Antara Zikir dan Jihad

Pertama, bersyukur kepada Allah SWT, aksi damai yang diimami para ulama dan habaib berjalan dengan damai dan tertib, meski selepas isya terjadi hal yang tidak diinginkan. Insya Allah perjuangan ini tidak sia-sia. Bahkan sangat bernilai di hadapan Allah SWT.

Di ujung cerita semoga kita akan menemukan bahwa keadilan di negeri ini akan benar-benar berpihak pada seharusnya. Seperti ke bawah sangat tajam, maka semoga ke atas jauh lebih tajam. Berikutnya, untuk saling mengingatkan, tulisan ini semoga dibaca dalam konteks menyeluruh bahwa tidaklah bijak kembali mempertentangkan antara zikir dan jihad.

Setelah beberapa kali, penulis turut serta menyuarakan syiar dakwah dengan turun ke jalan, maka tidak sedikit menyayangkan. Baiknya, penikmat zikir cukup melesatkan lirih zikirnya ke Langit. Bagian jihad adalah yang lain. Sehingga, tidak harus ikut turun.

Ikhwah, insya Allah tidak perlu mempertentangkan antara zikir dan jihad. Keduanya sangat erat berkaitan. Ada ulama yang berkata, “Sebaik-baik orang yang berzikir, adalah yang berjihad. Sebaik-baik orang yang berjihad adalah yang suka berzikir.”

Zikir sering dipersepsikan sebagai tindakan membersihkan hati dan jiwa dari berbagai karat dosa dan kehidupan dunia dengan khusyuk bermunajat. Sungguh benar hal ini, namun tidak utuh. Apalagi jika implikasinya menarik diri dari berbagai persoalan keumatan yang dihadapi.

Menikmati zikir namun dengan menarik diri dari problematika keumatan yang akut, bukanlah maksud dan tujuan dari syariat berzikir. Justru dengan zikirlah kita mendapatkan energi dan kekuatan ruhiyah dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk harakah jihad konstitusional yang lalu.

Pihak-pihak tertentu ingin membelokkan makna zikir sebagai sikap tak peduli dengan aturan syariat dan apatis terhadap masalah keumatan. Maka jangan heran, ketika dulu penulis sebutkan kata jihad untuk menghadapi gerombolan yang memasuki komplek pemukiman Az-Zikra dengan nista, mereka banyak yang marah.

Lalu menuduh agenda zikir kami sebagai kedok. Karena yang mereka mau, kalau orang yang suka berzikir itu, tidak usah bersikap tegas, hatinya bersih karena tidak punya musuh. Pun dengan kejadian belum lama di mana penulis ikut lagi turun, suara nyaring agar kembali ke majelis dipropagandakan juga.

Maka penting bagi kita menyegarkan kembali makna dari syariat zikir yang sesungguhnya, agar tak mudah dibelokkan. Zikir memang ibadah yang sangat dianjurkan dalam syariat. Ibadah yang sangat mudah, tapi besar kedudukan dan dampaknya. Dia adalah ibadah yang dapat dilakukan kapan saja, di mana saja (kecuali di tempat yang kotor), bahkan saat junub pun dibolehkan berzikir.

Rugilah orang yang tidak suka berzikir. Bukan hanya karena kesempatan pahala yang hilang, tapi juga asupan jiwa yang sangat dibutuhkan pun berkurang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menghabiskan waktunya yang lama setiap harinya sehabis shalat Fajar (Shubuh) untuk berzikir.

Syekh Fudhail bin Iyadh pernah disurati dan dinasihati oleh Abdullah bin Mubarak. Di saat kaum muslimin sibuk berjihad menghadapi pasukan Tartar, Fudhail bin Iyadh asyik dengan kekhusyukan ibadahnya di Masjidil Haram. Abdullah bin Mubarak menasehati: “Wahai ahli ibadah di Tanah haram, jika kau perhatikan perjuangan kami, kan kau dapati bahwa ibadahmu adalah main-main”.

Hubungan zikir dan jihad memang erat. Dalam surat Al-Anfal: 45, Allah SWT memerintahkan para mujahid untuk teguh berjuang seraya terus berzikir. Justru, jihad adalah bagian dari zikir itu sendiri dan zikir adalah salah satu unsur dasar dalam berjihad.

Jangan ada dikotomi antara zikir dan jihad atau membanding-bandingkan mana yang paling baik, berzikir ataukah berjihad. Adakah medan jihad di Negara kita. Amat banyak. Jihad intinya adalah mengerahkan segenap tenaga dan potensi membela agama Allah. Dan kemarin itulah salah satunya. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham

REPUBLIKA