10 Kiat Istiqomah (14)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (13)

(Lanjutan kaedah kedelapan)

Apa yang disampaikan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin, bahwa tingkat kecepatan dan kesuksesan dalam melintasi Ash-Shirath (Jembatan) pada hari kiamat berdasarkan amal pelintasnya dan berdasarkan keistiqamahannya dalam berpegang teguh dengan Ash-Shirathul Mustaqim di dunia, hal ini sesuai dengan kandungan hadits berikut ini,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْل الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((وَتُرْسَلُ الْأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ فَتَقُومَانِ جَنَبَتَيْ الصِّرَاطِ يَمِينًا وَشِمَالًا فَيَمُرُّ أَوَّلُكُمْ كَالْبَرْقِ))، قَالَ : قُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَيُّ شَيْءٍ كَمَرِّ الْبَرْقِ ؟ قَالَ: ((أَلَمْ تَرَوْا إِلَى الْبَرْقِ كَيْفَ يَمُرُّ وَيَرْجِعُ فِي طَرْفَةِ عَيْنٍ؟ ثُمَّ كَمَرِّ الرِّيحِ ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ وَشَدِّ الرِّجَالِ تَجْرِي بِهِمْ أَعْمَالُهُمْ وَنَبِيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصِّرَاطِ يَقُولُ رَبِّ سَلِّمْ سَلِّمْ حَتَّى تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعِبَادِ حَتَّى يَجِيءَ الرَّجُلُ فَلَا يَسْتَطِيعُ السَّيْرَ إِلَّا زَحْفًا قَالَ وَفِي حَافَتَيْ الصِّرَاطِ كَلَالِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بِأَخْذِ مَنْ أُمِرَتْ بِهِ فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ وَمَكْدُوسٌ فِي النَّارِ)) رواه مسلم.

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Lalu diutuslah amanah dan rahim (tali persaudaraan). Keduanya berdiri di samping kiri-kanan shirath tersebut. Orang yang pertama lewat seperti kilat.’ Aku bertanya, ‘Dengan bapak dan ibuku (aku korbankan) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat?’ Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidakkah kalian pernah melihat kilat bagaimana ia lewat dalam sekejap mata?’ Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung, dan seperti larinya orang. Mereka berjalan sesuai dengan amalan mereka. Nabi kalian waktu itu berdiri di atas shirath sambil berkata, ‘Ya Allah selamatkanlah, selamatkanlah. Kemudian ada para hamba yang lemah amalannya, sampai-sampai datang seseorang yang tidak bisa lewat kecuali dengan merangkak.’ Beliau menuturkan (lagi), ‘Di kedua tepi shirath terdapat besi pengait yang bergantungan untuk diperintahkan menyambar siapa saja yang diperintahkan untuk disambar. Maka ada yang terkoyak namun selamat dan ada pula yang dijerumuskan ke dalam neraka’” (HR. Muslim).

Pada Dua Sisi Ash-Shirath Tergantung Banyak Pengait yang Menyambar Orang-Orang yang Sewaktu Di Dunia Tersambar Syubhat dan Syahwat

Ketahuilah bahwa kedua sisi Ash-Shirath tergantung banyak pengait-pengait yang menyambar. Bentuknya seperti batang besi pengait daging, berujung bengkok, dan berkawat duri sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Muttafaqun ‘alaihi di atas. Karena balasan itu sejenis dengan amalan, maka pengait-pengait di kedua sisi Ash-Shirat (jembatan) tersebut pun akan menyambar orang-orang yang sewaktu di dunia tersambar oleh syubhat dan syahwat. Berkenaan dengan hal ini, Syaikh Abdur Razzaq rahimahullah mengutarakan,

مَن كانَ في هذه الحياة الدُّنيا تَخطَفُه الشُّبهات عن الصِّراط المستقيم ، وتَخطَفُه الشَّهواتُ عن الصِّراط المستقيم ، فأيضاً الكلاليبُ الَّتي على جَنبَتي الصِّراط يوم القيامة تخطفه مثلَ ما خطفَته الشُّبهات والشَّهوات في هذه الحياة الدُّنيا

“Maka barangsiapa yang di kehidupan dunia ini disambar oleh syubhat sehingga terhalangi dari meniti jalan yang lurus, dan disambar oleh syahwat sehingga terhalangi dari meniti jalan yang lurus (pula), maka pengait-pengait yang berada di atas sisi  jembatan (Ash-Shirath) pada hari Kiamat itu akan menyambarnya semisal sambaran syubhat dan syahwat yang menyambarnya di kehidupan dunia ini.”

