Dua Hikmah Penciptaan Manusia

Satu hal yang wajib kita imani bahwa Allah Ta’ala tidaklah melakukan suatu perbuatan yang sia-sia atau sekedar main-main saja tanpa maksud dan tujuan tertentu. Akan tetapi, perbuatan Allah Ta’ala itu dilandasi oleh hikmah, yang bisa jadi kita ketahui atau tidak kita ketahui.

Demikian pula dalam penciptaan manusia, juga memiliki hikmah. Allah Ta’ala memiliki hikmah tertentu dalam penciptaan manusia. Sebagian manusia bisa merealisasikan hikmah penciptaan tersebut. Dan sebagian lagi tidak bisa merealisasikannya, baik karena kebodohannya atau karena kedurhakaannya. 

Dalam tulisan singkat ini, kami akan menyebutkan secara singkat dua hikmah penciptaan manusia.

Hikmah pertama, agar manusia memiliki ilmu tentang Allah Ta’ala

Hikmah penciptaan ini Allah Ta’ala jelaskan dalam firman-Nya,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

”Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan (agar kamu mengetahui bahwa) sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 12) 

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi serta di antara keduanya agar hamba-Nya mengetahui (memiliki ilmu) bahwa Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu

Oleh karena itu, mengenal Allah Ta’ala, melalui ilmu terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (tauhid asma’ wa shifat), adalah salah tujuan dari penciptaan manusia. 

Allah Ta’ala berfirman di ayat yang lain,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

”Ketahuilah, bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar (yang berhak disembah) kecuali Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19) 

Hikmah kedua, agar manusia beribadah hanya kepada Allah Ta’ala

Hikmah ke dua ini juga telah Allah Ta’ala jelaskan dalam firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56)

Dalam ayat di atas, makna dari:

لِيَعْبُدُونِ

“beribadah kepada-Ku”, adalah:

لِيُوَحِّدُونِ

“mentauhidkan Aku.” 

Maksudnya, seseorang tidaklah dinilai beribadah kepada Allah Ta’ala sampai dia mentauhidkan Allah Ta’ala dalam ibadah tersebut. Yaitu dengan tidak beribadah kepada selain Allah Ta’ala. 

Jika di satu waktu seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala, dan di waktu yang lain dia beribadah kepada selain Allah Ta’ala, maka dia tidaklah dinilai beribadah kepada Allah Ta’ala. Hal ini karena ibadah dia kepada selain Allah itu akan membatalkan ibadah dia kepada Allah. Dengan kata lain, karena dia tidak mentauhidkan Allah Ta’ala dalam ibadah tersebut. 

Oleh karena itu, semakna dengan tafsir di atas adalah memaknai “beribadah kepada-Ku” dengan,

يفردوني بالعبادة

“Meng-esa-kan-Ku dalam ibadah.” [1]

Inilah yang membedakan antara penciptaan manusia dan binatang. Karena hikmah di atas, Allah Ta’ala memberikan akal kepada manusia. Allah juga mengutus rasul kepada manusia dan menurunkan kitab-kitab. Seandainya penciptaan manusia itu sama dengan binatang, tentu diutusnya rasul dan diturunkannya kitab adalah perbuatan sia-sia semata. [2]

Jika kita renungkan lebih dalam lagi, hikmah ke dua ini merupakan konsekuensi dari hikmah yang pertama. Artinya, ketika seorang hamba mengenal Allah Ta’ala, mengenal nama-nama Allah yang husna, dan mengenal kesempurnaan sifat Allah Ta’ala, bahwa tidak ada satu pun makhluk yang mampu menandingi Allah dalam kesempurnaan sifat tersebut, tentu hamba tersebut akan beribadah kepada Allah Ta’ala saja dan tidak beribadah kepada selain-Nya.

Dua hal di atas adalah hikmah, sebab, atau alasan Allah Ta’ala menciptakan manusia. Bisa jadi terealisasi, dan bisa jadi tidak. Oleh karena itu kita jumpai berbagai jenis manusia dalam merealisasikan hikmah penciptaan mereka. Ada di antara mereka yang: (1) tidak beribadah kepada Allah Ta’ala sama sekali, dan tidak pula beribadah kepada selain Allah; (2) tidak beribadah kepada Allah Ta’ala sama sekali, namun beribadah kepada selain Allah; (3) beribadah kepada Allah, dan juga beribadah kepada selain Allah; dan (4) beribadah kepada Allah saja, dan tidak beribadah kepada selain Allah. 

Tidak kita ragukan lagi, yang betul-betul merealisasikan tujuan penciptaan mereka adalah manusia jenis ke empat. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam hamba-hamba-Nya yang mampu merealisasikan ibadah hanya kepada-Nya semata. Aamiin.

Sebagai kesimpulan, terdapat dua hikmah atau tujuan penciptaan manusia.

Pertama, agar manusia mengenal Allah Ta’ala, yaitu mengetahui kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Kedua, agar manusia beribadah kepada Allah Ta’ala sebagai tuntutan dan konsekuensi dari pengenalan kepada Allah Ta’ala tersebut

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47867-dua-hikmah-penciptaan-manusia.html

Bertemu Traveloka dan Tokopedia, Kemenag: Umrah Tetap Melalui PPIU

Jakarta (Makkah) — Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag menggelar rapat bersama Traveloka dan Tokopedia. Perwakilan dari Kemkominfo juga hadir dalam rapat yang berlangsung di Kantor Kemenag, Jakarta, Jumat (19/07).

Pertemuan ini merupakan upaya Kemenag untuk mendalami perkembangan teknologi informasi terkait penyelenggaraan ibadah umrah. Kemenag ingin menyamakan persepsi terkait inisiatif Kemkominfo mengembangkan umrah digital. Kemenag menekankan semua pihak terkait untuk mematuhi regulasi, dalam hal ini  UU No 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Umrah dan Haji yang baru disepakati Pemerintah dan DPR. 

“Hasilnya, ada kesepahaman bahwa pengembangan umrah digital harus berangkat dari prinsip penyelenggaraan umrah dilakukan oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU),” tegas Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim. 

Menurut Arfi, pengembangan umrah digital nantinya bersifat optional atau pilihan. Artinya, masyarakat yang akan berangkat umrah bisa memilih dua cara. Pertama, mendaftar di PPIU secara langsung sebagaimana yang berjalan selama ini. Kedua, memilih paket PPIU yang ada di market place dengan keberangkatan tetap oleh PPIU. 

Traveloka maupun Tokopedia menegaskan tidak akan menjadi penyelenggara umrah. Komitmen ini juga berlaku bagi unicorn lainnya.

“Umrah Digital dikembangkan dengan semangat meningkatkan standar manajemen sesuai kebutuhan masyarakat di era digital. Karenanya, PPIU juga dituntut untuk terus berinovasi memanfaatkan teknologi informasi,” pesan Arfi. 

