni amal saleh. (Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 11)

Sebab kita dimasukkan ke surga bukan sekedar karena ilmu yang kita ketahui, tetapi karena amal saleh,

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 82)

Allah Ta’ala sebutkan iman dan amal saleh sebagai sebab masuk surga. Firman lainnya,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Akibat ilmu yang tidak diamalkan

Di antara balasan yang diberikan Allah Ta’ala bagi yang tidak mengamalkan ilmu yang telah diamanahkan kepada seseorang adalah Allah Ta’ala hilangkan keberkahan dan Allah Ta’ala jadikan hatinya keras tidak dapat menerima hidayah. Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ لَعَنّٰهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قٰسِيَةً ۚ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلٰى خَاۤىِٕنَةٍ مِّنْهُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka, kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah: 13)

“Disebabkan oleh pelanggaran janji yang mereka (bani Israil) lakukan, mereka dilaknat”, yakni dijauhkan dari kebenaran dan petunjuk. “Hati mereka menjadi keras”, maknanya yaitu tidak mampu mengambil pelajaran dari peringatan. وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ  maknanya, yaitu mereka meninggalkan beramal atas pesan dan peringatan  yang telah diberikan.” (Tafsir Ibnu Katsir)

“Melupakan janji kepada Allah Ta’ala yang telah diambil oleh para Nabi atas mereka untuk beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Al-Qurthubi)

Ayat ini menunjukkan bahwa meninggalkan amal akan mendatangkan laknat dari Allah Ta’ala. Selain itu, hati juga akan menjadi keras, tidak mampu menerima peringatan dan nasihat. Ketika hati keras dan tidak mendapat petunjuk, maka akan semakin menjauhkan seseorang dari Allah Ta’ala. Dan itu merupakan seburuk-buruk balasan di dunia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ لِمَ تُؤْذُوْنَنِيْ وَقَدْ تَّعْلَمُوْنَ اَنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْۗ فَلَمَّا زَاغُوْٓا اَزَاغَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku! Mengapa kamu menyakitiku, padahal kamu sungguh mengetahui bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu?’ Maka, ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. As-Saff: 5)

Jika ilmu diamalkan

Allah Ta’ala akan menambahkan petunjuk bagi yang mengamalkan ilmunya. Dan Allah Ta’ala juga akan memberikan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰىهُمْ تَقْوٰىهُمْ

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” (QS. Muhammad: 17)

“Orang yang mendapat petunjuk adalah orang yang Allah Ta’ala anugerahi kepada mereka untuk mengikuti petunjuk. Hati mereka lapang dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Mereka menjadi orang yang senantiasa mendengarkan (petunjuk) Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Ath-Thabari)

“Maka, Allah akan زَادَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰىهُمْ تَقْوٰىهُمْ yakni tambahkan keimanan atas iman mereka. Allah Ta’ala berikan ketakwaan kepada para muhtadin (orang yang mengikuti petunjuk).” (Tafsir Ath-Thabari)

Ayat ini berkenaan dengan orang munafik yang disebutkan pada surah Muhammad ayat 16, di mana kaum munafik tersebut hadir dalam khotbah-khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di hari Jumat. Namun, ketika mereka keluar dari majelis tersebut, mereka bertanya kepada para sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Apa yang telah dikatakan Muhammad?” Mereka adalah orang yang mendengar, namun tidak dapat memahami. Hati mereka telah ditutup sehingga tidak mampu memahaminya.

Adapun orang beriman dan bertakwa, Allah Ta’ala tambahkan ketakwaan dan Allah Ta’ala ilhamkan petunjuk ke jalan yang lurus.

Imam Al-Fakhr rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang munafik itu mendengar (seruan Rasul), namun tidak memberi manfaat. Menyimak, namun tidak mendapat faedah. Adapun orang beriman al-muhtadi (yang mendapat petunjuk), mereka mendengarkan dan memahaminya, kemudian beramal dengannya. Sehingga hal ini membantah uzur orang munafik yang mendengar, namun tidak memahami apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Shafwah Tafasir)

Ditambahkannya petunjuk, maksudnya antara lain (Tafsir Qurthubi),

Pertama: Allah Ta’ala tambahkan petunjuk (pendapat Rabi’ bin Anas).

Kedua: Mereka mengetahui apa yang mereka dengar dan mengamalkan apa yang mereka ketahui (pendapat Adh-Dhahak).

Ketiga: Allah Ta’ala tambahkan ilmu agama dan tunduk kepada perintah Nabinya (pendapat Al-Kalbi).

Keempat: Allah Ta’ala lapangkan hati mereka atas keimanan yang mereka yakini.

Ditambahkannya ketakwaan, maksudnya antara lain (Tafsir Qurthubi),

Pertama: Allah Ta’ala hadirkan rasa takut (pendapat Ar-Rabi’).

Kedua: Balasan ketakwaan di akhirat kelak (pendapat As-Suddi).

Ketiga: Allah Ta’ala beri taufik untuk beramal dengan amalan yang diwajibkan (pendapat Muqatil).

Keempat: Allah Ta’ala jelaskan kepada mereka apa yang perlu mereka jauhi (pendapat Ibnu Ziyad dan As-Suddi).

Kelima: Meninggalkan mansukh dan beramal dengan an-nasikh (pendapat ‘Athiyah dan Al-Mawardi).

Keenam: Meninggalkan kemudahan dan beramal dengan sungguh-sungguh.