(Bersambung)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33591-10-kiat-istiqomah-14.html

10 Kiat Istiqamah (13)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqamah (12)

KAEDAH KEDELAPAN “Buah Istiqamah di Dunia adalah Istiqamah di atas Jembatan (Ash-Shirath) pada Hari Kiamat”

“Buah istiqamah di dunia adalah istiqamah di atas jembatan (Ash-Shirath) pada hari Kiamat”, maksudnya adalah barangsiapa yang diberi petunjuk sewaktu di dunia hingga ia berhasil meniti Ash-Shirathul Mustaqim (Syariat Islam) dan istiqamah di atasnya, maka ia akan berhasil meniti jembatan (Ash-Shirath) di akhirat.”

Hal ini sesuai dengan kaidah dalam Al-Qur`an Al-Jaza` min jinsil ‘Amal bahwa balasan itu sejenis dengan amal yang diperbuat. Tatkala amalan seseorang adalah istiqamah di dunia, maka iapun memetik buahnya berupa istiqamah di akhirat. Ketika ia berhasil meniti Ash-Shirath yang lurus di dunia, maka iapun berhasil meniti Ash-Shirath di akhirat.

Di akhirat kelak, akan dibentangkan jembatan (Ash-Shirath) di atas neraka Jahannam. Ciri khas jembatan tersebut lebih tajam daripada pedang dan lebih tipis daripada rambut. Manusia diperintahkan melewatinya. Berhasil atau tidaknya seseorang dalam melewatinya sesuai dengan tingkatan istiqamahnya meniti Ash-Shirathul Mustaqim (Syariat Islam) sewaktu di dunia, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْجسْرُ قَالَ مَدْحَضَةٌ مَزِلَّةٌ عَلَيْهِ خَطَاطِيفُ وَكَلَالِيبُ وَحَسَكَةٌ مُفَلْطَحَةٌ لَهَا شَوْكَةٌ عُقَيْفَاءُ تَكُونُ بِنَجْدٍ يُقَالُ لَهَا السَّعْدَانُ

“Kemudian didatangkan jembatan lalu dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam. Kami (para Sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana (bentuk) jembatan itu?’ Jawab beliau, ‘Licin (lagi) mengelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Najd, dikenal dengan pohon Sa’dan …’” (Muttafaqun ‘alaih).

Sebagaimana pula hadits tentang macam-macam nasib orang yang melewati jembatan (Ash-Shirath) di akhirat,

فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ ، وَمَخْدُوشٌ مُرْسَلٌ ، وَمَكْدُوسٌ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

Maka ada yang selamat tanpa luka, namun ada yang terkoyak lalu selamat, dan adapula yang jatuh kedalam neraka Jahannam” (H.R. Muslim).

Kecepatan Melintasi Ash-Shirath (Jembatan) pada Hari Kiamat Berbanding Lurus dengan Keistiqamahan di Dunia

Adapun tingkat kecepatan dan kesuksesan dalam melintasi Ash-Shirath (jembatan) pada hari Kiamat berdasarkan amal pelintasnya dan berdasarkan keistiqamahan dalam berpegang teguh dengan Ash-Shirathul Mustaqim di dunia.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin 1/10 berkata,

فمَنْ هُدِي في هذه الدَّار إلى صراطِ الله المستقيمِ الَّذي أرسَل به رسُلَه وأنْزَل به كُتبَه هُدِيَ هُناك إلى الصِّراط المستقيم الموصِل إلى جنَّتِه ودار ثَوابِه ، وعلى قَدر ثُبوتِ قَدمِ العبدِ على هذا الصِّراط الَّذي نَصبَه الله لعبادِه في هذه الدَّار يكونُ ثُبوت قدمِه على الصِّراط المنصُوب على مَتنِ جهنَّم ، وعلى قَدر سَيْره على هذه الصِّراط يكونُ سَيْرُه على ذاك الصِّراط

“Maka barangsiapa yang diberi petunjuk ke jalan Allah yang lurus di dunia ini -yang para rasul-Nya diutus dengannya dan Allah turunkan Kitab-Kitab-Nya dengan sebabnya, maka ia akan diberi petunjuk di (akharat) sana kepada jalan lurus yang menghantarkan kepada surga-Nya dan tempat pahala-Nya.”

Sekadar tegarnya kaki seorang hamba meniti jalan yang Allah tetapkan untuk hamba-Nya di dunia ini, maka sekadar itu pulalah tegarnya kaki seorang hamba meniti jembatan yang dibentangkan di atas Jahannam. Dan sesuai dengan kadar perjalanan seorang hamba meniti jalan lurus (Ash-Shirathul Mustaqim di dunia ini), maka sekadar itu pulalah kadar perjalanannya di atas jalan Ash-Shiroth (jembatan pada hari Kiamat).”

(Bersambung)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33587-10-kiat-istiqamah-13.html

10 Kiat Istiqomah (12)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (11)

KIAT KETUJUH:

“Seorang hamba, meski bagaimanapun tingginya tingkat istiqomahnya, maka ia tidak boleh bersandar kepada amalnya”

Kewajiban seorang hamba adalah tidak bersandar kepada amalnya, meski bagaimanapun tingginya tingkat istiqomahnya, walaupun bagaimanapun tingginya keshalehannya.