Arfi menambahkan, rapat juga menyepakati pembentukan task force terkait pengembangan umrah digital. Task force diharapkan mampu merespon disrupsi inovasi secara tepat. Di era digital, rentan terjadi perubahan model bisnis, proses bisnis, hingga ekosistem di sektor manapun, termasuk umrah.  

Kemenag dan Kominfo akan terus berkoordinasi untuk mensinergikan kebijakan. Sesuai ranahnya, Kominfo berwenang mengatur unicorn, sedangkan Kemenag berwenang mengatur penyelenggaraan umrah. “Kita akan sinkronkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat sekaligus menjamin umat Islam dapat beribadah dengan baik,” jelasnya. 

Masukan dari berbagai pihak patut didengar untuk menemukan skema terbaik dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah ke depan. Salah satunya, memfasilitasi kerjasama antara PPIU dengan unicorn. Dengan demikian, kedua pihak bisa saling bersinergi, bukan saling meniadakan. 

“Kami juga akan mendengar masukan dari pihak lain supaya dapat mengambil kebijakan yang tepat,” ujar Arfi. 

Sebelumnya, pada 24 Juni 2019,  Kemenag juga menggelar diakusi terbatas membahas upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah umrah. Diskusi yang melibatkan beberapa instansi terkait dan asosiasi PPIU itu menghasilkan empat rekomendasi.

Pertama, memperkuat penegakan hukum dengan mensinergikan pengawasan oleh seluruh K/L terkait dan pengaktifan penyidik khusus.

Kedua, membentuk task force sebagai wujud kolaborasi pemerintah dan pelaku usaha guna merespon kebijakan-kebijakan Saudi. 

Ketiga, mengembangkan platform digital yang sehat. Dan keempat, memperkuat pencegahan masalah dengan pengaturan internal (self regulation) PPIU dan edukasi publik.

KEMENAG RI

Membimbing Ibadah Jemaah Haji Indonesia

Madinah (Kemenag) — Kakek jemaah haji Indonesia itu terbaring di ruang ICU RS King Fahd Madinah. Sebut saja namanya Abdullah (samaran). Jemaah asal embarkasi Surabaya (SUB) ini telah menjalani operasi di bagian kepalanya. 

Kamis (25/07), kondisinya semakin membaik dan stabil hingga diperbolehkan dokter untuk diantar ke Makkah Al-Mukarramah guna mengikuti tahapan haji berikutnya. Yaitu, menjalani umrah wajib dan menunggu hingga puncak haji, fase Arafah-Muzdalifah-Mina atau Armuzna.

Saat tim Media Center Haji (MCH) bersama Konsultan Ibadah Daker Madinah Ustaz Tulus Sastrowijoyo menjenguk, tubuh pria paruh baya itu sudah berbalut kain ihram. Dia sudah siap diantar dengan ambulans menuju Kota Kelahiran Nabi Muhammad Saw. 

Sesaat sebelum dipindah ke ambulans, Ustaz Tulus membimbing Abdullah berniat ihram. Sekilas, nampak belum ada gerakan mulut Abdullah mengikuti bimbingannya. Abdullah lalu dibawa ke ambulans dan dinaikkan dalam posisi terbaring di atas velbed yang digunakannya sejak dari ruang ICU. 

“Ikuti Bapak. Bismillaahirrahmaanirrahiim. Nawaitul ‘umrata wa ahramtu bihaa lillaahi ta’aalaa. Tempat tahalul ku, di mana aku berhalangan,” demikian Ustaz Tulus mengulangi bimbingannya, diikuti gerak bibir Abdullah mengikuti ucapannya.

Alhamdulillaaah,” sambung Ustaz Tulus. Nampak, para dokter, perawat, sopir, dan tim MCH yang ikut menyaksikan, menyeka mata yang tetiba berkaca-kaca.

Didampingi satu dokter dan satu perawat, Abdullah di antar menuju Makkah. Sebelumnya, Abdullah singgah di Masjid Bir Ali untuk miqat. 

Kisah ini adalah fragmen dari tugas konsultan ibadah membimbing jemaah haji Indonesia yang sakit dan akan diberangkatkan ke Makkah melalui mekanisme evakuasi karena masih dalam perawatan, baik di Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) maupun RS Arab Saudi. Diawali proses koordinasi dengan pihak KKHI, konsultan akan bersiap pada waktu yang telah ditentukan untuk membimbing jemaah haji Indonesia yang akan dievakuasi menuju Makkah.

Menurut Ustaz Tulus, ada dua kondisi jemaah yang akan dievakuasi. Pertama, apabila kondisinya sudah membaik/sehat, jemaah akan diminta mandi kemudian berwudhu, setelah itu dibimbing memakai ihram, dan berniat umrah. Kedua, jemaah yang kondisinya masih perlu perawatan lebih lanjut, niat umrahnya akan di-isytirat-kan (niat bersyarat).

“Bahwa tempat tahalul ku bilamana aku terhalang, kalimat itu yang sering kita bimbingkan ke jemaah. Apabila nanti sudah sampai di Makkah, jemaah tersebut tidak bisa langsung melaksanakan umrahnya, maka dilakukan tahalul, dibuka kain ihramnya dan mereka tidak dikenakan dam (denda),” jelasnya.

Fragmen lain diperankan oleh Eroh Bahiroh. Perempuan paruh baya ini ditempatkan di Masjid Bir Ali. Tugasnya, membimbing jemaah haji perempuan saat miqat dan berniat umrah. Tidak jarang, dia harus bekerja di bawah terik mentari dengan suhu udara mencapai 43 hingga 50 derajat Celcius. 

Pegawai Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Banten ini senantiasa mengingatkan dan memastikan jemaah haji Indonesia sudah niat umrah. Kepada rombongan jemaah yang baru sampai Masjid Bir Ali, Eroh mengarahkan mereka untuk berwudlu, salat Tahiyatul Masjid, salat sunat umrah, lalu niat umrah. Kepada jemaah lansia yang berkeras turun dari bus dan ingin salat di Masjid Bir Ali, Eroh sigap menuntunnya, meniti tangga masjid dan mengarahkan petugas lain yang ada di dalam masjid agar menjaga jemaah tersebut hingga selesai salatnya.

Saat jemaah selesai salat dan keluar masjid, Eroh kembali mengingatkan mereka untuk berniat dan menjaga diri dari hal yang dilarang saat berihram, termasuk kenakan wangi-wangian. 

“Setelah niat, jangan pakai make up lagi, apalagi parfum. Kaus kaki dan kerudung harus rapi. Jika ada jemaah perempuan yang tidak pakai kaus kaki, saya belikan dulu kaus kakinya. Kami, petugas Bir Ali juga menyedikan sandal,” jelasnya. Bimbingan ibadah juga Eroh lakukan kepada jemaah yang datang ke Bir Ali dalam kondisi berbaring di velbed ambulans. 

Fragmen lain dari tugas konsultan ibadah daker Madinah adalah memberikan bimbingan seputar pelaksanaan ibadah arbain di Masjid Nabawi serta persiapan miqat Bir Ali. Tak lupa, para konsultan juga berkisah tentang sejarah perkembangan umat Islam di Madinah. 