Demikian. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP, FIHA

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85666-antara-ilmu-yang-diamalkan-dan-tidak-diamalkan.html

Merugilah Orang Punya Ilmu tapi tak Menyinari Diri

Kesalahan bagi orang berilmu tidak mengamalkannya untuk dirinya.

 Ilmu itu sejatinya untuk menerangi diri sendiri serta orang lain agar selamat hidup di dunia dan akhirat. Tapi ada orang-orang berilmu dan pandai menasihati orang tentang suatu perkara berdasarkan ilmu yang dimilikinya, padahal ia sendiri tidak pernah mengamalkan ilmu itu atau yang dinasihatkan kepada orang lain. 

Maka, sejatinya orang tersebut perlahan-lahan sedang menghancurkan dirinya sendiri sebab tidak mau mengamalkan ilmu bagi dirinya untuk menjadi orang yang lebih baik dan taat kepada Allah.

Sebagaimana dalam kitab at Targib wat Tarhib menuliskan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Thabrani:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَثَلُ الَّذِىْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَوَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيْئُ لِلنَّاسِ وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ.

Nabi Muhammad SAW bersabda: Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia, tapi dia melupakan dirinya sendiri, bagai umpama lampu (obor/lilin), dia menyinari orang lain tapi dia membakar dirinya sendiri. 

Maka, sebuah kesalahan besar bagi orang yang memiliki ilmu, bisa menasehati orang lain, tapi tidak mau mengamalkan ilmunya bagi dirinya sendiri. Juga kesalahan besar orang yang tidak mempunyai ilmu, sebab amalnya akan menjadi sesat. 

Begitupun sebuah kesalahan bagi orang yang berilmu, namun pelit terhadap ilmunya atau tidak mau menyampaikan pada orang lain. Maka, yang terbaik adalah orang yang memiliki ilmu, dia amalkan dan sinari hidupnya dengan ilmu itu, lalu ia juga menyampaikan ilmunya kepada orang lain sehingga tersinari dan memperoleh keselamatan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 11): Menjaga Marwah Ilmu

Baca pembahasan sebelumnya Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 10): Berilmu Jangan Lupa Beradab

Bismillah 

Orang berilmu akan memancarkan wibawa dibandingkan yang tidak. Hal ini karena ilmu benar-benar telah mengangkat martabatnya. Mari kita lihat, bagaimana ilmu benar-benar dapat mengangkat martabat, sekalipun itu makhluk sekelas hewan yang dipandang rendah; yakni anjing.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّـهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّـهِ عَلَيْهِ

“Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu. Kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya).” (QS. Al-Maidah: 4)

Ayat di atas menerangkan kepada kita halalnya hewan buruan hasil tangkapan anjing yang terlatih dan disebut nama Allah Ta’ala saat melepasnya. Hukumnya menjadi halal dimakan. Maka maaf, anjing saja akan mulia karena ilmu yang melekat padanya. Terlebih makhluk paling mulia di muka bumi, yaitu manusia.

Tidak ada yang memungkiri, bahwa ilmu akan mengangkat derajat manusia yang setia memperjuangkan dan membawanya,

يَرْفَعِ اللَّـهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿١١﴾

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Jika demikian manfaat ilmu kepada kita, maka sungguh ironi, jika kita tidak menghargai marwah ilmu. Jika kita tidak setia menjaga marwah ilmu, maka ilmu tidak akan peduli lagi dengan martabatmu. Ilmu akan meninggalkanmu dan martabatmu.

Syaikh Shalih Al-‘Ushoimi dalam Khulashoh Ta’dhiim Al-‘Ilmi mengutip nasihat Imam Syafi’i rahimahullah,

من لم يصن العلم لم يصنه العلم

“Siapa yang tidak menjaga marwah ilmu, maka ilmu tidak akan menjaganya.”

Siapa saja yang tidak menjaga marwah ilmu, dengan melakukan perbuatan-perbuatan rendahan, maka dia telah merendahkan ilmu. Sehingga bisa sampai pada akibat yang fatal, yaitu hilangnya nama ilmu dari dirinya.

Wahb bin Munabbih rahimahullah mengatakan,

لا يكون البطال من الحكماء

“Orang yang rusak moralnya, tidak akan pernah menjadi orang yang hikmah/bijak.”

Bagaimana cara menjaga marwah ilmu?

Cara menjaga marwah ilmu disampaikan oleh kakek Syaikhul Islam Ahmad Al-Harrani; Ibnu Taimiyah, di dalam kitab Al-Muharrar. Lalu diikuti oleh cucu beliau dalam fatwa-fatwa beliau,

استعمال ما يجمله ويزينه وتجنب ما يدنسه ويشينه

“Dengan segala hal yang dapat memperindahnya dan menjauhi segala hal yang dapat menodai dan merendahkannya.”

Ada dua cara menjaga marwah ilmu, yaitu:

Pertama, memperindah ilmu, dengan segala yang dapat menjadikan ilmu itu indah.

Kedua, menjauhkan ilmu dari segala yang dapat menodai kemuliaan ilmu.

Dua sisi ini, sahabat pembaca sekalian, harus terpenuhi dalam upaya menjaga marwah ilmu. Seandainya seorang hanya fokus pada “memperindah” saja, tanpa mempedulikan hal-hal yang menodai ilmu, dia belum dikatakan menjaga marwah ilmu. Atau sebaliknya, “menjauhi hal-hal yang dapat merendahkan ilmu”, dan tidak ada upaya memperindahnya, dia belum sempurna menjaga marwah ilmu. Meskipun yang kedua ini lebih baik dari yang pertama.

