Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 5)

Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 4)

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 187

Allah Ta’ala berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 187]

Baca Juga:

Sebab Turun Ayat

Terdapat riwayat dari al-Barra bin Azib radhiallahu ‘anhu bahwa beliau menuturkan sebab turunnya ayat yang mulia ini. Beliau menyatakan,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ الْإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلَا يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ الْإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا أَعِنْدَكِ طَعَامٌ قَالَتْ لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ خَيْبَةً لَكَ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ } فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا وَنَزَلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ

“Di antara para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ada seseorang apabila sedang berpuasa lalu tiba waktu berbuka dia pergi tidur sebelum berbuka sehingga tidak memakan sesuatu pada malam dan siang hari hingga petang hari. Dan pada suatu hari ketika Qais bin Shirmah al-Anshari sedang melaksanakan berpuasa, lalu tiba waktu berbuka dia mendatangi isterinya seraya berkata, ‘Apakah kamu punya makanan?’ Isterinya berkata, ‘Tidak, namun aku akan keluar mencari makanan buatmu’. Kemudian di siang harinya Qais bekerja keras hingga mengantuk lalu tertidur. Kemudian isterinya datang. Ketika isterinya melihatnya sedang tertidur, isterinya berkata, ‘Rugilah kamu’. Qais pun tetap berpuasa, hingga pada tengah hari dia pun jatuh pingsan. 

Lalu persoalan ini diadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah firman Allah Ta’ala di surat alBaqarah ayat 197 (yang artinya), ‘Dihalalkan bagi kalian pada malam bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian’. Dengan turunnya ayat ini para sahabat merasa sangat senang, hingga kemudian turun lanjutan ayatnya, ‘Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu di waktu fajar’.” [HR. al-Bukhari: 1915]

Dari al-Barra radhiallahu ‘anhu, beliau menyatakan,

لما نزل صوم رمضان كانوا لا يقربون النساء رمضان كله وكان رجال يخونون أنفسهم فأنزل الله علم الله أنكم كنتم تختانون أنفسكم فتاب عليكم وعفا عنكم

“Ketika ada perintah wajib Puasa Ramadhan, para Sahabat tidak mendekati istri mereka selama bulan Ramadhan. Akan tetapi, kaum lelaki tidak mampu menahan diri mereka, maka Allah menurunkan ayat (yang artinya), ‘Allah mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan diri kalian, tetapi Dia telah menerima taubat kalian dan memaafkan kalian’ [al-Baqarah: 187].” [HR. al-Bukhari: 4508]

Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu, beliau menuturkan,

أنزلت وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود ولم ينزل من الفجر فكان رجال إذا أرادوا الصوم ربط أحدهم في رجله الخيط الأبيض والخيط الأسود ولم يزل يأكل حتى يتبين له رؤيتهما فأنزل الله بعد من الفجر فعلموا أنه إنما يعني الليل والنهار

“Ketika turun ayat, ‘Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam’ dan belum diturunkan ayat lanjutannya yaitu ‘dari fajar’, ada seseorang di antara para Sahabat yang apabila hendak berpuasa mengikat seutas benang putih dan benang hitam pada kakinya. Dia senantiasa meneruskan makan dan minumnya hingga jelas terlihat perbedaan benang-benang itu. Maka Allah Ta’ala kemudian menurunkan ayat lanjutannya ‘dari fajar’. Dari situ mereka mengetahui bahwa yang dimaksud dengan benang hitam dan putih adalah malam dan siang’.” [HR. al-Bukhari: 1917 dan Muslim: 1091]

Makna Ayat

Diperbolehkan bagi kalian menggauli istri di malam-malam bulan Ramadhan. Istri-istri kalian laksana pakaian kalian, wahai para suami, sebagaimana kalian laksana pakaian mereka ketika menggauli mereka. Sungguh Allah Ta’ala mengetahui bahwa kalian tak mampu menundukkan hawa nafsu sehingga kalian bermaksiat kepada-Nya, dimana kalian tidak mampu melaksanakan perintah Allah Ta’ala kepada kalian untuk tidak menggauli istri di malam-malam bulan Ramadhan. Namun, sungguh Allah telah mengampuni kalian dengan menghalalkan hal itu yang dahulu diharamkan oleh-Nya. Dia telah memaafkan perbuatan menuruti hawa nafsu yang dahulu kalian lakukan. 

Maka saat ini –setelah kelapangan dari Allah ini- kalian diperbolehkan menggauli istri. Carilah apa yang ditakdirkan Allah bagi kalian [1]. Kalian diperbolehkan makan dan minum di setiap saat yang kalian inginkan dari waktu malam hingga nampak dan nyata putihnya siang dari gelapnya malam (terbit fajar). Di saat itu, barulah kalian wajib menahan diri dari makan, minum, dan jimak hingga matahari terbenam.

Dan janganlah kalian menggauli istri di saat i’tikaf untuk beribadah di rumah-rumah Allah. Inilah hukum-hukum yang diterangkan Allah Ta’ala dalam ayat ini yaitu seperti pengharaman makan, minum, jimak, dan keharaman yang lain di siang hari bulan Ramadhan. Allah Ta’ala telah menerangkan dan menjelaskannya kepada kalian agar apa yang halal bagi kalian itu nyata dan jelas. Kalian berkewajiban menahan diri dan menjauh dari hal tersebut.