Jangan sampai ia tertipu dan silau dengan ibadahnya, shalatnya, puasanya, dzikirnya ataupun ketaatan lainnya yang ia lakukan.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

والمطلوبُ منَ العبد الاستقامةُ وهيَ السَّداد، فإنْ لمْ يَقدِر عليهَا فالمُقارَبَة، فإنْ نَزل عنهَا فالتَّفريطُ والإضَاعةُ،

“Yang tertuntut dari seorang hamba adalah istiqomah, yaitu sadaadjika ia tidak mampu maka bersikaplah muqaarabahAdapun jika melakukan di bawah muqaarabah, berarti terjerumus ke dalam mengurangi batasan (syar’i) dan menelantarkan(nya)”.

Sebagaimana di dalam Ash-Shahihain dari hadits A’isyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ الجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ، قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ الله!؟ قَالَ: وَلَا أَنَا؛ إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ الله مِنْهُ بِمَغْفِرَةٍ ورَحْمَةٍ

“Bersikaplah kalian sesuai dengan (sunah) dan mendekatilah, serta bergembiralah, karena sesungguhnya amal seseorang tidaklah memasukkan dirinya kedalam surga”. Para sahabat bertanya: “Tidak pula Anda wahai Rasulullah?”, beliau menjawab: “Tidak pula saya, hanya saja Allah melimpahkan kepadaku ampunan dan rahmat dari-Nya”.

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan seluruh kedudukan-kedudukan dalam agama Islam ini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan (umatnya) untuk istiqomah, yaitu: lurus dan benar dalam seluruh niat, ucapan dan perbuatan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan dalam hadits Tsauban, yaitu:

استَقِيمُوا ولنْ تُحْصُوا، واعْلَمُوا أنَّ خَيْرَ أعْمَالِكُم الصَّلاة

“Istiqomahlah dan kalian tidaklah akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah), dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat” (HR. Imama Malik dalam Al-Muwaththa` dan Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Bahwa mereka tidak mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah), sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengalihkan kepada muqaarabah, yaitu: agar mereka mendekat kepada istiqomah sesuai dengan kemampuan mereka, seperti orang yang membidik suatu sasaran, maka jika tidak tepat mengenai sasaran, setidaknya mendekati sasaran tersebut! (Madarijus Salikin: 2/105).

Selanjutnya, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kandungan lain dari  hadits A’isyah radhiyallahu ‘anha dalam Ash-Shahihain di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

فأخبَرهُم أنَّ الاستقَامَة والمقارَبة لا تُنْجي يومَ القِيامةِ، فلا يَرْكَن أحدٌ إلى عمَلِه ، ولا يَعْجَب به ، ولا يَرى أنَّ نَجاتَه به ؛ بَل إنَّما نجاتُه برحمةِ الله وعفوِه وفضلِه

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengabarkan bahwa istiqomah (sadaad) dan muqaarabah tidaklah menyelamatkan (pelakunya) pada hari kiamat kelak, maka janganlah seseorang bersandar kepada amalnya (merasa aman) dan janganlah ia bangga/silau dengan amalannya, serta janganlah ia memandang bahwa hakekatnya keselamatan dirinya ditentukan oleh amalnya, akan tetapi hakekatnya keselamatan dirinya adalah karena rahmat Allah, maaf-Nya dan karunia-Nya” (Madarijus Salikin: 2/105).

(Bersambung)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33584-10-kiat-istiqomah-12.html

10 Kiat Istiqomah (11)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (10)

KIAT KEENAM:

“Istiqomah tidak terwujud kecuali dengan ikhlas karena Allah dan dengan pertolongan Allah, serta sesuai dengan perintah Allah”

Keistiqomahan seorang hamba tidaklah terwujud kecuali dengan tiga perkara, yaitu:

  1. Dengan ikhlas karena Allah (Lillah), maksudnya: seorang hamba dalam beristiqomah meniti jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala yang lurus dan melaksanakan agama Islam ini haruslah ikhlas karena Allah Tabaraka wa Ta’ala, dalam rangka melaksanakan perintah Allah Tabaraka wa Ta’ala, mengharap perjumpaan dengan-Nya, pahala-Nya dan ridho-Nya.

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah: 5).

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

Maka istiqomahlah (dengan mengikhlaskan ibadah) kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya” (QS. Fushshilat: 6).

Faidah:

Seorang hamba yang ikhlas karena Allah dalam beristiqomah dan meniti jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala yang lurus, maka terhindar dari riya’ dan seluruh bentuk kesyirikan.

  1. Dengan pertolongan Allah (Billah), maksudnya: seorang hamba dalam merealisasikan istiqomah dalam niat, ucapan maupun perbuatan serta agar tetap terjaga keistiqomahannya haruslah memohon pertolongan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala semata.