Jika diminta memilih upaya minimal dalam menjaga marwah ilmu, maka point kedua ini layak diprioritaskan. Artinya, jika belum mampu memperindah, maka setidaknya jangan merusak. Sebagaimana disinggung dalam kaidah yang menjadi prinsip dakwah ahlus sunnah; dan sebenarnya kaidah ini juga pepatah kehidupan,

التخلية قبل التحلية

“Membersihkan noda dahulu, baru menghias.”

Namun, tetap itu belum sempurna. Seorang penuntut ilmu selayaknya berambisi dapat menjaga marwah ilmu yang ada dalam dadanya dengan sempurna, membersihkan noda dan menghiasi ilmu.

Dalil perintah menjaga marwah ilmu

Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah pernah ditanya, “Anda telah mengetahui segala hukum dan hikmah dari Al-Quran, maka dimana perintah menjaga marwah (muru-ah) dalam Al-Quran?”

‘’Ada … ” Jawab Imam Sufyan rahimahullah, ‘’Ada di firman Allah Ta’ala,

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ ﴿١٩٩﴾

“Jadilah Engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.  (QS. Al-A’raf: 199)

ففيه المروءة, وحسن الأدب, ومكارم الأخلاق

“Di ayat ini, kata Imam Sufyan, ada perintah menjaga muru-ah, beretika yang baik, dan berakhlak mulia.” (Khulashoh Ta’dhimil Ilmi, hal. 33)

Contoh tindakan menodai ilmu yang sering terjadi

Mencukur jenggot, tidak menjaga pandangan saat di jalan, menjulurkan kaki ketika berkumpul dengan masyarakat, tanpa kebutuhan atau darurat (seperti karena sakit), berteman dengan orang-orang yang bermudah-mudah dengan dosa atau sibuk dengan hal-hal yang sepele atau tidak manfaat.

[Bersambung]

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Saudaraku, Inilah Pentingnya Ilmu Agama

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Saudaraku yang dirahmati Allah, bagi seorang muslim belajar ilmu agama bukan sekedar kegiatan sampingan. Kalau ada waktu dikerjakan dan kalau tidak ada ya tidak mengapa ditinggalkan. Bukan demikian! Ilmu adalah kebutuhan kita sehari-hari…

Diantara dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah, 

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا

“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2). 

Sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama bahwa yang dimaksud paling bagus amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas yaitu jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar maksudnya mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan, tidak mungkin seorang bisa ikhlas dan mengikuti tuntunan kecuali jika berlandaskan dengan ilmu.

Dalil yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini sebagaimana telah diterangkan pula oleh para ulama menunjukkan bahwa paham tentang ilmu agama adalah syarat mutlak untuk menjadi baik. 

Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah menerangkan, diantara faidah hadits di atas adalah : 

  • Dorongan untuk menimba ilmu (agama) dan motivasi atasnya
  • Penjelasan mengenai keutamaan para ulama di atas segenap manusia
  • Penjelasan keutamaan mendalami ilmu agama di atas seluruh bidang ilmu
  • Pemahaman dalam agama merupakan tanda Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba

(lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 2/59)

Dengan demikian, ketika kita berbicara mengenai keutamaan belajar ilmu agama sesungguhnya kita sedang membahas mengenai pentingnya seorang muslim mencapai keridhaan Allah dan cinta-Nya. Karena tidak mungkin dia bisa mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan-Nya kecuali dengan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bagaimana mungkin dia akan bisa mengikuti ajaran jika dia tidak membangun agamanya di atas ilmu dan pemahaman?!

Allah berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١

“Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (rasul) niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Al-Imran: 31)

Allah berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dengan hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Allah berfirman,

فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah juga berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣ 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)

Ayat-ayat di atas dengan gamblang menunjukkan kepada kita bahwa setiap muslim harus :

  • Mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan bersih dari syirik
  • Melandasi amal salihnya dengan keimanan dan tauhid
  • Tunduk kepada syari’at Allah, menegakkan sholat dan membayar zakat
  • Menegakkan nasihat dan kesabaran

Sementara tidak mungkin melakukan itu semuanya kecuali dengan dasar ilmu dan pemahaman.

Maka sekali lagi, belajar ilmu agama ini bukan kegiatan sampingan. Ini adalah kebutuhan setiap insan. Tidakkah kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) niscaya Allah akan mudahkan baginya dengan sebab itu jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Setiap kita butuh bantuan Allah untuk bisa istiqomah dalam beragama hingga akhir hayat. Lantas bagaimana seorang hamba bisa istiqomah apabila dia tidak berpegang dengan ilmu agama?

Akar atau kunci istiqomah terletak pada keistiqomahan hati; sejauh mana hati itu tunduk kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah istiqomah  iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh al-Albani). Hadits ini menunjukkan bahwa keistiqomahan anggota badan tergantung pada keistiqomahan hati, sedangkan keistiqomahan hati adalah dengan mengisinya dengan kecintaan kepada Allah, cinta terhadap ketaatan kepada-Nya dan benci berbuat maksiat kepada-Nya (lihat mukadimah Syarh Manzhumah fi ‘Alamati Shihhatil Qalbi, hal. 5-6)

Mengakui Kebodohan

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan:

Beruntunglah orang yang bersikap inshof/objektif kepada Rabbnya. Sehingga dia mengakui kebodohan yang meliputi ilmu yang dia miliki. Dia pun mengakui berbagai penyakit yang berjangkit di dalam amal perbuatannya. Dia juga mengakui akan begitu banyak aib pada dirinya sendiri. Dia juga mengakui bahwa dirinya banyak berbuat teledor dalam menunaikan hak Allah. Dia mengakui betapa banyak kezaliman yang dia lakukan dalam bermuamalah kepada-Nya. 