Sebagaimana Allah Ta’ala menjelaskan hukum-hukum puasa dengan penjelasan yang sangat sempurna, demikian pula Allah menjelaskan hukum-hukum agama yang lain dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menjelaskannya dengan informasi yang sangat jelas agar para hamba mampu melaksanakan seluruh apa yang diperintahkan dan menjauhi segenap apa yang dilarang [Tafsir Ibnu Jarir 3/229-275; Tafsir Ibnu Katsir 1/510-520; Tafsir as-Sa’di hlm. 87-88; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/346-350].

Faidah-Faidah Ayat

  1. Setiap orang terkadang mengkhianati dirinya sendiri sebagaimana ia mengkhianati orang lain. Dia berkhianat pada diri sendiri tatkala dirinya bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Berlandaskan hal itu, maka jiwa atau diri manusia adalah amanah yang ada di sisinya seperti apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,

عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ

Allah mengetahui bahwasanya kalian mengkhianati diri kalian sendiri.” [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/352]

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ

“ … dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu

terdapat anjuran untuk mencari Lailatul Qadr berdasarkan pendapat yang menyatakan bahwa tafsir dari redaksi “مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ” adalah Lailatul Qadr. Selain itu, pada firman Allah tersebut terdapat anjuran untuk berniat mendapatkan keturunan dan menegakkan sunnah ketika berjimak, dan tidak sekadar berlezat-lezat berdasarkan pendapat yang menyatakan tafsir dari redaksi “ما كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ” adalah anak [Al-Iklil hlm. 42].

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

terdapat indikasi akan kebolehan mencumbui istri hingga fajar terbit, karena Allah membolehkan berjimak hingga waktu tersebut. Dan mandi junub tidaklah wajib dilaksanakan sebelum fajar. Karena apabila bercumbu diizinkan hingga fajar terbit, tentu mandi wajib hanya bisa dilaksanakan setelah itu. Oleh karena itu, tidak mengapa apabila seorang memasuki waktu Subuh dalam kondisi junub, kemudian mandi dan menyempurnakan puasa. Terdapat riwayat yang valid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi junub ketika waktu Subuh karena menggauli istri, kemudian beliau tetap berpuasa [Tafsir Abu Hayyan 2/217; Tafsir Ibnu Katsir 1/516; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/354. Hadits yang dimaksud diriwayatkan oleh al-Bukhari: 1931 dan Muslim: 1109 dari Aisyah radhiallahu ‘anha]

  1. Firman Allah Ta’ala,

حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar

dijadikan dalil sebagian ulama bahwa orang yang ragu apakah fajar telah terbit, diperbolehkan makan, karena Allah Ta’ala membolehkan makan hingga fajar telah terbit dengan jelas, tanpa ada keraguan [Al-Iklil hlm. 42].

  1. Izin untuk bercumbu, makan, dan minum hingga fajar terbit bagi orang yang hendak berpuasa dalam firman Allah,

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”

terdapat indikasi bahwa tidak ada kewajiban mengqadha puasa bagi setiap orang yang ragu akan terbitnya fajar dan melakukan hal-hal di atas, kemudian mengetahui bahwa fajar telah terbit, lalu dia berpuasa [Tafsir Abu Hayyan 2/216-217]

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”

disebutkan kata fajar karena terbitnya fajar berpotensi menimbulkan keragu-raguan, terlebih apabila cahayanya bercampur dengan cahaya bulan di malam-malam purnama, sehingga boleh jadi shalat Subuh telah dilakukan kemudian diketahui bahwa fajar belum terbit. Hal ini dialami oleh sejumlah sahabat dan selain mereka. Berbeda dengan matahari dan peristiwa terbenamnya. 

Oleh karena itu –wallahu a’lam- Allah memanjangkan waktu makan di malam hari hingga fajar nampak dengan jelas, kemudian Allah berfirman (yang artinya), “…kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. Maka Allah menjadikan waktu fajar terkait dengan penampakannya yang jelas dan nyata, yaitu pada saat isfar (terang dan bercahaya) yang telah ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ketika menyampaikan waktu berpuasa, Allah tidak mengungkapkan “…kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga terang/nyata bagi kalian waktu malam” karena masuknya waktu malam dapat jelas diketahui, tanpa ada keraguan [Syarh al-‘Umdah kitab ash-Shalah karya Ibnu Taimiyah hlm. 222].

  1. Firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ

“ … kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”

dijadikan sebagian ulama sebagai dalil untuk menetapkan bahwa seorang tidak diperbolehkan makan dan berbuka puasa apabila dia ragu akan terbenamnya matahari [Al-Iklil hlm. 432].

  1. Firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“…(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.”

dijadikan dalil bagi sebagian ulama bahwa puasa merupakan syarat beri’tikaf, karena pembiacaraan dalam ayat tersebut dikhususkan bagi orang yang berpuasa, sehingga jika puasa itu bukan merupakan syarat beri’tikaf, tentu tidak ada faidahnya. Ayat ini juga dijadikan dalil bahwa waktu i’tikaf tidak boleh kurang dari sehari sebagaimana waktu puasa yang tidak kurang dari sehari [Al-Iklil hlm. 43].