Tugas yang sama dilakukan oleh konsultan ibadah daker Makkah, namun dengan tema yang berbeda. Sejak kedatangan jemaah haji dari Madinah pada 14 Juli, dan dari Jeddah pada 20 Juli 2019, konsultan sibuk dengan kegiatan visitasi, memberi bimbingan ibadah kepada para jemaah. Bimbingan yang diberikan seputar umrah dan haji, baik secara Fiqih hingga menggali makna hakiki dalam setiap ritusnya. Jemaah diajak untuk tidak semata menjalani haji secara fiqhiyah, tapi juga mendalami setiap maksud dan tujuan yang terkandung dalam rangkaian ibadahnya, mulai dari tawaf dan sai, hingga fase Arafah-Muzdalifah-Mina. Termasuk juga, memberikan pemahaman tentang makna dan rahasia kemabruran.

Di bawah koordinasi Kabid Bimbingan Ibadah, para konsultan juga ikut terlibat dalam proses bimbingan ibadah jemaah yang akan mengikuti safari wukuf, serta seleksi petugas badal haji.  

Menghadirkan Konsultan

Sejak lima tahun terakhir, Kementerian Agama di bawah pimpinan Menag Lukman Hakim Saifuddin (LHS) fokus pada upaya penguatan bimbingan ibadah bagi jemaah, di samping tentunya peningkatan aspek layanan lainnya, seperti akomodasi, katering, dan transportasi. Fokus itu antara lain dengan menghadirkan konsultan ibadah yang bertugas melakukan visitasi dan edukasi ke sektor-sektor pemondokan. 

Keberadaan konsultan ibadah sebelum Menag LHS memang ada. Namun, perannya lebih sebagai tempat bertanya untuk setiap persoalan perhajian yang muncul di setiap tahun penyelenggaraan. Konsultan berkantor di kantor daker. Mereka yang ingin bertanya, datang ke kantor daker Makkah.

Sejak 2014, Kemenag membuat terobosan baru. Konsultan diberi peran lebih dinamis. Selain sebagai tempat bertanya, konsultan juga melakukan visitasi ke hotel jemaah untuk menyapa dan memberikan bimbingan kepada jemaah, sekaligus memperkuat peran petugas bimbingan ibadah (bimbad) yang ada di sektor. Memahami bahwa KH Hamid Alkaff yang selama ini berperan sebagai konsultan sudah semakin sepuh, Kasubdit Bina Petugas saat itu, Khoirizi H Dasir melakukan regenerasi dengan menugaskan KH M Muhtar Ilyas sebagai konsultan ibadah haji 1435H/2014M dan Prof. Dr Aswadi dari UIN Sunan Ampel Surabaya sebagai konsultan ibadah 1436H/2015M. Sinergi petugas bimbad dan konsultan menjadi ujung tombak program bimbingan ibadah untuk jemaah selama di Makkah.

Kebijakan ini dikembangkan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah setahun berikutnya. Untuk lebih mengoptimalkan peran konsultan, dibentuklah tim konsultan di Daker Makkah. Sejak 2016, sedikitnya ada lima konsultan di Daker Makkah yang berbagi peran dalam memberikan bimbingan kepada jemaah. Mereka berkeliling dari satu hotel ke hotel lainnya secara terjadwal dan berkala untuk memberikan penguatan pemahaman kepada jemaah seputar haji dan maknanya.

Keberadaan konsultan ibadah semakin diperkuat dalam tiga tahun terakhir. Sejak 2017 hingga sekarang, selain di Daker Makkah, konsultan juga ditempatkan di Daker Madinah. Bahkan, ada dua konsultan juga di tiap sektor hotel jemaah haji di Makkah yang rata-rata terdistribusi dalam 11 sektor.

Seiring bertambahnya personel, terjadi penguatan program. Semakin luas pula jangkauan pembinaan yang bisa dilakukan. Terobosan ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas pelaksanaan ibadah jemaah haji Indonesia. Dus, diharapkan dapat membantu jemaah dalam menggapai kemabruran. Dampak lanjutannya, muncul pribadi-pribadi Muslim Indonesia yang memiliki pemahaman dan pengamalan keagamaan yang semakin berkualitas, baik secara personal maupun sosial.

Pesan Wasathiyah
Wasathiyah (moderasi) dalam beragama menjadi bagian dari pesan bimbingan ibadah yang disampaikan konsultan kepada jemaah. Wasathiyah yang dimaksud di sini adalah cara pandang dan praktik menjalankan ibadah haji yang sesuai dengan ketentuan fikih di satu sisi, dan dengan tetap menimbang aspek non-fikih, seperti kesehatan dan keselamatan, di sisi lain. 

Pengendali Teknis Bimbingan Ibadah Haji Oman Fathurahman, Minggu (28/07) mengatakan, setidaknya ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan sikap wasathiyah dalam praktik ibadah haji, yakni: berilmu, berbudi, dan berhati-hati. 

Pertama, berilmu artinya moderasi beragama mengandung nilai agar praktik berhaji diiringi dengan pengetahuan fikih manasik haji yang memadai, dan sekaligus kaidah-kaidah ushul fikih yang melengkapi. Prinsip “dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”, yakni mengutamakan menolak resiko bahaya ketimbang mengambil manfaat, selayaknya lebih dikedepankan; tidak memaksakan menjalankan ibadah, terutama yang sunnah, jika jiwa taruhannya.

Terkait ritual melempar jumrah aqabah pada 10 Zulhijjah misalnya, narasi fikih manasik haji menempatkan waktu pagi hingga menjelang naiknya matahari (zawal) sebagai waktu utama. Namun, untuk menghindarkan kondisi zahmah (berdesakan), krodit, Pemerintah Arab Saudi mengambil kebijakan rekayasa jalur lalu lintas pergi pulang jemaah dari Jamarat, dan melarang jemaah haji Indonesia melempar jumrah pada waktu utama tersebut. 

Kini, rekayasa tersebut juga mencakup lokasinya, di mana jemaah haji kita, dan Asia Tenggara, diharuskan melempar melalui jalur Jamarat di Lantai 3. Meski berbeda dengan fikih manasik yang kita pahami, tentu kita harus mematuhinya, demi keselamatan.

Kedua, prinsip berbudi dalam moderasi mengandung nilai agar jemaah haji juga mempertimbangkan aspek etika dalam mengejar pahala. Praktik ibadah harus diiringi sikap mengendalikan emosi, bersabar, dan mengedepankan akhlak mulia. Dalam menjalani keseluruhan prosesi haji, jemaah tidak bisa mengedepankan egonya sembari mengusik kenyamanan jemaah lain. Mencium Hajar Aswad, misalnya, memang sebuah keutamaan yang dicontohkan Rasul, tapi jika untuk mendapatkannya saja harus sikut kiri senggol kanan mencelakakan diri dan jemaah lain, jelas bukan cara yang dianjurkan untuk mendapatkan kemabruran.