Apabila Allah memberikan hukuman kepadanya karena dosa-dosanya maka dia melihat hal itu sebagai bukti keadilan-Nya. Namun apabila Allah tidak menjatuhkan hukuman kepadanya dia melihat bahwa hal itu murni karena keutamaan/karunia Allah kepadanya. Apabila dia berbuat kebaikan, dia melihat bahwa kebaikan itu merupakan anugerah dan sedekah/kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya. 

Apabila Allah menerima amalnya, maka hal itu adalah sedekah kedua baginya. Namun apabila ternyata Allah menolak amalnya itu, maka dia sadar bahwa sesungguhnya amal semacam itu memang tidak pantas dipersembahkan kepada-Nya. 

Dan apabila dia melakukan suatu keburukan, dia melihat bahwa sebenarnya hal itu terjadi disebabkan Allah membiarkan dia dan tidak memberikan taufik kepadanya. Allah menahan penjagaan dirinya. Dan itu semuanya merupakan bentuk keadilan Allah kepada dirinya. Sehingga dia melihat bahwa itu semuanya membuatnya semakin merasa fakir/butuh kepada Rabbnya dan betapa zalimnya dirinya. Apabila Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya hal itu semata-mata karena kebaikan, kemurahan, dan kedermawanan Allah kepadanya. 

Intisari dan rahasia dari perkara ini adalah dia tidak memandang Rabbnya kecuali selalu melakukan kebaikan sementara dia tidak melihat dirinya sendiri melainkan orang yang penuh dengan keburukan, sering bertindak berlebihan, atau bermalas-malasan. Dengan begitu dia melihat bahwasanya segala hal yang membuatnya gembira bersumber dari karunia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan yang dicurahkan Allah kepadanya. Adapun segala sesuatu yang membuatnya sedih bersumber dari dosa-dosanya sendiri dan bentuk keadilan Allah kepadanya.

(lihat al-Fawa’id, hal. 36)

Demikian sekelumit cuplikan nasihat dan renungan, mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. 

Yogyakarta, 23 Syawwal 1441 H / 15 Juni 2020 

Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57143-saudaraku-inilah-pentingnya-ilmu-agama.html

Keberkahan Ilmu

KEMARIN saya berada di Pondok Pesantren An-Nuqayah Guluk-guluk, di forum pertemuan wali santri, para guru dan para masyayikh untuk memberikan motivasi pendidikan. Mungkin saya bukan orang yang tepat untuk memotivasi mereka karena saya sendiri masih membutuhkan motivator.

Saya sampaikan apa yang pernah disampaikan para masyayikh ketika bercerita ulama pada masa lalu. Mereka berkata, “Dari sisi pencapaian ilmu, kita mungkin saja lebih banyak dibandingkan mereka. Namun dari sisi pencapaian derajat kemuliaan, kita tidaklah satu derajat dengan mereka.”

Bahasa lainnya barangkali adalah bahwa ilmu mereka benar-benar barakah dan manfaat. Ilmu mereka membawa mereka lebih dekat dengan Allah dan lebih bermakna pada hamba-hamba Allah. Ilmu mereka menjadikan hati mereka damai dan sejuk. Mengapa bisa begitu?

Saya sampaikan tiga poin dalam forum tadi. Pertama adalah tentang ketulusan niat. Mereka mencari ilmu untuk menjadi pegangan hati dan ikatan amal, bukan hanya untuk koleksi isi kepala yang biasanya hanya untuk diperdebatkan demi popularitas. Poin pertama ini saya sarikan dari dawuh para ulama yang menekankan betul pada pengaruh niat dalam mencari ilmu.

Kedua adalah faktor keriusan para pencari ilmu, para guru dan para orang tua pencari ilmu. Diabadikan dalam sejarah banyak hikmah dan kisah bagaimana orang terdahulu rela berpayah dan bercapek diri dalam mencari ilmu. Tersebar kisah bagaimana orang tua jaman dulu berusa dan berdoa kuat-kuat untuk anak mereka. Terdengar sampai kini bagaimana para guru dulu membimbing para murid lahir dan batin.

Ketiga adalah tentang semangat khidmah, melayani. Melayani agama Allah dalam maknanya yang luas sungguh menjadi faktor penting hadirnya keberkahan. Banyak yang bisa saya kisahkan, namun tak mungkin melalui media singkat ini. Semoga ilmu kita dan anak cucu kita barakah.

 

INILAH MOZAIK

Kebutuhan Diri akan Ilmu

LIHATLAH orang-orang yang saban hari mondar-mandir dari warung ke warung dan dari restoran ke restoran. Lihat pula orang-orang yang kerap kali bolak balik ke toko membeli beras dan sayuran beserta lauk pauknya. Betapa besar kebutuhan manusia akan makanan.

Kebanyakan manusia rela dan tega berbuat apapun demi makan. Itu karena keyakinannya bahwa makanan adalah yang paling pokok dalam kebutuhan hidupnya, kebutuhan primer sebut mereka. Baiklah, saya bukan di posisi sebagai wasit mereka dalam hal ini, karena saya sendiri masih mencari makan juga. Namun cobalah renungkan kalimat berikut ini yang mungkin saja membuka mata kita untuk lebih bijak.

Adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang berkata bahwa, “Manusia membutuhkan ilmu lebih dari pada butuhnya mereka akan makanan dan minuman. Makanan dan minuman dibutuhkannya sekali atau dua kali saja dalam sehari, sementara ilmu dibutuhkannya terus menerus sepanjang nafas masih berhembus”.

Setuju tidak dengan dawuh Imam Ahmad? Masih enggankah mencari ilmu? Masih mau malaskah berkunjung ke majelis taklim? Sepertinya jumlah orang yang berkata “Kapan ya pengajian lagi? Aku rindu pengajian” adalah jauh lebih sedikit dibandingkan orang yang berkata “Lho kok pengajian lagi? Libur dulu lah.” Mari kita muhasabah.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Ilmu yang Berkah

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah, Dzat Yang Maha Menguasai segala ilmu. Dialah Allah, yang pengetahuan-Nya mencakup langit, bumi dan seluruh alam. Hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita akan kembali. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujaadilah [58] : 11)

Saudaraku, Allah Swt berjanji akan meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu. Semoga kita termasuk pecinta ilmu, karena dengan ilmulah iman menjadi kuat, amal jadi melimpah, hidup pun lebih berderajat.

Namun, ada hal yang memprihatinkan, karena ada juga orang yang berilmu, bahkan gelar akademiknya banyak, tapi kejahatannya juga banyak. Kepolisian pernah menangkap seorang bergelar profesor hukum, jabatannya wakil rektor salah satu kampus ternama di negeri ini. Ia ditangkap di salah satu hotel, sedang bersama seorang mahasiswi dan terungkaplah keduanya positif menggunakan narkoba. Maasyaa Allah, padahal kepakarannya di bidang hukum, tapi jam tiga dini hari ditangkap polisi dalam keadaan seperti demikian.

Demikianlah jika ilmu tidak berkah. Sesungguhnya, ilmu adalah ciptaan Allah, tujuannya atau ujungnya adalah supaya manusia semakin mengenal, yakin, takut dan dekat kepada Allah Swt. Sehingga kedalaman dan keberkahan ilmu itu tidak dilihat dari banyaknya gelar, tapi diukur dari rasa takut kepada Allah Swt. Makanya, ulama itu pengertiannya adalah orang yang takut kepada Allah, sehingga meski ia tidak bersorban, tidak berceramah di mimbar-mimbar namun rasa takutnya sangat besar kepada Allah, maka sesungguhnya ia orang yang berilmu tinggi.

Takut kepada Allah akan membuat seseorang semakin mendekat kepada-Nya. Semakin ia takut kepada Allah, maka semakin ia akan menjauhi maksiat dan mempertebal ibadahnya. Semakin jauh ia dari maksiat dan semakin kuat ibadahnya, maka semakin mulialah ia dan semakin tinggilah derajatnya di hadapan Allah Swt.

Maka, penting bagi kita untuk selalu menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan kita tentang dunia, dengan ilmu tentang Allah. Terlalu kita pintar memahami dunia ini, jika tanpa dikuatkan dengan ilmu tauhiid, maka akan mudah kita untuk tersesat. Namun, jika kuat pula ilmu tauhiid kita, maka segala pengetahuan kita tentang dunia ini akan mengantarkan kita pada puncak keyakinan kepada Allah Swt. Inilah orang yang akan Allah tinggikan derajatnya.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita termasuk orang-orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu yang berkah, yang mengantarkan kita kepada ketinggian derajat di hadapan Allah Swt. Aamiin yaa Robbal aalamiin.

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

SMS TAUHIID

Ilmu, Sofis, dan Akhlak

ILMU memiliki posisi penting di dalam Islam. Teks-teks al-Qur’an dan Hadits telah menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana Islammemberikan penekanan yang sangat besar terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu—seperti hakikat ilmu; orang-orang berilmu; ruang lingkup ilmu; sumber-sumber ilmu; tingkatan ilmu; tujuan memperoleh ilmu; niat, cara, upaya, dan usaha untuk memperoleh ilmu. Tidak diragukan lagi bahwasanya Islam adalah agama berdasarkan ilmu. Sesuatu yang diakui oleh salah seorang orientalis besar, Franz Roshental, dalam karyanya yang berjudul, Knowledge Triumphant (Franz Roshental, Knowledge Triumphant [Leiden: Brill, 2008]).

Berdasarkan pandangan tersebut, ilmu selalu menjadi perhatian besar para sarjana Muslim. Mereka memiliki pandangan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mencapai ilmu, yang pada gilirannya, memiliki kemampuan untuk mengetahui (ʿilm), mengakui (maʿrifah), memilih (ikhtiyār), memisahkan (tafrīq), memutuskan (ḥukm) dan membedakan kebenaran (ḥaqq) dari kepalsuan (bāṭil), kenyataan (ḥaqq) dari ilusi (wahm), keabsahan (salīm) dari ketidakabsahan (saqīm), kebaikan (ḥasan) dari keburukan (qubḥ), manfaat (nafʿ) dari bahaya (ḍarar), dan asli (ṣādiq) dari palsu (zā’if, Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran [Jakarta: Gema Insani, 2008], 202-203).