  1. Firman Allah Ta’ala,

عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“ … sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.”

dengan keumumannya, dijadikan dalil untuk menetapkan bahwa i’tikaf disyari’atkan untuk dilakukan di masjid [Al Hidayah ilaa Bulugh an-Nihayah 1/627].

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

terdapat keterangan bahwa ilmu agama adalah sebab terwujudnya ketakwaan. Alasannya adalah karena Allah menyampaikan tercapainya derajat ketakwaan setelah redaksi ayat (yang artinya), “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia”. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kali ayat-ayat Allah diketahui dengan jelas oleh hamba, maka terwujudlah ketakwaan itu. Hal itu juga dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala, 

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [QS. Fathir: 28]

Dengan demikian, setiap kali hamba mengetahui ayat-ayat Allah, niscaya ketakwaannya pun bertambah. Oleh karena itu ada ungkapan,

من كان بالله أعرف كان منه أخوف

“Semakin mengenal Allah, seorang akan semakin bertakwa dan takut kepada-Nya” [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah 2/361]

  1.   Pada firman Allah Ta’ala, 

كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

terdapat isyarat bahwa derajat ketakwaan merupakan derajat yang tinggi karena rangkaian ayat-ayat tersebut dijelaskan sedemikian rupa kepada manusia agar mereka bisa mencapainya [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah 2/361] 

  1. Redaksi firman Allah Ta’ala,

لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“… supaya mereka bertakwa.”

disampaikan setelah perintah yang memberatkan jiwa. Redaksi di atas diungkapkan dalam ayat ini, karena larangan agar manusia berpuasa dari hal-hal yang sangat disukai adalah hal yang memberatkan. Tidak ada yang memotivasi mereka sehingga mampu melakukannya kecuali karena adanya dorongan ketakwaan. Oleh karena itu, ayat ini diakhiri dengan redaksi di atas [Tafsir Abu Hayyan 2/223]

Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;”

subyek (fa’il) dihapus dari kata kerja (fi’il) “أُحِلَّ”, dimana kata kerja tersebut disampaikan dalam bentuk pasif (bina lil majhul), karena etikanya penyebutan “ar-rafats” selayaknya tidak dikaitkan secara tegas dengan Dzat yang menghalalkan hal itu di malam hari bulan puasa [Badai’ al-Fawaid 2/19]

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;”

Allah menggunakan redaksi “إِلَىٰ نِسَائِكُمْ” dan bukan dengan redaksi “بنسائكم” karena kata “ar-rafats” (bercampur) mengandung arti “al-ifdha” (mendatangi). 

Apabila ada kalimat,

أفضى الرجل إلى المرأة

“Pria itu mendatangi istrinya”

maka kalimat di atas berarti,

إذا جامعها 

“Pria itu mencampuri istrinya” [Tafsir Abu Hayyan 2/212].

  1. Mengenai firman Allah Ta’ala,

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ

“ … mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”

terdapat pendapat alim ulama yang menyatakan bahwa redaksi di atas adalah permulaan kalimat yang menjelaskan sebab penghalalan jimak di malam-malam bulan puasa, dimana jimak sulit ditinggalkan karena seringnya suami berinteraksi dan bersentuhan dengan istri [Tafsir Abu as-Su’ud 1/201].

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”

fajar shadiq diserupakan dengan seutas benang, karena demikianlah kondisi awal kemunculannya yang seperti benang putih. Cahayanya nampak tipis, kemudian naik menyebar. Maka, dengan terbitnya kondisi awal fajar shadiq di ufuk, wajib untuk menahan diri dan mulai berpuasa. Demikianlah kondisi awal penampakan fajar yang melintang dan cahayanya yang meluas di ufuk dalam gelapnya malam, yang diserupakan dengan benang putih dan benang hitam [Tafsir Abu Hayyan 2/216; tafsir Abu as-Su’ud 1/202].

  1. Penyandaran kata “al-hudud” kepada Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ

“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.

menunjukkan ungkapan ekspresi yang berlebihan bahwa larangan Allah itu jelas, tidaklah samar, sehingga redaksi tersebut tidak diungkapkan dalam bentuk nakirah ataupun makrifah dengan menggunakan alif dan lam [Tafsir Abu Hayyan 2/222]

  1. Firman Allah Ta’ala,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ

“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.

disampaikan setelah penyampaian beberapa hal yang diharamkan. Maka sangatlah sesuai apabila juga disampaikan larangan untuk mendekatinya, karena larangan untuk mendekati suatu hal yang diharamkan lebih mengena daripada larangan untuk mengerjakannya.  Sebagaimana dalam surat yang sama, juga disampaikan dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ

“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.”

redaksi di atas disampaikan setelah penyampaian perintah-perintah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, sangat sesuai apabila juga disampaikan larangan agar tidak melanggar perintah-perintah tersebut [Ad-Durr al-Mashun 2/299; Tafsir as-Sa’di hlm. 87].