Ketiga, moderasi beragama juga mengandung pesan untuk selalu berhati-hati dalam bertindak, tidak gegabah, dan selalu mempertimbangkan baik buruknya setiap pilihan. Konsisten berada di tengah bukan berarti diam saja, melainkan dinamis bergerak merespons situasi dengan cermat.

Meyakini bahwa Masjidil Haram adalah tempat suci, itu adalah bagian dari ajaran agama. Tapi, keyakinan itu bukan berarti harus meletakkan sikap waspada dan hati-hati, karena nyatanya tidak sedikit jemaah haji kita yang kehilangan dompet dan uang yang dibawanya, bahkan ketika mereka melakukan tawaf di depan Ka’bah sekalipun.

Tidak hanya oleh konsultan, pesan wasathiyah, yang menekankan adanya keseimbangan dalam beribadah haji, sudah seharusnya digaungkan dan didakwahkan oleh jemaah agar semakin terinternalisasi dalam pemahaman dan mewujud dalam laku hidup keseharian, tidak hanya ketika berada di Tanah Suci, tapi juga saat sudah kembali ke Tanah Air. Berilmu, berbudi, dan berhati-hati, adalah kunci.

KEMENAG RI

Hukum Berangkat Haji Secara Ilegal

Di Saudi Arabia, ada sebuah aturan agar seseorang diizinkan untuk berhaji. Aturan ini dikeluarkan oleh pemerintah. Seseorang yang akan berhaji harus punya syarat tashrih. Namun syarat ini hanya dikeluarkan lima tahun sekali. Artinya lima tahun sekali baru bisa berhaji. Selain menjadi keputusan pemerintah, syarat ini menjadi keputusan negara-negara Islam dalam naungan OKI[1].

Kadang aturan yang kami sebutkan di atas tidak diindahkan. Kami temui di kalangan mahasiswa bahkan yang kuliah di Jami’ah Islamiyah terkemuka melanggar aturan ini. Bukan hanya satu atau dua orang nekad untuk berangkat haji tanpa adanya tashrih ini, namun bisa ratusan orang. Akhirnya Makkah dan Masy’aril Harom jadi penuh sesak di antara sebabnya karena pelanggaran ini. Kalau kita menilai, sungguh yang mereka lakukan memang menyesahkan. Tujuannya memang baik yaitu ibadah. “Kita kan mau ibadah”, kata mereka. Tetapi di satu sisi itu melanggar aturan. Juga di sisi lain hanya menyesakkan tempat-tempat haji. Padahal ribuan orang ingin berhaji sampai harus mengantri bertahun-tahun, namun diresahkan dengan mereka-mereka yang secara ilegal datang ke tanah suci tanpa tasyrih.

Ada fatwa ulama Saudi Arabia yang kami temukan tentang masalah tasyrih ini. Fatwa pertama adalah dari Syaikh Dr. ‘Abdul Karim Al Khudair hafizhohullah. Beliau adalah salah satu pengajar di Fakultas Ushulud-din Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah di Riyadh. Beliau pun menjadi anggota Hai’ah Kibaril ‘Ulama dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’.

Beliau hafizhohullah ditanya,

ما حكم من يَحُجُّونَ بدُونِ تصريح، وبعضُهُم يلبسُ المخيط بعد المِيقات حتَّى لا يُمنع؟

Apa hukum seseorang berangkat haji tanpa tashrih? Mereka yang berangkat haji tanpa tashrih ini sengaja menggunakan pakaian ihrom setelah miqot sehingga mereka pun tidak dicegat (oleh aparat).

أوَّلاً التَّصريح هذا التَّحديد بِخمس سنوات مَبْنِيّ على فتوى من أهلِ العِلم، ومُخالَفَتُهُ لا شكَّ أنَّها مُخالفة لولِيِّ الأمر الذِّي لُوحِظَ فيهِ المَصْلَحَة، ولُوحِظَ فيهِ أيضاً البِناء على قولِ أهلِ العلم، فلا ينبغي مُخالفة هذا الأمر؛ لكنْ إنْ رَأى الشَّخص أنْ يَحُجّ امتِثالاً لِما وَرَدَ من الأحاديث الكثيرة في التَّرغيبِ في الحج، ولمْ يَتَرَتَّب على ذلك لا كَذِب، ولا رِشْوَة ولا احتِيَال ولا ارْتِكابِ محظُور، فَيُرْجَى؛ أمَّا إذا أدَّى ذلك إلى الكذب أو رِشْوَة، أو تَحَايُل، أو ارْتِكاب مَحْظُور كما يُفْعَل الآن، بَعْضُهُم يَرْتَكِب مَحْظُور ويدخُل ويَتَجَاوز المِيقات بِثَِيَابِهِ، هذا كُلُّهُ لا يَجُوز، ولا يُسَوِّغ لهُ ذلك.

Pertama, tashrih ini adalah aturan yang ditetapkan setiap lima tahun sekali (artinya setiap lima tahun sekali izin tashrih ini keluar baru ia dibolehkan untuk berhaji, pen). Ini telah menjadi fatwa para ulama (saat ini). Dan tidak diragukan lagi, orang yang berangkat haji tanpa tashrih sangat jelas telah menyelisihi aturan penguasa yang ada. Apalagi penetapan adanya syarat tasyrih ini ada maslahat yang besar. Bahkan dalam hal ini dibangun di atas fatwa para ulama. Sehingga tidak pantas seorang pun menyelisihi syarat tasyrih ini.

Akan tetapi jika seseorang ingin menjalankan haji dalam rangka menjalankan perintah Allah karena melihat hadits-hadits yang banyak yang memotivasi hal ini, lalu ia tidak berbuat dusta (dengan menyelisihi aturan, pen), tidak menyogok, tidak mengelabui dan tidak melakukan yang terlarang, maka hendaklah ia melaksanakan haji. Namun jika ia malah melakukan haji dengan melakukan dusta,  mengelabui (petugas yang ada), atau melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan sekarang, yaitu sebagian orang bersengaja melakukan larangan dengan memasuki miqot untuk berhaji tanpa mengenakan pakaian ihrom, ini tentunya tidak boleh. Sama sekali hal ini tidak dibolehkan.

Demikian fatwa Syaikh Al Khudair. (Silakan lihat di http://www.khudheir.com/text/875)

Setelah melakukan searching lagi, kami pun mendapat beberapa kalam ulama kibar lainnya tentang tidak bolehnya berhaji tanpa tashrih.

Al Mufti Al ‘Amm, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhohullah berkata, “Sesungguhnya penguasa tidaklah menetapkan syarat berangkat haji harus dengan tasyrih dengan sia-sia belaka. Keputusan seperti ini bisa ada karena sebagian orang mengadukan kepada penguasa bahwa terlalu sesaknya orang-orang saat haji. Oleh karena itu, mereka keluarkan syarat tashrih yaitu untuk memberikan kemudahan bagi orang-orang yang berhaji (agar tempat haji tidak penuh sesak).”