 

Di antara kelompok sarjana Muslim yang menekankan tentang pentingnya ilmu adalah Mutakallimun. Menurut mereka, ilmu identik dengan keyakinan, maka keyakinan, lebih khusus lagi keyakinan rasional yang berasal dari ajaran fundamental dalam Islam, harus didasarkan pada demonstrasi rasional dan ilmu yang tepat. Ilmu adalah dasar bagi metafisika, terutama bagi wujud Allah, yang merupakan realitas tertinggi wujud. Di sini kita bisa melihat mengapa karya-karya Mutakallimun tentang teologi seringkali diawali dengan konsep tentang ilmu. Sebab, dalam ilmu Teologi Islam (ʿilm al-kalam), ilmu tidak hanya berfungsi sebagai dasar bagi argumen rasional saja, tetapi juga sebagai argumen teologi. Inilah yang menjadi alasan mengapa tema tentang ilmu dan wujud Allah selalu menempati jumlah besar karya-karya teologi Islam, seperti dapat dilihat dengan jelas dari Mawāqif karya ʿAḍud al-Dīn al-Ījī (w. 756 H/1355 M).

Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa Mutakallimun menentang dengan sangat keras segala macam bentuk yang disebut pseudo-ilmu, seperti yang dilakukan oleh kaum sofis. Bahkan bisa disebut, Mutakallimun adalah di antara kelompok yang memberikan bantahan dan kritik keras terhadap kaum sofis (ʿAbd al-Qāhir ibn Ṭāhir al-Tamīmī al-Baghdādī, Uṣūl al-Dīn [Instanbul: Maṭbaʿah al-Dawlah, 1928], 6-7; Ibn Ḥazm, al-Faṣl fi al-Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal, 2nd ed., ed. Muḥammad Ibrāhīm Naṣr dan ʿAbd al-Raḥmān ʿUmayrah, 5 vols. [Beirut: Dar al-Jayl, 1996], 1: 43-46).

Dalam hal ini, Mutakallimun menganggap bahwa sofisme, yang asalnya berakar dan berkembang di peradaban Yunani Kuno, merupakan salah satu faham yang menentang ilmu. Dalam berbagai kuliah, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud sering menyebut kaum Sofis sebagai orang-orang yang ingkar ilmu. Di sini, sofisme tidak hanya menghancurkan agama, tetapi juga semua ilmu.Ketika ilmu dilawan dan dinafikan, maka ia sama dengan menafikan metafisika.

Lalu siapa dan apa pemahaman yang dibawa oleh kaum sofis itu?Menurut al-Attas, Abd al-Qāhir al-Baghdādī adalah orang pertama yang memberikan klasifikasi tentang kaum sofis, yaitu agnostik (al-lā adriyyah); subjektif (al-ʿindiyyah); dan skeptik(al-ʿindiyyah). Agnostik adalah sikap orang-orang yang berpendapat bahwa mereka tidak tahu (lā adrī) apakah sesuatu benar-benar wujud atau tidak, bahkan mereka meragukan keraguan mereka sendiri. Subjektif adalah sikap orang-orang yang berpendapat bahwa tidak ada kebenaran objektif dalam ilmu, semua ilmu adalah subjektif, tergantung kepada opini setiap orang (ʿindī). Skeptik adalah sikap orang-orang yang menolak hakikat segala sesuatu, bahkan “sesuatu” yang kita sebut pun hanya merupakan fantasi dan imaginasi. Meskipun memiliki titik tekan yang berbeda-beda, tetapi ketiga golongan Sofis tersebut memiliki kesamaan sifat: menolak kemampuan manusia untuk mencapai ilmu dan kebenaran (Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ʿAqā’id of al-Nasafī [Kuala Lumpur: University of Malaya, 1988], 48.

 

Dengan demikian, kaum Sofis mengajarkan relativisme, skeptisisme, dan agnotisme dalam ilmu. Protagoras (480-411 SM), salah seorang Sofis terkemuka di zaman Yunani Kuno mengatakan bahwasanya tidak ada yang dinamakan kebaikan, keburukan, kebenaran, dan kesalahan absolut, serta setiap orang berhak menjadi otoritas final. Dia kemudian mengeluarkan ungkapan yang sangat terkenal, manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things. Plato, Protagoras and Meno, terj. W.K.C. Guthrie (London: Penguin Classics, 1956], 28).Oleh sebab itu, di dalam al-Faṣl fi al-Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal, Ibn Hazm menyebut kaum Sofis sebagai orang-orang yang menafikan hakikat (mubṭil al-ḥaqā’iq).Karena ancaman besar yang diberikan oleh kaum Sofis terhadap ilmu dan agama, Najm al-Dīn al-Nasafī memulai teks akidahnya dengan ungkapan yang secara langsung membantah kaum Sofis, “ḥaqā’iq al-ashyā’ thābitah wa al-ʿilm bihā mutaḥaqqiq khilāfan li al-sufasṭā’yyah” (hakikat segala sesuatu adalah tetap, dan ilmu tentangnya adalah pasti, berbeda dengan kaum Sofis).

Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzī, salah satu hakikat ilmu yang dinafikan oleh kaum Sofis adalah ketika mereka menolak dalil-dalil panca indera (al-ḥissiyāṭ)dan aksiomatik (al-badīhiyyāt) sebagai sumber ilmu (Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Muḥaṣṣal al-Afkār al-Mutaqaddimīn wa al-Muta’akhkhirīn, ed. Samīḥ Daghīm (Beirut: Dār al-Fikr al-Lubnānī, 1992), 37). Padahal, dalam struktur keilmuan Islam, panca indera adalah saluran ilmu paling rendah (al-Attas, The Oldest,53, 66, 101-102). Untuk kasus zaman sekarang, para penyeru LGBT bisa dikategorikan ke dalam bentuk penolakan terhadap dalil panca indera dan aksiomatik, ilmu yang disebut oleh Qāḍī al-Quḍāt ʿAbd al-Jabbār, salah seorang tokoh Muʿtazilah paling terkemuka, sebagai ilmu yang tidak bisa dinafikan oleh manusia dengan cara apa pun (ʿAbd al-Jabbār ibn Aḥmad, Sharḥ al-Uṣūl al-Khamsah, ed. ʿAbd al-Karīm ʿUthmān[Kairo: Maktabah Wahbah, 1996], 49). Semenjak zaman dahulu sampai zaman sekarang manusia sepakat tentang definisi laki-laki dan perempuan. Kalaupun definisi laki-laki dan perempuan ingin digugat untuk kemudian diberi definisi baru, kenapa hal-hal lain yang bersifat aksiomatik (seperti hakikat api adalah panas dan membakar, hakikat salju itu dingin, manusia berpijak di atas tanah, manusia berkedip dengan mata, 1+1 = 2, dan lain-lain), dan jumlahnya tidak terhitung tidak digugat juga?Dalam hal ini, ketidakkonsistenan kaum Sofis terlihat dengan jelas. Jika panca indera yang merupakan saluran ilmu paling rendah dan jembatan untuk mendapatkan ilmu-ilmu lain yang lebih tinggisaja ditolak, apalagi dengan saluran-saluran ilmu lain yang lebih tinggi? Oleh sebab itu, menurut al-Rāzī, sikap terbaik terhadap orang-orang keras kepala seperti orang-orang Sofis adalah dengan menghindar jauh dari mereka (Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Muḥaṣṣal, 37).Orang-orang yang membela kasus penistaan agama di tanah air yang akhir-akhir ini menarik banyak perhatian pun bisa dikategorikan termasuk ke dalam kelompok kaum Sofis yang menolak dalil panca indera. Al-Attas betul, permasalahan ilmu yang dihadapi oleh para sarjana Muslim pada zaman dahulu banyak persamaan dengan permasalahan yang ada pada zaman sekarang (Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, [Kuala Lumpur: ISTAC, 1998]: 85).

Kaum Sofis dan Akhlak

Sejatinya, watak kaum Sofis yang meragukan kebenaran dan membenarkan keraguansudah cukup memberikan gambaran kepada kita tentang hakikat akhlak mereka. Di dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu Wata’ala sudah mewanti-wanti tentang sifat Iblis yang selalu menolak kebenaran. Kesalahan Iblis yang kemudian dilaknat oleh Allah bukan karena Iblis tidak menjunjung nilai-nilai toleransi, demokrasi, kemajemukan, kebhinekaan dll., tapi kesalahan Iblis ada dalam konsep ilmu, yaitu menolak kebenaran.Apalagi, mengikuti al-Ghazali, akhlak pada hakikatnya bukan tampilan-tampilan luar seperti toleransi, tenggang rasa, dll., tapi akhlak adalah kondisi dalaman yang ada di dalam hati (Al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, 16 vols. (Beirut: Dār al-Fikr, 1980), 8: 97). Syamsuddin Arif menyebut para cendekiawan yang memiliki sifat keras kepala seperti Iblis sebagai cendekiawan bermental diabolik (Syamsuddin Arif, Orientalis, 143-147).Salah dalam ilmu akan mengakibatkan salah dalam akidah dan akhlak.

 

Pada zaman Yunani Kuno, salah satu gaya kaum Sofis seperti Protagoras, Gorgias (485-380 SM), Prodicus (465-395 SM),Hippias (460 SM), dan Thrasymachus (459-400 SM) menyebarkan ajaran-ajaran mereka adalah dengan cara retorika persuasif. Pada zaman itu mereka memang terkenal sebagai orang-orang yang pandai beretorika. Mereka mengajarkan kepada orang-orang cara berbicara di depan umum.Protagoras, misalnya mengajarkan murid-muridnya untuk memuji dan mencela satu permasalahan yang sama. Wejangan Protagoras yang terkenal adalah: membuat argumen yang lemah menjadi kuat (to make the weaker argument the stronger). Protagoras juga mengklaim sebagai guru politik, sedangkan Gorgias mengaku sebagai master retorika. Kaum Sofis pada zaman Yunani Kuno pun terkenal sebagai orang-orang yang sombong, percaya diri, serta cerdik dalam memaparkan argumen.Karena memiliki skill menarik perhatian banyak orang, mereka kemudian memasang tarif yang sangat mahal untuk mengajarkan skill dalam beretorika. Protagoras adalah di antara Sofis yang menjadi kaya raya dengan tarif mahal yang dipasangnya (W.K.C. Guthrie, The Sophists [Cambridge: Cambridge University Press, 1971], 51, 181-182; Jacqueline De Romilly, The Great Sophists in Periclean Athens,terj. Janet Lloyd [Oxford: Clarendon Press, 1992], 4-7, 237).