[Selesai]

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56279-ayat-ayat-shiyam-bag-5.html

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 3)

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 186

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” [QS. al-Baqarah: 186]

Makna Ayat

Firman Allah Ta’ala “وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ” menuntut hamba untuk bertakbir mengagungkan Allah dan bersyukur kepada-Nya, maka ayat ini menjelaskan Allah Ta’ala memperhatikan atas setiap dzikir orang yang mengingat-Nya dan syukur setiap orang yang bersyukur kepada-Nya, bahwa Dia mendengar panggilannya dan memenuhi permohonannya [Tafsir ar-Razi 5/260; Tafsir Abu Hayyan 2/205]. 

Makna ayat di atas adalah jika orang-orang beriman bertanya kepadamu, wahai Muhammad, perihal kedekatan diri-Ku, maka katakanlah Diri-ku dekat dengan mereka. Aku memenuhi permohonan setiap orang yang memohon kepada-Ku. Karena itu, hendaknya mereka tunduk kepada-Ku dengan menaati segala perintah-Ku dan menjauhi segenap larangan-Ku. Hendaknya mereka meyakini bahwa Aku akan memberikan ganjaran pahala atas ketundukan mereka kepada-Ku; memenuhi permohonan dan do’a mereka, sehingga dengan hal itu semua mereka berada di atas kebenaran dan taufik tetap menyertai mereka dalam mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih [Tafsir Ibnu Jarir 3/222-228; Tafsir as-Sa’di hlm. 87; Tafsir Ibnu Utsaimin –al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/342-343]. 

  Faidah-Faidah Ayat

  • Pada firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,…”

terdapat isyarat bahwa: 

  1. do’a orang yang berpuasa sangat berpotensi dikabulkan;
  2. do’a-do’a yang dipanjatkan di bulan Ramadhan sangat berpotensi dikabulkan; dan
  3. disyari’atkan berdoa di setiap penghujung hari Ramadhan [Tafsir Ibnu Asyur 2/179].  
  • Firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…”

menunjukkan akan bimbingan Allah kepada para hamba-Nya untuk bermunajat (berbisik) dalam do’a mereka dan bukan menyeru dengan meninggikan suara. Itulah yang ditanyakan dan dijawab bahwa Allah Ta’ala dekat sehingga tidak perlu meninggikan suara dalam do’a dan permohonan mereka. Hal yang ditanyakan adalah perihal Dzat yang dekat dan menjadi tujuan bermunajat, bukanlah Dzat yang jauh sehingga perlu diteriaki. Kedekatan Allah Ta’ala dengan orang yang berdo’a kepada-Nya ini adalah kedekatan khusus dan tidak bersifat umum sehingga mencakup setiap orang [Badai’ al-Fawaid 3/7].

  • Disisipkannya perkara do’a dalam penyebutan hukum-hukum puasa, merupakan isyarat agar hamba bersungguh-sungguh dalam do’a ketika menyempurnakan bilangan hari bulan Ramadhan, bahkan sepatutnya bersungguh-sungguh berdo’a ketika berbuka puasa [Tafsir Ibnu Katsir 1/509; Tafsir Ibnu Asyur 2/179].
  • Setiap orang yang diberi ilham untuk berdo’a, sungguh do’a yang dipanjatkannya ingin dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ 

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” [QS. Ghafir: 60]

dan dalam redaksi ayat di atas Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku … ” [Al-Jawab al-Kafi hlm. 17].

  • Pada firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…”

pengabulan do’a tidak dikaitkan dengan kehendak Allah Ta’ala, sementara pada firman Allah Ta’ala di surat al-An’am ayat 41, pengabulan do’a dikaitkan dengan kehendak-Nya. 

Allah Ta’ala berfirman,

فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ

“Maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki.” [QS. al-An’am: 41]

Hal ini dikarenakan ayat yang pertama berkenaan dengan do’a yang dipanjatkan orang-orang beriman, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kehendak Allah. Do’a orang beriman tidak akan ditolak kecuali karena adanya dosa atau faktor pemutus yang menyebabkan do’anya tertolak. Adapun ayat yang kedua, pengabulan do’a dikaitkan dengan kehendak Allah, karena berkenaan dengan do’a yang dipanjatkan orang-orang kafir [Al-Adzb an-Namir 1/239].

  • Apabila timbul pertanyaan, “Apa faidah dari firman Allah Ta’ala “إِذَا دَعَانِ” yang disebutkan setelah firman Allah Ta’ala “الدَّاعِ”. Padahal seseorang tidak disifati sebagai orang yang berdo’a setelah dia berdo’a terlebih dahulu?  

Jawabannya adalah karena ada maksud dari firman Allah Ta’ala “إِذَا دَعَانِ”, yaitu apabila dia jujur dalam berdo’a kepada-Ku, dengan menyadari bahwa dia sepenuhnya membutuhkan Allah Ta’ala; Dia Maha mampu untuk mengabulkan do’a yang dipanjatkan; dan memurnikan do’a hanya kepada Allah ‘azza wa jalla, dimana hati tidak bergantung kepada selain-Nya [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/342]

  • Pengabulan do’a hamba dipengaruhi oleh sejumlah hal seperti akidah yang benar dan ketaatan yang sempurna. Hal ini karena redaksi ayat yang membicarakan perihal do’a diikuti dengan firman Allah,

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي

“ … maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku … ”

Ada arahan agar hamba menaati perintah-Nya dan beriman kepada-Nya dengan akidah yang benar dalam redaksi ayat tersebut  [Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah 14/33].

Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat

  • Arah pembicaraan yang disampaikan Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…”

menunjukkan akan kemuliaan dan kedudukannya yang tinggi [Tafsir Abu as-Su’ud 1/200].

  • Pada firman Allah Ta’ala,

فَإِنِّي قَرِيبٌ

“maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat”

terdapat upaya untuk mendekatkan jawaban dan mengingatkan betapa dekatnya hamba dengan Allah Ta’ala ketika berdo’a. Sekaligus Allah Ta’ala menginformasikan bahwa diri-Nya tidak membutuhkan perantara sehingga menegaskan akan kedekatan dan kehadiran-Nya bersama setiap orang yang berdo’a. 

Oleh karena itulah Allah Ta’ala berfirman dengan kata “فَإِنّي” dan bukan dengan frasa “فقل إني” yang berarti, “Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya Aku … ”. Hal ini dikarenakan apabila ditetapkan dengan redaksi “قل” niscaya akan menimbulkan kesan jauh padahal konteksnya tidak demikian. Selain itu, pengungkapan dengan redaksi “فقل: إني” akan menimbulkan kesan bahwa yang berbicara adalah selain Allah, sehingga perlu pengungkapan dengan redaksi “إن الله” atau yang semisal [Nazhm ad-Durar 3/71; Tafsir Ibnu Asyur 2/179].

  • Pada firman Allah Ta’ala,

فَإِنِّي قَرِيبٌ

“maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat”

terdapat penegasan dengan huruf “إن” untuk menegaskan bahwa Allah Ta’ala dekat dengan hamba-Nya, meski mereka tidak melihat-Nya [Tafsir Ibnu Asyur 2/179].

  • Penutupan ayat ini dengan firman Allah Ta’ala,

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

merupakan salah satu hal yang terindah, karena ketika memerintahkan para hamba-Nya untuk memenuhi segala perintah dan beriman kepada-Nya, Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tujuan pembebanan syari’at semata-mata agar hamba berada dalam jalan yang benar dengan menaati perintah-Nya. Tidak ada keuntungan yang diperoleh Allah dari hal itu, sehingga keuntungan itu hanyalah diperoleh hamba [Tafsir Abu Hayyan 2/210].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56277-ayat-ayat-shiyam-bag-4.html

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 2)

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 185

Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [QS. al-Baqarah: 185]

Makna Ayat

Ketika Allah Ta’ala mengkhususkan bulan Ramadhan dengan ibadah puasa, Dia menjelaskan alasan pengkhususan tersebut, bahwa Allah Ta’ala menurunkan al-Qur’an dalam bulan tersebut [Tafsir ar-Razi 5/251].

Makna ayat di atas adalah bahwa hari-hari yang ditentukan itu adalah hari-hari di bulan Ramadhan, dimana al-Qur’an diturunkan di saat itu [1]. Al-Qur’an ini merupakan pembimbing dan petunjuk bagi manusia ke jalan kebenaran. Memuat ayat-ayat yang jelas dengan kandungan yang nyata dalam menjelaskan kebenaran, sehingga mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Karena itu, setiap orang yang hadir di negeri tempat tinggalnya, dia wajib berpuasa di bulan Ramadhan ini. Dan setiap orang yang dalam kondisi sakit dan bersafar, kemudian tidak berpuasa, dia wajib mengqadha puasa di hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Alasan Allah Ta’ala memberi keringanan untuk tidak berpuasa bagi orang yang sakit dan bersafar adalah karena Allah Ta’ala suka memberi kemudahan para hamba-Nya dan ingin meringankan ketentuan hukum atas mereka.  Allah ingin agar hamba-Nya menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan dengan mengqadha hari-hari yang ditinggalkan serta mengagungkan Allah dengan mengucapkan “Allahu Akbar” setelah menuntaskan bulan Ramadhan. 

Hal ini karena limpahan nikmat yang telah diberikannya berupa kesempatan untuk bertemu bulan Ramadhan; pensyari’atan puasa dan hukum-hukumnya di bulan ini; taufik dalam menjalankan dan menyempurnakan puasa; mampu menjadi orang bersyukur atas limpahan nikmat-Nya dengan berpuasa di bulan ramadhan; serta atas kemudahan hukum-hukum-Nya di bulan ini yang diberikan kepada para hamba [Tafsir Ibnu Jarir 3/187-222; Tafsir Ibnu Katsir 1/501-505; Tafsir Ibnu Utsaimin –al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/332-336]. 

Faidah-Faidah Ayat

  1. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran”, dan juga firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” [QS. al-Qadr: 1], menunjukkan bahwa Lailatul Qadr terjadi di bulan Ramadhan, bukan bulan yang lain [Al-Iklil hlm. 40].
  2. Kata “Ramadhan” dikaitkan dengan kata “bulan” pada redaksi ayat (yang artinya) “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”

Sementara pada sejumlah hadits, kata “Ramadhan” disebutkan tanpa disertai kata “bulan”. Hal ini seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

ومن قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

”Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [HR. al-Bukhari: 2009 dan Muslim: 759]

Perbedaan antara kedua redaksi tersebut berdasarkan keterangan alim ulama adalah maksud dari kata Ramadhan ketika disandarkan pada kata bulan adalah sebagian bulan Ramadhan. Sedangkan jika tidak disandarkan berarti yang dimaksud seluruh bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan al-Qur’an turun di sebagian malam-malam bulan Ramadhan, bukan di seluruh bulan. Berbeda dengan pelaksanaan qiyam Ramadhan yang dianjurkan di seluruh bulan [Nataij al-Fikr fi an-Nahwi hlm. 294, 297; Ithaf as-Saadah al-Muttaqin 4/177].  