Syaikh ‘Abdullah bin Sulaiman Al Manii’ hafizhohullah, anggota Hay’ah Kibaril ‘Ulama berkata, “Barangsiapa berhaji tanpa tashrih, maka ia berhaji dengan maksiat dan dosa. Mengenai kadar dosanya adalah perhitungan di sisi Allah. Namun, orang yang berhaji dengan tashrih seperti ini, hajinya sah, akan tetapi ia bedosa. Jika Allah kehendaki, Allah akan menghukumnya. Jika tidak, Allah akan maafkan dia. Hal ini sama halnya dengan orang yang berhaji tanpa mahrom.”

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah, anggota Hay’ah Kibaril ‘Ulama menyatakan tentang berhaji tanpa tashrih, “Tidak boleh seseorang berhaji dengan menyelisi aturan (yaitu berangkat haji tanpa adanya tashrih, pen)”.

Syaikh Sulaiman Al Majid mengatakan, “Asalnya seseorang wajib memenuhi syarat tasyrih. Karena ini adalah bagian dari aturan yang wajib ditaati. Inilah aturan yang harus diperhatikan oleh orang yang berhaji. Aturan ini masuk dalam aturan siyasah yang dibenarkan.”

Syaikh Yusuf bin ‘Abdillah Asy Syubaili, Guru Besar Fiqh di Ma’had Al ‘Ali Lil Qodho’ berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu mendapatkan syarat tasyrih untuk berhaji, maka afdholnya ia tidak berhaji dalam rangka mentaati penguasa dan memberikan kelonggaran (kemudahan) untuk berhaji bagi kaum muslimin lainnya. Cobalah ia gunakan hartanya yang ada untuk bersedekah, menolong orang-orang yang tidak berhaji supaya dapat berhaji. Jika ia melakukan demikian, ia akan mendapatkan pahala semisal itu pula (semisal pahala haji). Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menolong orang yang berperang (berjihad), maka ia pun terhitung berjihad.”

(Kami sarikan penjelasan ulama-ulama di atas dari http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=549)

Bentuk Kezholiman Orang yang Berhaji Tanpa Tashrih

Kita sudah tahu bahwasanya wajibnya haji itu hanya sekali. Namun begitulah, kenapa sebagian orang nekad-nekadan untuk tunaikann haji. Katanya sih, “Kok mau ibadah haji saja dilarang?”

Ya ikhwan … Aturan ini dibuat karena ada maslahat. Di antara maslahatnya adalah agar orang tidak terlalu banyak yang berhaji, masy’aril harom tidak sesak. Coba bayangkan jika setiap orang nekad-nekadan seperti Saudara, berhaji tanpa tashrih, atau diistilahkan lewat jalur Cowboy (“Ngoboy”, kata mereka). Bukankah ini menyesaki Masjidil Haram, tempat thawaf, tempat wuquf dan lainnya? Saudara sama saja mengambil hak orang lain. Masih banyak yang ingin berhaji, yaitu tunaikan  yang wajib, namun karena ada Saudara, akhirnya mereka pun susah. Bukankah demikian?

Sungguh, sikap yang baik, berilah kesempatan bagi mereka yang belum berhaji. Berilah kesempatan pada mereka jika Saudara tinggal jalankan haji yang sunnah. Cobalah miliki akhlaq sebagaimana kaum Muhajirin dan Anshar, di mana mereka saling mendahulukan saudaranya dalam kebutuhan padahal mereka sendiri butuh.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan” (QS. Al Hasyr : 9).

Kaum Anshor yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, mereka mendahulukan saudara mereka dari kaum Muhajirin dalam segala keperluan, padahal mereka sendiri membutuhkannya.

Sungguh sangat menakjubkan, seorang sahabat Anshor yang memiliki dua istri ingin menceraikan salah satu istrinya. Kemudian setelah masa ‘iddahnya berakhir dia ingin menikahkannya dengan sahabatnya dari kaum muhajirin. Adakah bentuk itsar yang lebih daripada ini?!! (Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi)

Saudaraku … renungkan hal ini. Cobalah seperti kaum Muhajirin dan Anshor yang saling mendahulukan satu dan lainnya. Tidakkah kau ingin dapat keutamaan seperti mereka (Muhajirin dan Anshar)? Dahulukanlah saudaramu, di balik itu pasti ada balasan dari Allah dengan yang lebih baik.

Melanggar Aturan Penguasa Juga Berdosa

Saudaraku … Melanggar aturan penguasa juga sebenarnya keliru. Ini bukan sembarang aturan. Karena jika kita mentaati penguasa, sama saja kita mentaati Allah. Renungkanlah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Juga dalam sabda beliau,

مَنْ أَمَرَكُمْ مِنْهُمْ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ تُطِيعُوهُ

Jika ada yang memerintah kalian untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah mentaatinya.” (HR. Ahmad. Dikatakan oleh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini hasan)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata, “Tidak boleh mereka (satu pun makhluk) ditaati dalam kemungkaran. Yang dimaksud perbuatan ma’ruf (yang wajib ditaati) adalah perkataan yang dibolehkan oleh syari’at.” (‘Aunul Ma’bud, 7/208). Syarat tashrih adalah aturan makhluk yang tidak menyelisihi syariat, sehingga sudah sepatutnya ditaati.

Apalagi sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al Khudair, aturan tasyrih ada maslahat. Para ulama terangkan bahwa  selama aturan penguasa itu ada maslahat, maka wajib ditaati. Aturan penguasa yang tidak wajib ditaati adalah aturan yang menyelisihi syariat Allah. Dan sama sekali aturan tasyrih ini tidak menyelisihi aturan Allah sehingga sudah sepatutnya ditaati.

Demikian, tulisan ini kami rangkai sebagai nasehat untuk mahasiswa KSU (King Saud University). Agama adalah nasehat. Hanya Allah yang beri hidayah dan petunjuk. Kami hanya sekedar menyampaikan.

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى

Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan (nasehat) itu bermanfaat.” (QS. Al A’la: 9)

Written on 4th Dzulhijjah 1431 H (10/11/2010), KSU, Riyadh, KSA

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/2584-hukum-berangkat-haji-secara-ilegal250.html

Rahasia Penamaan dan Manfaat Kurma Ajwa Favorit Rasulullah

Kurma merupakan salah satu makanan favorit masyarakat di kawasan Jazirah Arab. Dari sekian banyak jenis kurma, Rasulullah memiliki satu jenis kurma favorit yaitu kurma ajwa. Kurma ini berasal dari Madinah, dan biasa tumbuh di dataran tinggi. Kurma Ajwa memiliki ciri khusus dibanding kurma lain, yaitu berwarna lebih hitam dan berukuran lebih kecil.    