Sesungguhnya hal ini adalah pengamalan firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

“Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya” (QS. Hud: 123).

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah, dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5).

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بالله

“Semangatlah mendapatkan perkara yang bermanfaat bagimu dan memohonlah pertolongan kepada Allah.”

Faidah:

Seorang hamba dalam beribadah dan menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala berarti telah menggabungkan dua perkara yang termulia dan teragung, yaitu:

Pertama, beribadah kepada Allah Ta’ala yang merupakan tujuan termulia bagi seorang hamba.

Kedua, memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan bertawakal kepada-Nya semata yang merupakan sarana yang teragung.

Dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam beribadah kepada-Nya, maka seorang muslim akan terjaga dari ‘ujub, membangga-banggakan amalannya dan merendahkan saudaranya.

  1. Sesuai dengan perintah Allah (‘Ala amrillah), maksudnya: hati dan anggota tubuh lahiriyah dalam berucap dan berbuat dan dalam beristiqomah haruslah sesuai dengan syariat Allah dan sesuai dengan Ash-Shirooth Al-Mustaqiim.

Sebagaimana tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu terhadap firman Allah:

ثُمَّ اسْتَقَامُوا

“…kemudian mereka istiqomah…”, beliau berkata:

أي استَقاموا في أداءِ الفَرائض

“Maksudnya: istiqomah dalam menunaikan kewajiban”.

Al-Hasan rahimahullah mengatakan:

استقاموا على أمْر الله فعَملُوا بطاعتِه، واجتَنبوا معصيتَه

“Mereka istiqomah di atas perintah Allah sehingga mereka mengamalkan amalan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi maksiat kepada-Nya”.

Dan maksud dari “perintah Allah” di dalam ucapan Al-Hasan rahimahullah tersebut adalah syariat-Nya (agama Islam) yang Dia utus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengannya.

Faidah:

Tatkala seorang hamba meniti Ash-Shirooth Al-Mustaqiim sesuai dengan perintah Allah, maka akan terhindar dari kebid’ahan dan terhindar dari melakukan ibadah dengan tata cara selain ajaran Islam.

(Bersambung)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33581-10-kiat-istiqomah-11.html

10 Kiat Istiqomah (10)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (9)

KIAT KELIMA :

“Istiqomah itu terkait dengan ucapan, perbuatan, dan niat”

Istiqomah itu terkait dengan ucapan, perbuatan dan niat, maksudnya bahwa hati dan anggota tubuh lahiriyah seorang hamba tertuntut berada di atas jalan istiqomah.

Niat seorang hamba hendaklah lurus sesuai dengan syariat Allah, ucapan dan perbuatanpun tertuntut untuk sesuai dengan syariat Allah.

Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya Madarijus Salikin mengatakan:

والاستقَامةُ تتعلَّق بالأقوالِ والأفعالِ والأحوالِ والنِّياتِ

“Istiqomah itu terkait dengan ucapan, perbuatan dan niat”.

Dalam Musnad Imam Ahmad dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

“Tidaklah istiqomah iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya, dan tidaklah istiqomah hatinya sampai istiqomah lisannya.” (HR. Imam Ahmad, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam:

وأعظمُ ما يُراعى استقامتُه بعدَ القلبِ مِنَ الجوارح اللِّسانُ، فإنَّه تُرجمانُ القلب والمعبِّرُ عنه

“Perkara terbesar yang patut diperhatikan keistiqomahannya setelah hati dari anggota tubuh yang zahir adalah lisan, karena sesungguhnya lisan itu penerjemah hati dan pengungkap isinya”.

Dari sini, nampak betapa vitalnya kedudukan hati dan lisan bagi seorang hamba terhadap keistiqomahan dirinya, oleh karena itu pantaslah apabila di antara ulama ada yang menyatakan:

المرءُ بأصْغَريْه : قلبِه ولسانِه

“Seorang hamba tergantung kepada dua anggota tubuh terkecilnya, yaitu: hati dan lisannya”.

Hati adalah sekerat daging yang kecil sekali, lisanpun juga sepotong daging yang kecil sekali, akan tetapi keistiqomahan seorang hamba amat dipengaruhi oleh dua anggota tubuh terkecilnya ini!

Apabila hati dan lisan seorang hamba lurus, maka akan lurus anggota tubuh lainnya. Seluruh anggota tubuh mengikuti hati dan lisan! Keistiqomahan hati dan lisan membuahkan keistiqomahan anggota tubuh lainnya.