  1. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran” terdapat penetapan sifat al-‘Uluw (Allah ada di atas) bagi Allah Ta’ala, karena Dia yang telah menurunkan al-Qur’an dan aktivitas menurunkan hanya terjadi dari atas [Tafsir Ibnu Utsaimin –al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/332]
  2. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” mengandung ketentuan bahwa kesulitan menimbulkan adanya kemudahan, karena sakit dan safar itu menyulitkan [Tafsir Ibnu Utsaimin –al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/324].
  3. Sebagian alim ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” untuk menyatakan bahwa qadha puasa tidak harus segera dilakukan [Al-Iklil hlm. 39].
  4. Sebagian alim ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” untuk menyatakan bahwa puasa pada hari yang waktu siangnya lebih pendek cukup untuk menggantikan puasa yang ditinggalkan di hari yang waktu siangnya lebih panjang [Al-Iklil hlm. 39]. 
  5. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” menunjukkan bahwa tidak perlu membayar fidyah jika telah mengqadha [Al-Iklil hlm. 39].
  6. Firman Allah Ta’ala “فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ” tidak diungkapkan dengan redaksi “فصيام أيام أخر” sebagai penegasan atas kewajiban berpuasa sebanyak bilangan hari yang ditinggalkan ketika sakit dan bersafar, karena bilangan hari untuk mengganti puasa ditentukan sama dengan jumlah hari yang ditinggalkan [Tafsir Ibnu Asyur 2/164].
  7. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” secara tekstual menerangkan bahwa setiap orang yang menunda qadha puasa hingga Ramadhan tahun berikutnya tiba, tidak memiliki kewajiban selain mengqadha puasa yang  ditinggalkannya dahulu [Tafsir Abu Hayyan 2/187].
  8. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”, adalah penetapan sifat al-iradah bagi Allah Ta’ala. Dan sifat al-iradah yang dimaksud adalah al-iradah asy-syar’iyah yang berarti al-mahabbah (kecintaan) [Tafsir Ibnu Utsaimin –al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/335-339].
  9. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya” adalah dalil untuk mempertimbangkan bilangan hari dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan apabila hilal tidak dapat dilihat. Sehingga dalam kondisi tersebut tidak perlu berpatokan pada perkataan ahli hisab dan astronomi [Al-Iklil hlm. 41].
  10. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah” merupakan dalil pensyari’atan takbir di saat Idul Fitri, dimana waktunya bermula ketika bilangan hari Ramadhan telah terpenuhi, yaitu di saat matahari terbenam pada hari terakhir bulan Ramadhan [Al-Ilklil hlm. 41].

Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat

  1. Kata “البينات” diungkapkan dengan kata “الفرقان” dan Allah tidak berfirman dengan redaksi “من الهدى و البينات” sehingga tidak bersesuaian dengan redaksi awal “هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ”. Alasan hal ini adalah karena adanya tambahan makna yang melekat pada kata “البينات”. Dengan demikian, setiap kali sesuatu itu nyata dan jelas, pasti akan muncul perbedaan dengan yang lain.. Selain itu, dengan menggunakan kata “الفرقان” akan terjadi keseragaman bunyi kata dengan kata pemisah sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala “شَهْرُ رَمَضَانَ”, kemudian firman-Nya “شَهْرُ رَمَضَانَ” , kemudian diakhiri dengan “هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ”. Dengan begitu, terwujud keragaman bunyi kata dengan pemisah-pemisah tersebut, sehingga kata “الفرقان” lebih cocok digunakan ketimbang kata “البينات” dari segi lafazh dan makna [Tafsir Abu Hayyan 2/196].
  2. Redaksi “فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ” tidak diungkapkan dengan redaksi “شَهِدَه مِنْكُمُ فَلْيَصُمْهُ فَمَنْ”  sebagai bentuk pujian, pemuliaan, dan pengagungan terhadap bulan Ramadhan [Tafsir Abu Hayyan 2/197].
  1. Redaksi “أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ” tidak diungkapkan dengan redaksi “أَوْ مسافرا” sebagai pemberitahuan bahwa safar itu adalah sesuatu yang bisa dikendalikan karena musafir bisa memilih untuk bersafar atau tidak. Berbeda dengan sakit yang menimpa tanpa manusia bisa memilih. Sehingga, safar itu seolah-olah tunggangan dan manusia berada di atasnya untuk mengendalikan [Tafsir Abu Hayyan 2/184; ad-Durr al-Mashun 2/270].
  2. Redaksi “يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ” disusul dengan kalimat penafianوَلَا يُرِيدُ بِكُمُ” الْعُسْرَ” sebagai bentuk penegasan [Tafsir Ibnu Asyur 2/175].
  3. Pada firman Allah Ta’ala “وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ” terdapat fungsi ta’diyah terhadap aktivitas bertakbir dengan menggunakan huruf “عَلَى” karena ada makna pujian yang terkandung di dalamnya. Seolah-olah Allah Ta’ala hendak menyampaikan, “وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ حامدين عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ”, “Dan hendaklah kamu bertakbir mengagungkan Allah seraya memuji-Nya atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu” [Tafsir Abu as-Su’ud 1/200].
  4. Ayat di atas ditutup dengan redaksi “وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ” karena sebelumnya telah disebutkan keringanan berbuka di bulan Ramadhan bagi orang yang sakit dan musafir dan firman-Nya “يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ”. Hal ini berbeda dengan ayat-ayat sebelumnya seperti setelah firman Allah Ta’ala “كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ” disebutkan firman Allah “لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ”. Dan juga sebagaimana sebelumnya, ayat “وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ” diakhiri dengan firman Allah Ta’ala “لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ”, karena puasa dan qishash di antara perkara syari’at yang paling berat pelaksanaannya. 