Nama ajwa, nyatanya berasal dari nama seorang putri dari sahabat Nabi Muhammad asal Persia, Salman Al-Farisi. Salman adalah seorang sahabat yang sangat loyal dan cinta kepada Islam dan Nabi Muhammad SAW. Salman mewakafkan sebidang kebun kurmanya untuk sumber biaya perjuangan kaum Muslim dalam membela Islam.  

Rasulullah pun menamakan kurma pemberian Salman sebagai kurma ajwa yang terinspirasi dari nama putri Salman yaitu Ajwah. Kurma ini juga tidak pernah absen dari menu harian Rasulullah terlebih saat berbuka puasa. 

Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda bahwa, sesungguhnya dalam kurma ajwah yang berasal dari Aliyah, arah Kota Madinah di dataran tinggi dekat Najed itu mengandung obat penawar ataud ia merupakan obat penawar racun apabila dikonsumsi pada pagi hari.   

Adapun alasan Nabi menjadikan kurma ajwa sebagai kurma andalan yang selalu menemani Beliau mengakhiri puasa, karena kurma ini dipercaya mampu menangkal racun dan ilmu hitam. Seperti yang diterangkan Rasulullah dalam hadis riwayat Bukhari.      Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang makan pagi dengan tujuh butir kurma ajwa, maka tak akan mencelakainya racun dan sihir dihari itu. (HR Bukhari).  

Selain sebagai penawar sihir, menurut penelitian, kurma Ajwa ternyata memiliki kandungan protein sebesar 1.8 hingga 4.0 persen, serta serat sebanyak 2.0 hingga 4.0, dan kandungan glukosa sebanyak 50-70. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Badan Kesahatan Dunia (WHO), zat glukosa dalam kurma berbeda dengan gula pada buah-buahan lain, karena dapat langsung diserap oleh tubuh. Sedangkan kandungan gula dalam buah lain, seperti tebu adalah sukrosa yang harus dipecahkan terlebih dahulu oleh enzim sebelum berubah menjadi glukosa dan mampu diserap tubuh.  Namun yang paling istimewa dari buah ini adalah, bibitnya ditanam langsung oleh Rasulullah pada 14 abad lalu dan masih dibudidayakan hingga saat ini. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Tiga Nikmat yang Kadang tak Disadari

Seorang mukmin haruslah bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan kepadanya. Seorang mukmin tidak pantas berlaku sombong, takabur, atau membanggakan diri. Sebab, semua yang ia miliki hanyalah karunia, bahkan titipan Allah. Ia tidak punya hak untuk berlaku sombong atas apa yang ia miliki.

Sayyiduna Abu Bakar al-Shiddiq RA mengatakan, ”Ada tiga hal yang tidak bisa dicapai dengan tiga hal lainnya (melainkan hanya dengan izin Allah): yaitu kekayaan tidak bisa dicapai dengan cita-cita semata; keremajaan tidak akan dapat dicapai dengan disemir semata; dan kesehatan tidak akan dapat dicapai dengan obat-obatan semata.”

Dengan kata lain, dapat disebutkan kekayaan tidak dapat dicapai dengan cita-cita, melainkan karena anugerah Allah semata. Keremajaan tidak dapat dikembalikan dengan menyemir rambut yang beruban dan tindakan lainnya, sebab berkaitan dengan usia, sedangkan usia berkaitan dengan zaman dan zaman itu tidak dapat dimundurkan.

Begitu pula halnya dengan kesehatan, ia tidak dapat diraih dengan memakai obat-obatan bila orang yang bersangkutan jatuh sakit, melainkan yang menyembuhkannya pada hakikatnya adalah Allah semata.

Kita hanya dianjurkan untuk berikhtiar, sedangkan yang menentukan hasilnya adalah Allah. Jadi, apa yang dapat kita sombongkan? Apa yang membuat kita takabur? Apa yang menjadikan kita membanggakan diri? Kalau toh itu semua, pada hakikatnya bukan milik kita.

Itu semua hanya karunia Allah. Di sinilah hakikat bersyukur. Bersyukur artinya kita menyadari semua kekayaan, harta yang melimpah ruah, masa remaja, kesehatan, dan sebagainya merupakan anugerah Allah.

Dalam hal ini, berlaku “matematika” syukur; apabila kita bersyukur, niscaya Allah akan menambahkan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Sebaliknya kalau kita kufur, kita akan mendapat adzab yang pedih. Allah berfirman, ”Maka, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nilmat)-Ku. (QS Al-Baqarah [2]: 152).

Semoga, kita menjadi hamba Allah yang pandai mensyukuri nikmat-Nya dan bukan seseorang yang hanya bisa mengingkari nikmat-Nya. Ingatlah, sebagaimana nasihat sahabat Nabi, Abu Bakar RA, bahwa kekayaan, keremajaan atau masa muda, dan kesehatan itu dapat kita capai semata-mata dengan izin Allah.

Oleh: Zakariyal Anshori  

KHAZANAH REPUBLIKA


Mengapa Jamaah Haji dari Madinah Harus Singgah di Bir Ali?

Memasuki hari ke-20 jamaah haji Indonesia berada di Madinah, atau hari ke-11 usai pemberangkatan pertama ke Makkah, total jamaah haji Indonesia yang menuju Makkah mencapai 160 kloter. Perinciannya, 20 kloter dengan Bus Abu Sarhad, 64 kloter dengan bus Rawahil, 28 kloter dengan bus Hafil, 5 kloter dengan bus Durrat, 26 kloter menggunakan vus Rabitat, dan 17 kloter dengan bus Al-Massa. Pada Rabu (24/7), sebanyak 24 kloter berangkat menuju Makkah.

Namun demikian, sebelum jamaah sampai di Makkah, mereka harus singgah dulu di Bir Ali yang dahulu bernama Dzulhulaifah. “Mereka wajib mengambil miqat di Bir Ali, selanjutnya menuju Makkah untuk melaksanakan umrah,” ujar Ketua Sektor Khusus Bir Ali dan Hijrah (Birhij), Sahbudin, kepada wartawan Media Center Haji (MCH) di Sektor Birhij, Madinah, Rabu (24/7).

Mengapa? Sahbudin menegaskan, setiap rombongan jamaah haji Indonesia yang berangkat ke Makkah, diharuskan atau wajib untuk singgah di Bir Ali atau Dzulhulaifah ini. “Harus singgah disini untuk mengambil miqat dan berniat ihram,” kata dia.

Sebab, kata Sahbudin, bila sopir yang membawa mereka tidak singgah di Bir Ali, atau bablas sampai Makkah, maka mereka diharuskan membayar denda karena dianggap melarang salah satu dari syarat sah ibadah haji atau umrah. 

“Itu sudah ketentuan yang disyariatkan dalam ajaran Islam. Bahwa ada sejumlah tempat miqat bagi jamaah haji, antara Bir Ali, Yalamlam, dan lainnya,” kata dia.

Tidak hanya jamaah haji Indonesia, kata dia, jamaah dari negara lain pun yang kebetulan mengambil niat haji atau umrah yang berangkat dari Madinah, maka mereka harus singgah di Bir Ali. Jamaah Mesir punya miqatnya sendiri bila mereka berangkat langsung menuju Makkah. Jamaah Muslim dari Eropa juga demikian.