Dalil keistiqomahan seseorang tergantung kepada hati adalah hadits dalam Shahihain, dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

Saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Adapun dalil bahwa lisan sangat mempengaruhi keisitiqomahan seseorang adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

“Tidaklah istiqomah iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya, dan tidaklah istiqomah hatinya sampai istiqomah lisannya” (HR. Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

Dan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أصْبَحَ ابْنُ آدَمَ، فَإنَّ الأعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسانَ، فتَقُولُ: اتَّقِ اللهَ فِينَا؛ فَإنَّما نَحنُ بِكَ؛ فَإنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا، وإنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

“Apabila seorang manusia keturunan Nabi Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuhnya mengingkari lisan(nya), seluruh anggota tubuh tersebut mengatakan: ‘Bertakwalah kepada Allah dalam urusan kami, karena sesungguhnya kami tergantung kepadamu, apabila kamu lurus, maka kamipun lurus, namun apabila kamu bengkok, maka kamipun bengkok!’” (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

Lisan adalah penerjemah hati dan wakilnya dalam mengutarakan isinya, apabila hati memerintahkan lisan dengan suatu perintah, maka lisan akan melaksanakannya, karena lisan itu pasukan hati.

Oleh karena itulah, memperhatikan hati adalah kewajiban seorang hamba, hendaklah ia memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala agar berkenan memperbaiki hatinya dan menyembuhkan berbagai penyakit hati yang menjangkitinya yang bisa menghalangi sampainya taufik Allah Tabaraka wa Ta’ala kepada hatinya.

Apabila hati seorang hamba itu baik, maka baik pula ucapan dan perbuatan lahiriyahnya sehingga menjadi orang yang jika berucap dan beramal, ia dicintai oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala, diridhai-Nya dan diterima oleh-Nya.

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33387-10-kiat-istiqomah-10.html

10 Kiat Istiqomah (9)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (8)

“Istiqomah yang tertuntut adalah beribadah kepada Allah sesuai dengan sunah, apabila tidak mampu, maka mendekatinya”, kaidah ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

Maka istiqomahlah (dengan mengikhlaskan ibadah) kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. (QS. Fushshilat: 6), karena di dalam ayat ini terdapat penyebutan istigfar setelah perintah istiqomah yang mengandung isyarat bahwa seorang hamba pastilah ada kekurangannya, meskipun ia telah bersungguh-sungguh untuk istiqomah.

Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam menjelaskan ayat di atas:

وفي قوله عز وجل {فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ}إشارةٌ إلى أنَّه لابُدَّ من تقصيرٍ في الاستقامةِ المأمورِ بها ، فيُجبَرُ ذلكَ بالاستغفارِ المقتَضِي للتَّوبة، والرُّجوعِ إلى الاستقامَةِ

“Di dalam firman-Nya Azza wa Jalla“Maka istiqomahlah (dengan mengikhlaskan ibadah) kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya” terdapat isyarat bahwa pastilah (seorang hamba) ada kekurangannya dalam beristiqomah yang diperintahkan, maka hal itu ditutup dengan istigfar yang mengantarkan kepada taubat dan mengantarkan kepada kemampuan beristiqomah kembali”.

Oleh karena itu di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اِستَقِيمُوا وَلَن تُحصُوا

“Istiqomahlah dan kalian tidaklah akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah)” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani).

Berkata Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan hadits di atas:

وقد أخبر النَّبيُّ- صلى الله عليه وسلم- أنَّ الناس لن يُطيقوا الاستقامةَ حقَّ الاستقامةِ، كما خرَّجه الإمام أحمد وابن ماجه من حديثِ ثوبانَ عن النَّبيِّ -صلى الله عليه وسلم-

قال: ((استَقيموا ولن تُحْصوا))

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa manusia tidaklah mampu untuk istiqomah dengan sebenar-benar istiqomah sebagaimana hadits yang dikeluarkan (diriwayatkan) oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari hadits Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata:

اِستَقِيمُوا وَلَن تُحصُوا

“Istiqomahlah dan kalian tidaklah akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah).

Dalam hadits riwayat Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali radhiyallahu ‘anhu tatkala Ali radhiyallahu ‘anhu meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk mengajarkan kepadanya sebuah doa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«قُلْ: اللَّهُمَّ اهْدِنِي وَسَدِّدْنِي»

“Ucapkanlah: “Allahummah dinii wa saddidnii” (Ya Allah berilah aku petunjuk dan jadikanlah aku benar dan lurus dalam seluruh perkaraku).”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan Ali radhiyallahu ‘anhu:

وَاذْكُرْ بِالهُدَى هِدَايَتَكَ الطَّرِيقَ، وَالسَّدَادِ سَدَادَ السَّهْمِ

“Dan ingatlah petunjuk (yang anda ucapkan dalam doamu) adalah sebagaimana anda mendapatkan petunjuk ketika meniti jalan dan ingatlah kelurusan (yang anda ucapkan dalam doamu) adalah ibarat lurusnya anak panah.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberi petunjuk berupa sebuah doa:

قُلْ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ

“Ucapkanlah: “Allahumma innii as`alukal hudaa was sadaad” (Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk dan kebenaran/kelurusan)” (H.R. Muslim).