Demikianlah perbedaan gaya bahasa al-Qur’an dalam menerangkan perkara yang memberatkan dan perkara yang meringankan dan memudahkan. Hal ini merupakan bentuk keindahan penjelasan dalam al-Qur’an yang mulia [Tafsir Abu Hayyan 2/204-205].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Catatan kaki:

[1] Dalam hal ini terdapat dua tafsiran. Pertama, bahwa al-Qur’an diturunkan secara sempurna darl al-Lauh al-Mahfuzh menuju langit dunia pada Lailatul Qadr di bulan Ramadhan. Kedua, bahwa permulaan turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi pada Lailatul Qadr di bulan Ramadhan.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56275-ayat-ayat-shiyam-bag-3.html

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 1)

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 184

Allah Ta’ala berfirman,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. al-Baqarah: 184]

Makna Ayat

Puasa ini diwajibkan atas kalian, wahai orang-orang beriman, hanya pada hari-hari yang berbilang, yang masanya dapat dihitung, yaitu di hari-hari bulan Ramadhan. Apabila di antara kalian ada yang sakit, bersafar, kemudian tidak berpuasa, maka dia berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar bulan Ramadhan). Dan setiap orang yang mampu berpuasa, namun tidak menunaikannya, berkewajiban menyerahkan fidyah berupa makanan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Apabila seseorang mengetahui kebaikan yang terdapat dalam ibadah puasa, sungguh dia tidak akan meremehkannya [Tafsir Ibnu Jarir 3/156-186; Tafsir Ibnu Katsir 1/498-500; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 31/250; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/320-324].  

Ketentuan yang disebutkan dalam ayat ini telah dianulir (mansukh). Tatkala Allah menetapkan kewajiban berpuasa di awal perkembangan Islam, umat muslim diberi pilihan antara melaksanakan puasa dan memberi makan orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Apabila dia memilih berpuasa, sungguh hal itu lebih baik baginya. Kemudian Allah Ta’ala menghapus opsi tersebut bagi orang yang mampu berpuasa dengan firman-Nya,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” [QS. al-Baqarah: 185]

Dengan demikian, kewajiban berpuasa ditetapkan bagi orang yang mampu menjalankan. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu menjalankannya, dia boleh berbuka dan berkewajiban memberi makan orang miskin [An-Nasikh wa al-Mansukh hlm. 26; Syarh Umdah al-Fiqh – kitab ash-Shiyam- karya Ibnu Taimiyah 1/262-264; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 31/250; Tafsir Ibnu Katsir 1/499-500]. 

Faidah-Faidah Ayat

  1. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”, terdapat penetapan bahwa penyaluran fidyah hanya diberikan kepada orang miskin, sehingga berbeda dengan penyaluran zakat [Al-Iklil hlm. 39].
  2. Terdapat perbedaan tingkatan dalam amal berlandaskan firman Allah (yang artinya), “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. Tentunya perbedaan tingkatan dalam suatu amal melazimkan adanya perbedaan kedudukan pelakunya di sisi Allah [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/330]. 

Aspek Balaghah pada Ayat

Firman Allah “أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ” diungkapkan dengan kata “أَيَّام” yang merupakan bentuk jamak qillah dan disifati dengan kata “مَعْدُودَاتٍ” yang juga berbentuk jamak qillah. Hal ini dimaksudkan sebagai isyarat bahwa berpuasa di bulan Ramadhan bagi hamba adalah hal yang ringan dan mudah. Hal ini karena hari-hari berpuasa dibatasi oleh bilangan yang dapat dihitung dan bukan dilaksanakan dalam waktu yang lama yang tidak dibatasi oleh bilangan [Tafsir Abu Hayyan 2/180; Tafsir Ibnu Asyur 2/161].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56273-ayat-ayat-shiyam-bag-2.html

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 1)

Berpuasa (ash-Shiyam) merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum, jimak, yang dimulai dari matahari terbit dan berakhir ketika matahari terbenam. Berikut adalah penjelasan ayat tentang puasa

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 183

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَز.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 183]

Makna Ayat

Wahai orang-orang beriman, sungguh telah diwajibkan atasmu ibadah puasa, sebagaimana hal itu juga diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian, agar kalian menjadikannya sebagai penghalang yang menjaga dirimu dari murka dan siksa Allah Ta’ala [Tafsir Ibnu Jarir, 3: 152-155; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Nazhm ad-Durar, 3: 44; Tafsir as’Sa’di, hlm. 86; Tafsir Ibnu Utsaimin al-Fatuhah wa al-Baqarah, 2: 316-317]. 