Dan jamaah haji Indonesia, bila tujuannya lebih dulu ke Madinah, maka tempat miqatnya di Bir Ali. Dan bila dari Indonesia langsung menuju Makkah, maka miqatnya di Yalamlam.

“Biasanya jamaah haji Indonesia yang akan mengambil miqat di Yalamlam, disarankan memakai pakaian ihram di Bandara keberangkatan. Paling tidak, ketika sudah berada di pesawat,” ujarnya.

Lalu bagaimana bila mereka tidak mampir atau singgah di Bir Ali? “Jika seandainya sampai bablas ke Makkah, kami akan informasikan bahwa bus nomor sekian, kloter sekian, tidak mampir ke Bir Ali. Dan bila bus yang membawa jamaah sudah melewati Bir Ali dan tidak terlalu jauh, mereka disarankan untuk kembali ke Bir Ali,” ungkapnya.

photo

Jamaah haji Indonesia mengambil air wudhu di Masjid Bir Ali, Madinah, Rabu (24/7). Masjid Bir Ali atau Masjid Dzulhulaifah ini menjadi tempat miqat atau niat ihram bagi jamaah haji yang berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk berhaji atau umrah.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihak PPIH Arab Saudi sudah mengatur jadwal keberangkatan dan melakukan pencatatan secara terperinci untuk melakukan koordinasi, termasuk nomor kontak sopir yang membawa jamaah.

“Kami selalu mengingatkan para sopir, ketua kloter, ketua rombongan, bahkan ketua regu untuk mengingatkan sopirnya supaya berhenti dan singgah di Bir Ali mengambil miqat,” terangnya.

Selain itu, lanjutnya, di Bir Ali, jamaah juga dipastikan sudah memakai pakaian ihram. Yang artinya, kata dia, jamaah laki-laki tidak lagi memakai pakaian dalam. “Hanya dua helas pakaian saja dan tidak berjahit. Kami di Bir Ali harus memastikan jamaah sudah berpakaian sesuai syariah itu,” kata dia. 

Dan bila jamaah sudah mengambil miqat di Bir Ali, serta telah memulai niat, maka saat itulah berlaku larangan ihram bagi jamaah. Antara lain, tidak mencabut atau mencukur rambut, tidak mencabut bulu, tidak mencukur kumis atau jenggot, tidak menutup kepala, tidak menggunakan masker, dan sesuatu yang dilarang. “Seandainya mereka melanggar larangan ihram itu, maka mereka wajib membayar fidyah atau denda,” terangnya.  

IHRAM

Masa Puncak Haji Segera Tiba, Jemaah Diimbau Jaga Kondisi Tubuh

Madinah (Kemenag) —- Masa puncak haji sebentar lagi tiba, jemaah haji Indonesia diimbau untuk menjaga kondisi tubuh.

“Jangan terlalu memforsir untuk melakukan kegiatan yang bersifat sunnah, lebih baik tenaga disimpan untuk menghadapi acara puncak haji,” imbau Kepala Daerah Kerja Madinah, Akhmad Jauhari, Kamis (25/07).

Jauhari berpesan agar para jemaah haji yang datang dari Madinah ke Makkah, setelah umrah wajib sebaiknya banyak beristirahat di hotel.

“Di hotel juga banyak kegiatan, baik kegiatan bimbingan ibadah, maupun kegiatan promotif prefentif terkait bagaimana menjaga kesehatan tubuh,” ujar Jauhari.

Jauhari menjelaskan kendati jemaah haji Indonesia sebagian besar telah bergeser ke Makkah, namum kondisi Madinah saat ini masih cukup ramai.

“Karena banyak jemaah dari negara lain dan yang dikelola oleh travel (PIHK) mulai masuk ke kota madinah,” ujarnya.

Meski demikian, Jauhari menegaskan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Daerah Kerja (Daker) Madinah  akan terus melakukan optimalisasi pelayanan.

“Kita akan tetap memberikan layanan yang sifatnya bimbingan ibadah, akomodasi, konsumsi, terutama terkait layanan perlindungan jemaah,” tuturnya.

Hingga Rabu (24/07) kemarin, jemaah haji gelombang 1 yang sudah diberangkatkan ke Makkah sebanyak 160 kloter dengan total jemaah 65.796 orang.

Sedangkan hari ini, akan diberangkatkan 7.800 jemaah yang tergabung dalam 19 kloter.

“Sehingga sisa sampai hari ini, masih ada 50 kloter dengan 22.000 jemaah yang akan diberangkatkan secara berkala hingga tanggal 28 Juli mendatang,” pungkasnya.

KEMENAG RI

10 Kiat Istiqomah (Bag.19)

KAEDAH KESEPULUH :

“Tasyabbuh (meniru) orang kafir termasuk penghalang istiqomah terbesar”

Perhatikanlah, sesungguhnya makna kaidah ini terkandung dalam firman Allah Ta’ala berikut ini :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus,

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [Al-Fatihah]

Dalam firman Allah Ta’ala tersebut di atas, Allah Ta’ala sebutkan tiga golongan, yaitu :

  1. Orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Ta’ala berupa ilmu yang bermanfaat dan amal sholeh.
  2. Orang-orang yang dimurkai oleh Allah Ta’ala, karena rusak amal mereka, seperti yahudi yang rusak amalan mereka. Yahudi tahu kebenaran, tapi mereka tak mengamalkannya.
  3. Orang-orang yang sesat, karena rusak ilmu mereka, seperti nashoro. Nashoro beramal dan beribadah tanpa ilmu yang benar.