Kesimpulan :

Seorang hamba di dalam niat, ucapan dan perbuatannya tertuntut untuk bersungguh-sungguh sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (As-Sadaad) sebagaimana orang yang meniti sebuah jalan berusaha untuk melaluinya dengan sesuai rambu-rambu penunjuk jalandan iapun berusaha meluruskan niat, ucapan dan perbuatannya sebagaimana seorang pemanah berusaha untuk membidikkan anak panah dengan lurus sehingga tepat sasaran.

Namun apabila ia tidak mampu untuk meraih hal itu, maka hendaklah ia berupaya untuk Muqaarabah dengan meraih target yang mendekati kelurusan dan kesempurnaan yang tertinggi.

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33385-10-kiat-istiqomah-9.html

10 Kiat Istiqomah (8)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (7)

Berdasarkan penjelasan yang telah lalu, maka dalam ajaran Islam seorang hamba diperintahkan untuk melakukan as-sadad dalam melaksanakan ajaran Islamdan jika ia tidak mampu maka beralih kepada muqarabah.

Jadi, seorang hamba teruntut untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan as-sadad, dan ia tidak menyengaja untuk meninggalkan as-sadad.

Namun jika ia tidak mampu untuk melakukan as-sadad barulah ia beralih kepada muqarabah, sehingga ia tidak menyengaja untuk bersikap muqarabah, karena muqarabah ia tempuh ketika ia tidak mampu melakukan as-sadad.

Sedangkan  as-sadad adalah anda beramal sesuai dengan sunah (syariat Islam),  melakukan amalan yang paling sempurna dan  benar tanpa melampui batasan syariat serta tanpa menguranginya,  benar dalam seluruh ucapan, perbuatan dan niat. Ibarat orang yang membidik suatu sasaran lalu tepat bidikannya mengenai sasaran tersebut.

Adapun muqarabah adalah anda melakukan amalan mendekati tujuan (sunah) dan mendekati amalan yang paling sempurna, meski tidak tepat sesuai dengan tujuannya (sunah) dan tidak sampai paling sempurna karena ketidakmampuan anda.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya Fathul Bari syarhu Shahihil Bukhari menukilkan perkataan Ibnul Munir rahimahullah, beliau berkata:

في هذا الحديث علم من أعلام النبوة ، فقد رأينا ورأى الناس قبلنا أن كل متنطع في الدين ينقطع

“Dalam hadits ini terdapat salah satu dari tanda-tanda kenabian, kami telah menyaksikan (sendiri), demikian pula orang-orang sebelum kamipun menyaksikan bahwa setiap orang yang melampui batasan (syariat) akan terputus (amalannya)”,

وليس المراد منع طلب الأكمل في العبادة فإنه من الأمور المحمودة ، بل منع الإفراط المؤدي إلى الملال ، أو المبالغة في التطوع المفضي إلى ترك الأفضل ، أو إخراج الفرض عن وقته

“Bukanlah maksudnya: melarang dari mencari amalan yang paling sempurna dalam beribadah, karena sesungguhnya hal itu termasuk perkara yang terpuji, akan tetapi yang dimaksud adalah melarang dari bersikap melampui batas (syariat) yang menyebabkan kebosanan atau berlebihan dalam amalan sunah (amalan yang tidak wajib) yang mengakibatkan kepada sikap meninggalkan amalan yang lebih utama (afdhal) atau mengeluarkan amalan wajib dari waktunya”,

كمن بات يصلي الليل كله ويغالب النوم إلى أن غلبته عيناه في آخر الليل فنام عن صلاة الصبح في الجماعة ، أو إلى أن خرج الوقت المختار ، أو إلى أن طلعت الشمس فخرج وقت الفريضة

“Misalnya seseorang tidak tidur semalam suntuk untuk melakukan shalat malam lalu tertidur sampai kedua matanya tak mampu terbuka di penghujung malam, sehingga tertinggal dari shalat subuh berjamaah atau sampai keluar dari waktu shalat yang diperbolehkan diakhirkan (mukhtar) atau sampai matahari terbit sehingga lewatlah waktu shalat wajib”.

Ibnul Munir rahimahullah berkata pula pada kalimat yang lainya:

وقد يستفاد من هذا الإشارة إلى الأخذ بالرخصة الشرعية ، فإن الأخذ بالعزيمة في موضع الرخصة تنطع ، كمن يترك التيمم عند العجز عن استعمال الماء فيفضي به استعماله إلى حصول الضرر

“(Dari hadits ini) dapat diambil isyarat kepada tuntutan mengambil keringanan (rukhshah) syar’i, karena tidak mengambil keringanan pada saat tertuntut mengambilnya merupakan sikap melampui batas, seperti sikap meninggalkan tayamum ketika tidak mampu menggunakan air sehingga (jika nekad) menggunakan air akan menjerumuskan kepada bahaya”.