Berpuasa (ash-Shiyam) merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum, jimak, yang dimulai dari matahari terbit dan berakhir ketika matahari terbenam [Tafsir Ibnu Jarir, 3: 152; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 25: 220].

Faidah-Faidah Ayat

  1. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa” merupakan isyarat bahwa keimanan mengharuskan orang yang memiliki iman untuk berpuasa, karena sungguh ayat ini dibuka dengan panggilan bagi orang-orang beriman [Ar-Risalah at-Tabukiyah, hlm. 39].
  2. Ada hikmah ilahiyah dalam kewajiban berpuasa atas orang-orang beriman. Salah satu hikmah Allah adalah Dia mensyari’atkan berbagai jenis ibadah. Di antara ibadah tersebut ada yang murni ibadah harta seperti zakat. Ada yang murni ibadah fisik seperti shalat. Dan di antaranya ada ibadah yang merupakan kombinasi keduanya seperti haji. Ada juga ibadah yang berwujud meninggalkan sesuatu seperti puasa yang berupa aktivitas meninggalkan makan, minum, dan selain keduanya. Hal itu untuk menyempurnakan ujian pada diri hamba, karena sebagian orang terkadang mudah melaksanakan aktivitas ibadah fisik, namun berat melakukan ibadah harta. Demikian pula sebagian yang lain, mungkin sebaliknya, mudah menyedekahkan harta, tapi berat melakukan ibadah fisik [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2: 319]. 
  3. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” terdapat hiburan dan pelipur bagi hamba yang dibebani dengan suatu ibadah agar mudah menjalankannya. Di sini Allah Ta’ala menginformasikan bahwa Dia mewajibkan ibadah puasa atas umat Islam dan menjelaskan kepada mereka bahwa ibadah tersebut juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelumnya. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa berbagai ibadah yang nampak berat, apabila memasyarakat dan banyak dilakukan orang, niscaya akan ringan dan mudah dijalankan [Tafsir ar-Razi, 5: 243; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah, 2: 318].
  4. Salah satu hikmah dari permisalan yang ada dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” adalah untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan bagi umat ini yang telah dimiliki oleh umat-umat sebelumnya, sehingga kaum muslimin menjadi teladan dalam ibadah puasa, dan bersungguh-sungguh dalam menunaikannya dengan lebih sempurna; selain menegaskan hukum berpuasa dan memotivasi [Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Tafsir Abu as-Su’ud, 1:198; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah –, 2: 317]. 
  5. Hamba sepatutnya menjalani berbagai sebab yang bisa mengantarkan dirinya mewujudkan predikat takwa, karena Allah ta’ala mewajibkan ibadah puasa ini untuk tujuan tersebut seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya (yang artinya), “diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2: 318].

Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat

  1. Ayat ini dibuka dengan seruan Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman”, karena dalam Bahasa Arab bentuk seruan atau panggilan digunakan untuk menarik perhatian agar memperhatikan apa yang akan disampaikan setelahnya. Pengulangan seruan tersebut untuk menampakkan adanya perhatian lebih pada apa yang akan disampaikan dan untuk menjelaskan adanya hukum agama yang lain setelah perincian hukum qishash pada ayat-ayat sebelumnya [Tafsir Abu as-Su’ud, 1: 198; Tafsir Ibnu ‘Asyur, 2:154].
  2. Firman Allah ta’ala, “كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ”, redaksi tersebut dinyatakan dengan kata kerja “كُتِبَ”, yaitu kata kerja pasif dimana fa’il (subyek) dihapus karena telah dimaklumi bahwa yang menetapkan kewajiban tersebut adalah Allah Ta’ala. 

Alasannya, karena ibadah puasa itu umumnya memberatkan diri hamba. Sehingga dalam hal ini, etikanya pembebanan suatu hal yang memberatkan tidak disebutkan secara langsung bahwa Allah Ta’ala yang menetapkannya, meski benar bahwa Dia-lah yang menetapkan. Itulah mengapa penetapan suatu perkara yang berwujud kelapangan dan kegembiraan yang dilakukan Allah Ta’ala, tetap dinyatakan dengan redaksi yang menggunakan kata kerja aktif, dimana fa’il tetap disebutkan. Hal ini seperti firman Allah ta’ala,

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ

“Rabb-mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” [QS. al-An’am: 54] [Tafsir Abu Hayyan, 2: 177]

  1. Pada firman Allah ta’ala, “عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ”, terdapat taqdim dan takhir, maksudnya ada yang didahulukan dan diakhirkan, dimana kata “عَلَيْكُمُ” didahulukan atas kata “الصِّيَامُ”. Hal ini berfungsi sebagai penegasan, karena memulai dengan menyebutkan bentuk penetapan lebih tegas daripada langsung menyebutkan sesuatu yang ditetapkan [Ad-Dur al-Mashun, 2: 266].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55951-ayat-ayat-shiyam-bag-1.html