Dan seseorang muslim bisa terjerumus kedalam kerusakan ilmu dengan menyerupai nashoro, dan bisa pula ia terjerumus kedalam kerusakan amal dengan menyerupai yahudi.Syaikhul Islam menamai kitabnya dengan :اقتضَاءُ الصِّراط المستقيم مخالفةَ أصحابِ الجحِيم“Tuntutan (meniti) jalan yang lurus adalah menyelisihi penduduk neraka!”, dalam kitab tersebut beliau ingin menjelaskan bahwa meniti jalan yang lurus dan beristiqomah dalam beragama Islam itu tidaklah didapatkan dengan baik kecuali dengan menghindari jalan hidup penduduk neraka.Oleh karena itu beliau menyebutkan dalam kitab tersebut beberapa ciri khas Ahlul Kitab yang menjadi fitnah bagi umat Islam, dengan maksud agar umat Islam menjauhinya serta tidak terjatuh kedalam jalan orang-orang yang dimurkai oleh Allah Ta’ala dan orang-orang yang sesat.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ“Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, selengan demi selengan, sehingga seandainya mereka masuk lubang dhab (sejenis kadal besar), niscaya akan kalian ikuti,” maka para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (maksudmu) orang-orang Yahudi dan Nasrani?” (Jawab Rasulullah): “Siapa lagi?!” [HR al-Bukhâri dan Muslim] PenutupDi akhir kitab Asyru Qowa’id fil Istiqomah, sang penulis : Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah.menutup kitabnya dengan ungkapan yang indah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau berkata :أعظمُ الكرامَةِ لزُومُ الاستقامَة“ Karomah yang paling mulia adalah berpegang teguh dengan istiqomah”.Beliau juga berkata dalam kitabnya Al-Furqon baina Auliya`ir Rahman wa Auliya`isy Syaithon :وإنَّما غايةُ الكرامَةِ لزومُ الاستقامةِ“Tujuan (diberi) karomah itu hanyalah agar dapat berpegang teguh dengan istiqomah”.Oleh karena itu Ibnul Qoyyim rahimahullah menukilkan perkataan yang indah dalam kitabnya Madarijus Salikin:كُن صاحبَ الاستقامَةِ لا طالِبَ الكَرامة ، فإنَّ نفسَك متحرِّكَةٌ في طلَبِ الكرامةِ، وربُّك يُطالبُكَ بالاستقامةِ“Jadilah orang yang beristiqomah, (dan) jangan menjadi pencari karomah, karena (sifat) jiwamu itu tergerak mencari karomah, sedangkan Rabb-mu menuntutmu untuk istiqomah!”.Maksud pernyataan-pernyataan di atas adalah selayaknya seorang hamba selalu bersungguh-sungguh untuk istiqomah di atas jalan Allah yang lurus, dan berusaha menjaga dirinya agar selalu taat kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.Penyusun memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-Nya yang husna dan sifat-Nya yang ulya agar menganugerahkan kepada kita keistiqomahan dalam meniti jalan-Nya yang lurus,dan menjauhkan kita dari jalan orang-orang yang dimurkai oleh-Nya Ta’ala dan jalan orang-orang yang sesat, serta menjadikan kita semua menjadi golongan orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya.Penyusun tutup risalah berseri ini dengan firman Allah yang telah penyusun sebutkan di awal-awal risalah ini :إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ(30) Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka istiqomah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kalian takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian”.نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ(31) Kamilah adalah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan akhirat, di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta.نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ(32)Sebagai hidangan (bagi kalian) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. Fushshilat : 30-32].Allah Ta’ala berfirman :إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(13) Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(14)Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.وصلَّى الله وسلَّم وبارك وأنعم على عبدِه ورسولِه نبيِّنا محمَّد وآله وصحبِه أجمعينوآخر دعوانا أن الحمدُ لله ربِّ العالمينPenulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: Halo-Muslim.cm

10 Kiat Istiqomah (Bag.18)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (Bag.17)

Kebenaran hanya satu, sedangkan kebatilan itu banyak, namun semuanya kembali kepada dua fitnah : mengikuti syahwat dan syubhat!

Allah Ta’ala berfirman :

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am:153)

Ayat di atas dijelaskan maksudnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad berkata :

خَطَّ لَنَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ الله، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ، ثُمَّ قَرَأَ

﴿وَإِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ ، فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ﴾

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris sebuah garis untuk kami, kemudian beliau bersabda : ‘Ini adalah jalan Allah’, kemudian beliau menggaris garis-garis di kanannya dan di kirinya, kemudian beliau bersabda: ‘Ini adalah jalan-jalan (lain), pada setiap jalan dari jalan-jalan tersebut ada setan yang mengajak (manusia) kepadanya’, kemudian beliau membaca (ayat yang artinya) :

‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya.’ ”.

Setan yang disebutkan dalam hadits di atas mengajak kepada kesesatan (jalan setan), maka ketahuilah ajakan setan itu ada dua macam, dan kedua macam ajakan setan itu diibaratkan dua kelompok jalan di kedua sisi jalan yang lurus dalam hadits di atas.

Dua macam ajakan setan

Adapun kedua ajakan atau godaan setan itu adalah ajakan kepada mengikuti syahwat, dan mengajak kepada mengikuti syubhat.

Setan tidak peduli dengan ajakan yang mana ia berhasil menyesatkan manusia. Apabila setan melihat tipe orang yang suka teledor dan malas, maka ia goda orang itu dengan jebakan mengikuti syahwat.

Namun apabila setan melihat tipe orang yang semangat beribadah dan suka menjaga diri dari maksiat, maka ia goda orang itu dengan jebakan syubhat.

Sebagaimana ucapan sebagian Salafush Sholeh :

ما أمر الله سبحانه بأمر إلا وللشيطان فيه نزغتان: إما إلى تفريط وتقصير، وإما إلى مجاوزة وغلوّ. ولا يبالى بأيهما ظفر<

“Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan dengan suatu perintah kecuali setan memiliki dua model tipu daya: (Pertama) jebakan menelantarkan dan teledor (terhadap perintah-Nya), atau jebakan melampaui batas dan berlebihan. Sedangkan setan tak peduli dengan model tipu daya mana ia dapat berhasil (menggoda manusia)”.

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan :

وقَد نصَبَ الله سبحانه الجسرَ الَّذي يمُرُّ النَّاس منْ فوقِه إلى الجنَّة، ونصبَ بجانِبَيه كلاليبَ تَخطف النَّاسَ بأعمالهم ، فهكَذا كَلاليبُ الباطل مِن تَشْبيهات الضَّلال وشَهوات الغَيِّ تمنَع صاحبَها من الاستقامة على طريق الحقِّ وسلوكِه ، والمعصومُ من عصَمَه الله

“Allah Subhanahu telah memasang jembatan (Ash-Shiroth) yang manusia melalui diatasnya untuk sampai ke surga, dan Allah-pun memasang di kedua sisi jembatan tersebut besi-besi penyambar yang menyambar manusia sesuai dengan perbuatan mereka (sewaktu di dunia), maka demikian pula ‘penyambar-penyambar yang batil’, baik berupa fitnah syubhat yang menyesatkan dan fitnah syahwat yang menyimpangkan (dari kebenaran), keduanya menghalangi dari istiqomah di jalan yang haq dan menghalngi (seseorang) ketika menitinya. Sedangkan orang yang terjaga (dari penyambar-penyambar) tersebut adalah orang yang dijaga oleh Allah”

Dan obat dari dua induk penyakit hati tersebut adalah Al-Qur`an Al-Karim, Allah Ta’ala berfirman dalam surat Yunus ayat ke-57:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan obat bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus : 57)

Dan Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa makna ayat ini adalah didalam Al-Qur`an Al-Karim terdapat obat untuk mengobati berbagai penyakit dalam hati yang meliputi penyakit kebodohan, dan obatnya adalah berilmu dan mendapatkan petunjuk, serta meliputi pula penyakit penyimpangan, dan obatnya adalah mengamalkan ilmu dan petunjuk (rusyd). Dan kedua obat itu ada dalam Al-Qur`an Al-Karim.

(Bersambung, insya Allah)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47679-10-kiat-istiqomah-bag-18.html