Demikianlah hakikat kaum Sofis. Secara epistemologis, pemikiran mereka sangat berseberangan dengan konsep ilmu di dalam Islam, dan secara etika mereka jauh dari akhlak mulia sebab yang diajarkan hanya retorika penuh tipu daya yang berdasarkan asumsi dan kepentingan dunia. Sifat sombong dan percaya diri yang berlebihan cukup memberikan gambaran kepada kita tentang hakikat akhlak mereka. Bahkan, Guthrie menjelaskan bahwa antarsesama mereka saja, kaum Sofis terkenal sebagai orang-orang individualistik, lawan, dan pesaing satu dengan lain (W.K.C. Guthrie, The Sophists, 47).

Kaum Sofis pada zaman dahulu dan zaman sekarang tetaplah kaum Sofis. Mereka adalah orang-orang ingkar ilmu, menolak hakikat yang pasti, meragukan kebenaran, membenarkan keraguan, dan jauh dari akhlak Islam. Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka, hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin (QS al-Baqarah [2]: 118). Wallahu aʿlam bi al-ṣawwāb.*

 

Oleh: Arif Munandar Riswanto

Mahasiswa Ph.D Centre for Advanced Studies on Islam Science and Civilisation, Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM) Kuala Lumpur

 

sumber: Hidayatullah

Para Guru, Merekalah Bintang di Muka Bumi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan ulama atau guru yang alim seperti bintang yang menjadi petunjuk arah saat di kegelapan.

Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.”

Selama ilmu ada, manusia akan terus berada dalam petunjuk. Ilmu tetap terus ada selama ulama ada. Jika ulama dan penggantinya sudah tiada, jadilah manusia tersesat.

Sebagaimana disebut dalam Shahihain, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu begitu saja, dicabut dari para hamba. Ketahuilah ilmu itu mudah dicabut dengan diwafatkannya para ulama sampai tidak tersisa seorang alim pun. Akhirnya, manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai tempat rujukan. Jadinya, ketika ditanya, ia pun berfatwa tanpa ilmu. Ia sesat dan orang-orang pun ikut tersesat.” (HR. Bukhari, no. 100 dan Muslim, no. 2673) (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, 2: 298)

Sungguh jasa guru dan ulama kita begitu besar. Bayangkan jika nelayan yang berada di kegelapan malam lantas tak memiliki petunjuk jalan dari bintang-bintang di langit. Sesatkah jadinya?

Wallahu waliyyut taufiq.

 

sumber:  Rumaysho

Sudah Manfaatkah Ilmu Kita?

Kita sudah banyak belajar, namun kadang ilmu yang kita pelajari tidak membekas atau tidak manfaat. Bagaimana kita bisa tahu kalau ilmu tersebut bermanfaat?

Beberapa hal berikut bisa sebagai indikasi kalau ilmu yang kita pelajari selama ini bermanfaat.

 

Pertama:

Ilmu tersebut semakin membuat kita takut pada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)

Ibnul Qayyim menyatakan, “Ayat tersebut menunjukkan dua hal: (1) yang takut pada Allah hanyalah ulama, (2) tidaklah disebut alim (orang berilmu) kecuali punya rasa takut pada Allah. Yang takut pada Allah hanyalah ulama. Semakin hilang ilmu, semakin hilang rasa takut. Jika rasa takut hilang, maka ilmu pun akan makin redup.” (Syifa’ Al-‘Alil, 2: 949)

 

Kedua:

Ilmu tersebut mendorong kita untuk semakin semangat melakukan ketaatan dan semakin semangat menjauhi maksiat.

Sebagian ulama salaf berkata, “Siapa yang takut pada Allah, maka dialah ‘alim, seorang yang berilmu. Siapa yang bermaksiat pada Allah, dialah jahil (orang yang jauh dari ilmu).”

 

Ketiga:

Ilmu yang manfaat akan mengantarkan pada sifat qana’ah (selalu merasa cukup) dan zuhud pada dunia.

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Sesungguhnya orang yang berilmu adalah orang yang zuhud pada dunia dan semangat mencari akhirat. Ia paham akan urusan agamanya dan rutin melakukan ibadah pada Rabbnya.”

 

Keempat:

Tawadhu’ (rendah hati) dan mudah menerima kebenaran dari siapa pun, lalu ingin menerapkan kebenaran tersebut.

 

Kelima:

Benci pujian dan enggan menyucikan diri sendiri, juga tidak suka ketenaran. Jika ia disanjung lalu menjadi populer bukan karena keinginan dan pilihannya, ia pun takut dengan rasa takut yang besar, takut akan akibat jeleknya.

 

Keenam:

Ilmu yang dipelajari tidak jadi kebanggaan dan kesombongan di hadapan lainnya. Ia tahu bahwa para salaf dahulu lebih mulia dan ia pun selalu berprasangka baik padanya.

Wallahu Ta’ala a’lam.         

 

Sudahkah ilmu kita membuahkan hal-hal di atas sehingga dapat disebut ilmu itu manfaat? Semoga …

Dinukil dari bahasan Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 10: 475-476.

اللَّهُمَّ انْفَعْنِى بِمَا عَلَّمْتَنِى وَعَلِّمْنِى مَا يَنْفَعُنِى وَزِدْنِى عِلْمًا

[Allahummanfa’nii bimaa ‘allamtanii wa ‘allimnii maa yanfa’unii, wa zidnii ‘ilmaa]

“Ya Allah, berilah manfaat pada ilmu yang telah Engkau ajarkan padaku, ajarilah aku hal-hal yang bermanfaat untukku, dan tambahkanlah aku ilmu.” (HR. Ibnu Majah, no. 251 dan Tirmidzi, no. 3599, shahih)

 

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Marram. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Fauzan Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.