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33383-10-kiat-istiqomah-8.html

10 Kiat Istiqomah (7)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (6)

Kiat Keempat

“Istiqomah yang tertuntut adalah beribadah kepada Allah sesuai dengan sunah, apabila tidak mampu maka mendekatinya”

Agar seseorang bisa istiqomah, maka perlu memperhatikan dua perkara:

Pertama: Beribadah dan taat kepada Allah Ta’ala, serta beramal shaleh sesuai dengan sunah (syariat Islam).

Kedua: Apabila tidak mampu, maka mendekati sunah (syariat Islam).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا

“Sesungguhnya agama (Islam) ini mudah, dan tidaklah seseorang memperberat diri dalam beragama Islam kecuali ia akan terkalahkan (sendiri), maka bersikaplah kalian sesuai dengan (sunah) dan mendekatilah, serta bergembiralah!” (HR. Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan makna

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

“Sesungguhnya agama ini mudah” dengan mengatakan:

ميسر مسهل في عقائده وأخلاقه وأعماله ، وفي أفعاله وتُروكه

“(Agama Islam) ini mudah, lagi gampang, baik dalam akidah, akhlak, amal, dalam melakukan (perintah) maupun dalam sikap meninggalkan (larangan)”.

Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukharibeliau menyatakan:

والمعنى لا يتعمق أحد في الأعمال الدينية ويترك الرفق إلا عجز وانقطع فيغلب

“Maksudnya adalah tidaklah seseorang berlebihan dalam mengamalkan agama (Islam) dan meninggalkan sikap pertengahan kecuali ia akan tak mampu dan terputus (amalannya), lalu kalah!”

Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

فَسَدِّدُوا

“Maka bersikaplah kalian sesuai dengan (sunah)”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan:

أي الزموا السداد وهو الصواب من غير إفراط ولا تفريط ، قال أهل اللغة السداد التوسط في العمل

“Maksudnya: tetaplah lurus (As-Sadad), yaitu benar tanpa melampui batasan (syariat) dan tanpa menguranginya. Ahli bahasa Arab berkata: As-Sadad adalah tengah-tengah dalam beramal”.

Syaikh Abdurrazzaq hafizhahullah menjelaskan makna  As-Sadad dengan mengatakan:

والسَّدادُ أن تصيبَ السُّنَّة

As-Sadad adalah anda (beramal) sesuai dengan sunah (syariat Islam).”

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam juga menjelaskan makna  As-Sadad:

فالسَّداد هو حقيقةُ الاستقامةِ ، وهو الإصابةُ في جميعِ الأقوالِ والأعمالِ والمقاصدِ كالَّذي يَرمي إلى غرضٍ فيصيبُه

As-Sadad adalah hakekat dari istiqomah, yaitu: benar dalam seluruh ucapan, perbuatan dan niat. Ibarat orang yang membidik suatu sasaran lalu tepat (bidikannya) mengenai sasaran tersebut”.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَقَارِبُوا

Dan mendekatilah

dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah:

أي إن لم تستطيعوا الأخذ بالأكمل فاعملوا بما يقرب منه

“Maksudnya: apabila kalian tidak mampu melakukan amalan yang paling sempurna, maka lakukan amalan yang mendekatinya”.

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam menjelaskan makna “mendekati  (muqarabah)”:

والمقارَبة أن يُصيب ما يقرُب منَ الغَرض إنْ لم يُصِب الغَرَض نفسَه

“Mendekati adalah anda melakukan (amalan) mendekati tujuan (sunah), meski tidak tepat sesuai dengan tujuannya (sunah)”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَأَبْشِرُوا

“Serta bergembiralah!”,

أي بالثواب على العمل الدائم وإن قل ، والمراد تبشير من عجز عن العمل بالأكمل بأن العجز إذا لم يكن من صنيعه لا يستلزم نقص أجره

“Maksudnya: bergembiralah dengan pahala atas amalan yang senantiasa terjaga meskipun amalan tersebut sedikit. Maksud perintah bergembira di sini adalah bergembira saat tidak mampu melakukan amalan yang paling sempurna, bahwa ketidakmampuan itu jika bukan karena kesengajaan untuk meninggalkan (amalan paling sempurna), maka tidak berkonsekuensi berkurangnya pahalanya.”

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/32443-10-kiat-istiqomah-7.html

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (9)

7. Ciuman cinta

Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- berkata,

قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, ‘Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan dirahmati’” (HR Al-Bukhari no 5997 dan Muslim no 2318).

Dalam kisah yang sama dari ‘Aisyah –semoga Allah meridhainya- ia berkata,

جَاءَ أَعْرَابِى إِلَى النَّبِى صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : تُقَبِّلُونَ الصِّبْيَانَ ، فَمَا نُقَبِّلُهُمْ ، فَقَالَ النَّبِى صلى الله عليه وسلم أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ

Datang seorang Arab badui kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, ‘Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki? Kami tidak mencium mereka.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa sayang dari hatimu’” (HR Al-Bukhari no 5998 dan Muslim no 2317).

