Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 1)

Berpuasa (ash-Shiyam) merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum, jimak, yang dimulai dari matahari terbit dan berakhir ketika matahari terbenam. Berikut adalah penjelasan ayat tentang puasa

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 183

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَز.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 183]

Makna Ayat

Wahai orang-orang beriman, sungguh telah diwajibkan atasmu ibadah puasa, sebagaimana hal itu juga diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian, agar kalian menjadikannya sebagai penghalang yang menjaga dirimu dari murka dan siksa Allah Ta’ala [Tafsir Ibnu Jarir, 3: 152-155; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Nazhm ad-Durar, 3: 44; Tafsir as’Sa’di, hlm. 86; Tafsir Ibnu Utsaimin al-Fatuhah wa al-Baqarah, 2: 316-317]. 

Berpuasa (ash-Shiyam) merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum, jimak, yang dimulai dari matahari terbit dan berakhir ketika matahari terbenam [Tafsir Ibnu Jarir, 3: 152; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 25: 220].

Faidah-Faidah Ayat

  1. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa” merupakan isyarat bahwa keimanan mengharuskan orang yang memiliki iman untuk berpuasa, karena sungguh ayat ini dibuka dengan panggilan bagi orang-orang beriman [Ar-Risalah at-Tabukiyah, hlm. 39].
  2. Ada hikmah ilahiyah dalam kewajiban berpuasa atas orang-orang beriman. Salah satu hikmah Allah adalah Dia mensyari’atkan berbagai jenis ibadah. Di antara ibadah tersebut ada yang murni ibadah harta seperti zakat. Ada yang murni ibadah fisik seperti shalat. Dan di antaranya ada ibadah yang merupakan kombinasi keduanya seperti haji. Ada juga ibadah yang berwujud meninggalkan sesuatu seperti puasa yang berupa aktivitas meninggalkan makan, minum, dan selain keduanya. Hal itu untuk menyempurnakan ujian pada diri hamba, karena sebagian orang terkadang mudah melaksanakan aktivitas ibadah fisik, namun berat melakukan ibadah harta. Demikian pula sebagian yang lain, mungkin sebaliknya, mudah menyedekahkan harta, tapi berat melakukan ibadah fisik [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2: 319]. 
  3. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” terdapat hiburan dan pelipur bagi hamba yang dibebani dengan suatu ibadah agar mudah menjalankannya. Di sini Allah Ta’ala menginformasikan bahwa Dia mewajibkan ibadah puasa atas umat Islam dan menjelaskan kepada mereka bahwa ibadah tersebut juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelumnya. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa berbagai ibadah yang nampak berat, apabila memasyarakat dan banyak dilakukan orang, niscaya akan ringan dan mudah dijalankan [Tafsir ar-Razi, 5: 243; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah, 2: 318].
  4. Salah satu hikmah dari permisalan yang ada dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” adalah untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan bagi umat ini yang telah dimiliki oleh umat-umat sebelumnya, sehingga kaum muslimin menjadi teladan dalam ibadah puasa, dan bersungguh-sungguh dalam menunaikannya dengan lebih sempurna; selain menegaskan hukum berpuasa dan memotivasi [Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Tafsir Abu as-Su’ud, 1:198; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah –, 2: 317]. 
  5. Hamba sepatutnya menjalani berbagai sebab yang bisa mengantarkan dirinya mewujudkan predikat takwa, karena Allah ta’ala mewajibkan ibadah puasa ini untuk tujuan tersebut seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya (yang artinya), “diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2: 318].

Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat

  1. Ayat ini dibuka dengan seruan Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman”, karena dalam Bahasa Arab bentuk seruan atau panggilan digunakan untuk menarik perhatian agar memperhatikan apa yang akan disampaikan setelahnya. Pengulangan seruan tersebut untuk menampakkan adanya perhatian lebih pada apa yang akan disampaikan dan untuk menjelaskan adanya hukum agama yang lain setelah perincian hukum qishash pada ayat-ayat sebelumnya [Tafsir Abu as-Su’ud, 1: 198; Tafsir Ibnu ‘Asyur, 2:154].
  2. Firman Allah ta’ala, “كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ”, redaksi tersebut dinyatakan dengan kata kerja “كُتِبَ”, yaitu kata kerja pasif dimana fa’il (subyek) dihapus karena telah dimaklumi bahwa yang menetapkan kewajiban tersebut adalah Allah Ta’ala. 

Alasannya, karena ibadah puasa itu umumnya memberatkan diri hamba. Sehingga dalam hal ini, etikanya pembebanan suatu hal yang memberatkan tidak disebutkan secara langsung bahwa Allah Ta’ala yang menetapkannya, meski benar bahwa Dia-lah yang menetapkan. Itulah mengapa penetapan suatu perkara yang berwujud kelapangan dan kegembiraan yang dilakukan Allah Ta’ala, tetap dinyatakan dengan redaksi yang menggunakan kata kerja aktif, dimana fa’il tetap disebutkan. Hal ini seperti firman Allah ta’ala,

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ

“Rabb-mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” [QS. al-An’am: 54] [Tafsir Abu Hayyan, 2: 177]

  1. Pada firman Allah ta’ala, “عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ”, terdapat taqdim dan takhir, maksudnya ada yang didahulukan dan diakhirkan, dimana kata “عَلَيْكُمُ” didahulukan atas kata “الصِّيَامُ”. Hal ini berfungsi sebagai penegasan, karena memulai dengan menyebutkan bentuk penetapan lebih tegas daripada langsung menyebutkan sesuatu yang ditetapkan [Ad-Dur al-Mashun, 2: 266].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55951-ayat-ayat-shiyam-bag-1.html