Ibnu Baththol rahimahullah berkata, “Menyayangi anak kecil, memeluknya, menciumnya, dan lembut kepadanya termasuk dari amalan-amalan yang diridhai oleh Allah dan akan diberi ganjaran oleh Allah. Tidakkah engkau perhatikan Al-Aqro’ bin Haabis menyebutkan kepada Nabi bahwa ia memiliki sepuluh orang anak laki-laki, tidak seorang pun yang pernah ia cium, maka Nabi pun berkata kepada Al-Aqro’ bahwa siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayang.

Maka hal ini menunjukan bahwa mencium anak kecil, menggendongnya, ramah kepadanya merupakan perkara yang mendatangkan rahmat Allah1.

8. Candaan Cinta

Dari Mahmud bin Ar-Robi’ berkata,

عَقَلْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجَّةً مَجَّهَا فِي وَجْهِي وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ

“Saya teringat sebuah semburan (air dari mulut) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau semburkan di wajahku, air itu diambil dari timba, sedangkan ketika itu saya (masih) seorang anak berumur lima tahun” (HR. Al-Bukhari).

Ada sebuah riwayat Imam Ahmad, tentang kisah Abu Umair yang telah disebutkan sebelum ini, terdapat keterangan, “Dan beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dahulu banyak mencandainya (Abu Umair). Suatu saat beliau mengunjunginya, lalu beliau melihatnya dalam keadaan sedih, kemudian beliau bertanya,

مالي أرى أبا عمير حزيناً ؟

“Saya melihat Abu Umair bersedih, ada apa gerangan?”

Kemudian orang-orangpun menjawab, “Telah mati burung kecilnya yang dahulu ia bermain dengannya!” (HR. Imam Ahmad, shahih)

[Bersambung]

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29200-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-9.html

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (8)

4. Kata Cinta

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أنه مر على صبيان فسلم عليهم وقال كان النبي صلى الله عليه وسلم يفعله

Diriwayatkan dari Anas, bahwa beliau melewati beberapa anak kecil lalu beliau (Anas) memberi salam kepada mereka dan berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud  dan At-Tirmidzi).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian” (HR. Muslim no. 54).

Al-Baraa` radhiyallahu ‘anhu berkata, Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda –sedangkan Al-Hasan bin Ali diatas pundaknya-,

اللهم إني أحبه فأحبه

“Ya Allah, sesungguhnya saya mencintainya, maka cintailah ia” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

5. Sentuhan Cinta

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,

كان صلى الله عليه وسلم يزور الأنصار، ويسلِّم على صبيانهم، ويمسح رؤوسهم

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi para sahabat Anshar, mengucapkan salam kepada anak-anak mereka dan mengecup kepala anak-anak mereka” (HR. An-Nasaa`i, shahih).

Dari Jabir bin Samuroh berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْأُولَى، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَهْلِهِ وَخَرَجْتُ مَعَهُ، فَاسْتَقْبَلَهُ وِلْدَانٌ، فَجَعَلَ يَمْسَحُ خَدَّيْ أَحَدِهِمْ وَاحِدًا وَاحِدًا

“Saya menunaikan shalat Zhuhur bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau keluar menuju ke rumah istri beliau dan saya pun keluar bersama beliau. Muncullah anak-anak menemui beliau, beliaupun mulai mengusap kedua pipi salah seorang dari mereka, satu persatu”.

Jabir bin Samuroh berkata,

وَأَمَّا أَنَا فَمَسَحَ خَدِّي

“Adapun saya, maka beliau mengusap satu pipiku” (HR. Muslim).

6. Dekapan Cinta

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambilku dan mendudukkanku di atas pahanya serta meletakkan Hasan di paha beliau yang lainnya, lalu beliau mendekap keduanya dan berdo’a,

اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمَا فَإِنِّي أَرْحَمُهُمَا

Ya Allah kasihilah keduanya karena aku mengasihi keduanya” (HR. Al-Bukhari).

Pelajaran

Kata-kata cinta, sentuhan dan dekapan cinta yang dicontohkan oleh sosok utusan Allah yang paling mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika kita terapkan dengan ikhlas dan semangat ittiba’ kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan melahirkan buah-buah positif bagi pembentukan karakter keturunan kita. Sebut saja sifat-sifat positif pada diri anak yang diharapkan muncul dan menguat itu, seperti sang anak akan terpupuk rasa kasih sayangnya terhadap sesama, mencintai dan menghormati orang yang lebih tua, merasa diperhatikan dan dihargai oleh orang yang lebih tua usianya, serta melatih komunikasi atas dasar cinta kasih, baik verbal maupun non verbal.

(Bersambung)

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29186-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-8.html